Chapter DCCCXL

1.2K 363 38
                                    

Pandangan Huri bergerak. Beribu-ribu pertanyaan muncul di dalam kepalanya … Kenapa Kakek Buyutnya, mengajak mereka ke tempat yang sangat gelap ini?

Tempat itu, merupakan tempat di mana Sachi dibawa oleh Bibinya terdahulu, tempat di mana Pohon dari jiwa Neneknya tumbuh. “Huri!” Gadis kecil itu segera bergegas, mendekati Kakek Buyutnya yang lagi-lagi memanggil namanya.

Matanya yang hampir kering, kini basah kembali kala dia menjatuhkan tatapan pada Ibunya yang tertidur di sebuah ranjang kecil, terbuat dari lilitan akar hingga dedaunan sebagai kasurnya. “Pohon besar yang ada di hadapanmu, dia merupakan Nenek Buyutmu. Duduklah dan hapus air matamu!” Laki-laki itu berucap, tanpa memalingkan pandangan dari cucu perempuannya yang lelap, tak sadarkan diri itu.

Kedua tangan Huri, dengan cepat terangkat mengusapi air matanya sendiri. “Nenek Buyutmu terlahir sebagai Elf yang menjaga kemurnian Robur Spei,” ucapnya lagi, setelah Huri sudah selesai melakukan permintaannya.

“Robur Spei dulu tumbuh, di tempat Ibumu sekarang berbaring. Bunga itu tumbuh untuk menjaga setiap kehidupan … Bunga itu tumbuh, dengan mengisap kesedihan, keputusasaan dari banyak sekali makhluk yang hidup di Dunia mana pun.”

“Jika tidak dimurnikan, seluruh keburukan yang terkumpul itu akan membuat Robur Spei layu dan akhirnya mati. Beberapa puluh tahun yang silam, Robur Spei menghilang bersamaan dengan hancurnya tempat ini … Dan kami Bangsa Elf baru tahu, bahwasanya Bunga itu telah lahir kembali, dan Bunga tersebut adalah Ibumu.”

“Aku sudah berusaha menjauhkannya dari manusia. Namun dia jatuh cinta dan bahkan menikah dengan Manusia … Ingatlah ini, Huri! Sifat tamak, tidak tahu berterima kasih, mementingkan diri mereka sendiri. Semua sifat manusia yang Kakek sebutkan, semua itu menjadi penyebab Ibumu terluka seperti sekarang.”

“Entah, sudah berapa banyak dia menangis oleh perlakuan yang ia dapatkan. Dia terlalu banyak menerima rasa sakit … Dia terlalu baik untuk hidup berdampingan dengan mereka, para manusia,” ungkap laki-laki itu, suaranya yang gemetar mengiringi tetesan hangat yang mengalir di ujung matanya.

“Mimpi yang kau ceritakan, mimpi di mana kau selalu kehilangan Ibumu … Itu semua bukanlah mimpi,” sambungnya, dengan menggelengkan kepalanya, “itu merupakan sihir terlarang dari Bangsa Elf, sihir yang hanya bisa dilakukan oleh Nenek Buyutmu dan juga Pamanmu, Ryuzaki. Sihir tersebut, menukar usia penggunanya dengan sebuah kesempatan baru.”

“Kau menggunakan sihir tersebut tanpa sadar … Sihir tersebut sangatlah berbahaya, kau akan kehilangan nyawamu kalau terlalu sering menggunakannya. Kau tidak ingin Ayah, Ibu dan saudara-saudaramu sedih, bukan? Jadi bersumpahlah pada Kakek untuk tidak menggunakannya apa pun alasannya.”

“Lagi pula, mungkin untuk saat ini kau masihlah sulit untuk memahaminya,” ucapnya berhenti sejenak dengan tarikan napas yang begitu dalam, “mengulang semuanya tidak akan menyelesaikan apa pun. Saat kehidupan kembali terulang, tidak akan ada lagi yang mengingat perjuangan Ibumu. Jika tidak ada yang mengingatnya … Tentu mereka tidak akan menghargainya.”

“Biarkan para manusia mendapatkan balasannya! Biarkan mereka hancur, dengan membunuh satu sama lain untuk bertahan hidup! Mereka tidak pantas ditolong! Ditolong pun, mereka akan kembali lupa setelah mendapatkan apa yang mereka butuhkan.”

“Lalu Ayah? Kalau di sana sangatlah berbahaya, bagaimana dengan Ayah?”

Laki-laki tersebut menoleh pada Huri yang menatapnya dengan mata begitu sembap, “Ayah kalian baik-baik saja. Kakek sudah mengunjunginya tadi,” tuturnya, kepada gadis kecil itu.

Huri tertunduk sedih saat mendengar ucapan dari Kakek Buyutnya. “Kakek akan selalu mengawasi, menjaga Ayah dan saudara-saudaramu. Kau hanya harus fokus untuk menyelamatkan Ibumu, karena saat dia sudah terbangun … Semuanya akan berubah baik-baik saja,” sambungnya lagi sambil mengusap punggung Huri.
“Namun Huri, setiap hal pasti ada risikonya. Saat kau memutuskan untuk menyelamatkan Ibumu … Kau akan sendirian di sini menjaganya, entah sampai kapan! Kakek tidak bisa terlalu berlama-lama di sini, karena dengan mengisap udaranya saja membuat Kakek semakin lemah dan semakin lemah.”

“Sesekali Kakek akan mengunjungi kalian, membawakan semua kebutuhan kalian. Apa tidak apa-apa untukmu?”

Huri mengangkat pandangannya yang masih mengabur oleh tangisan. Dia mengangkat pandangannya, ke arah laki-laki yang duduk di sebelahnya, “apa yang akan Huri lakukan ini … Akan menyelamatkan Ibu?”

Laki-laki tersebut mengangguk. Jari-jemarinya terangkat, mengusap mata cicitnya itu, “semoga saja! Karena hanya Huri yang bisa melakukannya. Murnikan Ibumu dari kesedihannya, dari keputusasaannya … Dia sekarang hanya tertidur, dia membutuhkan kasih sayang putrinya untuk membangunkannya kembali.”

“Huri ingin menolong Ibunya, kan?”

“Anak baik!” ucapnya sambil mengusap kepala Huri, disaat gadis kecil itu mengangguk pelan, “dulu, Kakek merupakan penjaga yang ditugaskan untuk menjaga Nenek Buyutmu. Kakek akan mengajarkanmu sebuah lagu, yang selalu ia nyanyikan ketika harus menjaga kemurnian Robur Spei.”

“Tidak boleh ada kebencian, tidak boleh ada kesedihan … Kau tidak boleh larut dalam semua perasaan itu, atau sihirnya tidak akan bekerja. Hanya cinta kasih, nyanyikan lagunya dengan ketulusan hatimu!”

“Lagu itu disebut berhasil kau nyanyikan, jika saja tubuhmu saat itu mengeluarkan aroma yang begitu harum. Di sekitar Ibumu terbaring, akan tumbuh banyak sekali bunga dengan tujuh warna berbeda di tiap kelopaknya. Mungkin kau harus menyanyikan beribu-ribu lagu untuk mendapatkan semua hal itu."

"Walau mungkin suaramu ketika itu telah mengering, tapi bunga-bunga yang Kakek maksudkan tak kunjung tumbuh … Jangan menyerah! Terus saja bernyanyi! Hanya itu yang Kakek pinta darimu.”

“Kita akan melakukannya,” ucapnya lagi, ketika Huri hampir tak berkedip membalas tatapannya, “angkat kedua tanganmu seperti yang Kakek lakukan!” perintahnya sambil mengangkat kedua telapak tangannya, tangan yang terlihat seperti sedang menunggu sebuah pemberian dari sesorang di hadapannya.

“Letakkan tanganmu tadi hingga menempel di dahimu! Tundukkan wajah, lalu pejamkan kedua matamu! Setelah kau melakukannya, ikuti setiap kata-kata dari lagu yang Kakek nyanyikan!”

“Wahai kau, Bunga Kehidupan! Pembawa kehidupan untuk kami semua!” tutur laki-laki itu menggunakan Bahasa Latin. Dia mengucapkannya dengan kata per kata, hingga gadis kecil yang duduk di sebelahnya, dapat mudah melafalkannya.

“Wahai kau, Bunga Kehidupan! Pembawa kebahagiaan untuk kami semua!” Dia kembali berucap, setelah cicitnya itu telah selesai melafalkan kata-kata sebelumnya.

“Wahai kau, Bunga Kehidupan! Pembawa harapan untuk kami semua!”

“Jangan bersedih, wahai Bungaku! Keharumanmu menenangkan setiap jiwa yang tersesat.”

“Jangan layu, wahai Bungaku! Kecantikanmu menarik senyum dari batin yang terluka.”

“Wahai Bunga! Lihatlah kami! Lihatlah mereka!”

“Wahai Bunga! Wahai Bunga Kehidupan! Berikan kami kehidupan untuk menyebarkan cinta kasihmu!”

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now