Chapter DCCCXLVIII

1K 367 47
                                    

Ihsan berusaha sebisa mungkin untuk membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Embusan udara hangat yang menyentuh dadanya berulang-ulang pun, membuatnya semakin untuk segera terjaga. Kedua mata Pemuda itu akhirnya terbuka … Dia berkedip beberapa kali, sekedar untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih mendera.

Ihsan tersenyum kecil, memandangi Huri yang terlelap di sampingnya dengan rambut menutupi seluruh wajahnya. Pemuda tersebut menggerakkan jari-jemarinya, meraih beberapa helai rambut Huri lalu menyelipkannya ke telinga. Ihsan kembali melakukan apa yang ia lakukan … Hingga wajah Adik Perempuannya itu sekarang bisa terlihat begitu jelas.

“Wahai kau, Bunga Kehidupan!” Ihsan menoleh pada Huri yang melantur mengucapkannya dalam tidur, “Ibu!” raut wajah gadis itu pun berubah walau matanya masih terpejam.

Huri yang saat itu menjadikan lengan Ihsan sebagai bantal untuknya … Membuat Ihsan sulit untuk bergerak, hingga ia harus benar-benar bersusah-payah untuk mendekat pada perempuan di sampingnya itu. “Tidak apa-apa, Huri! Kau tidak perlu menangis lagi!” bisik Ihsan sambil mengusap pelan kepala Huri.

Ihsan mendongak, sesaat Huri menggeliat lalu berhenti dengan memeluknya. Pemuda itu membeku dalam sekejap … Beberapa kali dia bahkan meneguk ludahnya sendiri. Napas hangat Huri yang menyentuh kulitnya … Entah kenapa justru membuat detak jantungnya semakin tak beraturan!

Apa karena dia begitu merindukan Adiknya?

Ihsan menapakkan tangannya ke belakang kepala Huri. Dia sedikit beranjak hingga kali ini … Wajah Huri yang masih begitu lelap, terlihat jelas olehnya. Ihsan menurunkan pandangannya, dari kepala sampai ke ujung kaki milik Huri. Dan saat itulah dia baru tersadar … Anak perempuan yang dulu selalu menangis untuk hal-hal sepele, kini telah tumbuh menjadi gadis yang begitu cantik.

Ketika itu juga Ihsan baru menyadari, bahwasanya selama ini udara yang masuk ke dalam hidungnya, tercium begitu harum. Saking harumnya, dapat membuat pemuda itu gelisah dalam sekejap mata kalau dia mendekat sedikit lagi saja. Ihsan sungguh-sungguh terpaku … Kedua matanya terasa sulit untuk ia palingkan dari Huri yang masih begitu terlelap saat itu.

“Ayo cepat, Ibu! Ini sudah pagi, Ibu sudah janji pada kami!”

“Iya, Ibu. Ibu sudah berjanji!”

“Ibu masih sangat mengantuk. Kenapa kalian tiba-tiba bersemangat seperti ini?”

Ihsan sontak beranjak, sesaat derap yang terdengar dari arah tangga semakin mendekati mereka. Dia langsung kembali menatap Huri yang meringis di dekatnya, “Huri?” tukas Ihsan, sambil membantunya untuk duduk.

“Kepalaku. Kepalaku rasanya sakit sekali,” lirihnya seraya tertunduk dengan tangan mengusap belakang kepalanya beberapa kali.

“Ihsan, Huri, apa kalian berdua tidur di sini semalaman?”

Baik Ihsan dan Huri menoleh, pada suara yang memanggil mereka. “Ibu, ingin pergi ke mana kalian?” Ihsan balas bertanya saat dia mendapati Sachi turun dari tangga dengan Sema dan Anka di belakangnya.

“Aku berjanji untuk mengajari mereka memanah esok pagi. Apa ini sudah pagi?”

Ihsan beranjak, dia berjalan mendekati pintu lalu membukanya. “Aku pikir, sekarang masihlah belum pagi,” ucap Ihsan setelah cukup puas melihat ke luar.

Sachi menyusul dan turut berhenti di samping Ihsan, Putranya, “bahkan Matahari saja belum terbit dan mereka sudah begitu bersemangat,” gumam Sachi yang segera disambut tawa kecil Ihsan.

Sachi menarik napas begitu dalam sebelum dia berbalik menatapi kedua putra kembarnya. “Ibu akan berkata jujur kepada kalian berdua, dan juga kepada kau, Ihsan!” tukas Sachi, sampai membuat semuanya menghening penuh kegugupan.

“Ibu dianggap sebagai Bunga Kehidupan oleh banyak sekali makhluk, sedang Huri sebagai pemurni dari Bunga Kehidupan itu sendiri. Saat Ibu kehilangan nyawa atau saat Ibu tak sadarkan diri begitu lama seperti sebelumnya … Dunia Manusia, Dunia yang selalu Ibu tempati, akan disapu oleh sebuah hujan yang dapat membunuh Manusia kalau terkena airnya.”

“Ayah kalian terjebak di sana dan Ibu ataupun Huri tidak tahu seperti apa keadaannya saat ini. Niat hati, kami ingin mencarinya dan setelah menemukannya, kita akan pergi ke tempat yang sangat aman-”

“Apa Ibu akan meninggalkan kami lagi?”

“Tidak!” Anka langsung mendongak sesaat Sachi menjawab pertanyaannya, “Ibu akan mengajak kalian mencari Ayah. Asal kalian bisa memenuhi satu syarat dari Ibu … Jadilah kuat! Karena tidak ada yang bisa melindungi kalian, selain diri kalian sendiri!”

Sachi berjalan mundur, sambil menggerakkan jari telunjuknya, seakan sedang menantang mereka berempat, “kalian harus mengikutiku berlari sampai napas kalian habis tak bersisa! Yang tertinggal, tidak akan Ibu ajak pergi!” ancam Sachi seraya berbalik lalu berlari kencang meninggalkan mereka.

Ihsan, Huri, Sema, berserta Anka … Mereka berempat saling pandang, sebelum akhirnya mereka berebut keluar rumah. Mengejar Sachi yang sudah semakin jauh berlari. “Lamban sekali! Bahkan siput saja lebih cepat berlari dibanding kalian!” teriak Sachi sambil menambah kecepatannya.

“Kak Ihsan, apa itu siput?” Sema turut meninggikan suaranya, mengejar Ihsan dan Huri yang mulai meninggalkannya berserta Anka.

“Nanti akan kuberitahu! Yang lebih penting, kalian berdua jangan sampai tertinggal karena Ibu tidak pernah main-main dengan ucapannya!”

___________.

“Ibu, sepertinya tidak ada orang di dalam,” ucap Miyu, kepada Ibunya yang masih mengetuk pintu di depan mereka.

“Kau berkata melihat Pamanmu tapi dia memiliki rambut cokelat bergelombang, kan? Dia pasti Bibimu, Sachi! Ibu ingin bertemu dengannya.”

“Sachi, apa kau di dalam?” sambung Amanda dengan kembali melanjutkan ketukannya pada pintu.

“Bibi Amanda?”

Amanda menoleh, bersamaan dengan suara laki-laki yang memanggil namanya. “Kak Ihsan! Kenapa Kak Ihsan pergi begitu saja kemarin! Aku jadi sendirian di sana,” tutur Miyu, menyerobot Amanda yang belum mengucapkan apa pun.

“Maaf Miyu. Mereka lebih penting untuk aku temui,” jawab Ihsan sambil berpaling lagi pada Amanda.

“Ihsan, apa Ibumu sudah sembuh? Dia … Yang dilihat Miyu kemarin. Apa dia Sachi?”

Ihsan mengangguk dengan sebuah senyum, “benar, Bibi. Ibu dan Huri telah kembali. Mereka-” sahut Ihsan sembari berbalik, “mereka di sana!” sambungnya sambil menunjuk pada dua perempuan yang jalan beriringan.

“Ayo cepatlah, Sema! Anka! Kami sudah berjalan tapi kalian masih belum bisa menyusul kami!”

“Tunggu kami, Ibu! Ayo Anka, cepatlah!”

“Aku sudah tidak bisa berlari lagi Sema,” jawab Anka dengan napas tersengal disaat saudara kembarnya itu menarik lengannya.

“Anka, jika saat ini kalian sedang dikejar oleh Binatang Buas. Kalian berdua yang terlebih dahulu akan dimakan oleh mereka!” teriakan Sachi membuat kedua anak itu tercekat dan saling melempar tatapan.

“Gerakkan kaki kalian! Berlarilah! Apa kalian ingin terus-terusan lemah dan ditindas oleh mereka!”

“Sachi!”

Sachi menoleh, menghentikan teriakannya sesaat suara panggilan memanggil namanya terdengar dari kejauhan. “Siapa perempuan itu, Ibu? Dia terus-menerus memanggilmu,” tutur Huri, yang turut melempar pandang ke arah di mana Sachi melihat.

“Ibu pun tidak tahu. Ibu tidak bisa melihatnya dari kejauhan.”

Our Queen : Carpe DiemDär berättelser lever. Upptäck nu