Chapter DCCCLXXVI

1.1K 326 38
                                    

Sachi mempererat genggamannya pada guci berisi air mata Uki, tatkala dia merasakan kembali sihir milik Ryuzaki. Dia menarik napas begitu dalam, sesaat sihir tadi semakin mendekat dan semakin mendekati rumah yang mereka tempati. “Aku pulang!” Wajah Sachi bergerak cepat, menoleh pada seruan laki-laki yang mengiringi suara derit pintu di sana.

“Kalian sudah selesai berkemas?” lanjut Zeki sembari berjalan masuk lalu membungkuk, meraih dua buntalan kain di dekat kursi yang Sachi duduki, “aku bertemu Ryuzaki saat berjalan pulang. Dia sudah menunggu kita di luar!” tutur Zeki, dengan mata yang tak ia palingkan dari istrinya.

“Ihsan, bawa barang-barang lainnya bersamamu! Berdirilah kalian semua! Paman kalian sudah menunggu di luar,” sambungnya dengan kepala sedikit bergerak, seakan mengisyaratkan Sachi agar segera beranjak dan jalan dari tempat duduknya.

Sachi menghirup udara hingga memenuhi dadanya … Setelah beberapa lama ia menahan napasnya, barulah Sachi beranjak dan berjalan melewati Zeki yang masih berdiri diam. Langkah Sachi kembali berhenti, tepat disaat matanya menangkap wajah Ryuzaki yang juga menatapnya di samping sebuah gerbang akar yang ia buat.

“Tanah di Sora berbeda dengan tanah di sini yang sudah dimurnikan. Aku tidak bisa menahan gerbangnya terlalu lama!” seru Ryuzaki dengan senyum yang ia perlihatkan di wajahnya.

Langkah Sachi berlanjut, menyusul Zeki yang ketika itu muncul dari belakang dan berjalan meninggalkannya memasuki gerbang tersebut. Sachi sempat melirik wajah saudara kembarnya, sebelum menggerakkan lagi kedua kakinya melewati gerbang di depannya.

Sachi terdiam, menatap lantai penuh retak dan bekas tanah kering yang ia pijak. Dia mengangkat wajahnya … Membuang pandangannya ke sekeliling, ke arah dinding yang sudah pudar warnanya, lengkap dengan banyaknya sarang laba-laba yang melambai di setiap sudut ruangan itu. “Tempat ini terlihat kotor, karena Kakek melarang manusia selain Kak Haruki atau Eneas untuk mengambil buah yang ia tumbuhkan di sini,” sahutan tadi membuat Sachi berbalik, melihat Ryuzaki yang berjalan di belakang Ihsan.

“Aku hanya bisa menumbuhkan tanaman di sini!” lanjut Ryuzaki sembari berbelok lalu melangkah mendekati pintu berdaun dua yang tertutup di sebelah kiri dirinya, “lewat sini! Mereka sudah menunggu kedatangan kalian!”

“Huri!” panggil Sachi pada putrinya, “bantu Ibu untuk membawa ini! Jangan sampai tumpah!” perintah Sachi sambil menjulurkan guci di tangannya pada Huri.

Huri meraih guci kecil pemberian Ibunya itu, “baik, Ibu!” jawabnya, sebelum Sachi sendiri berbelok lalu pergi menyusul Ryuzaki yang masih menunggu mereka di ambang pintu.

Ryuzaki melangkah, sesaat Sachi semakin mendekati dirinya. Dia membawa keluarga kecil tersebut berjalan menyusuri lorong Istana yang sedikit penuh akan debu. “Mereka semua berkumpul di sana!” ujar Ryuzaki, diikuti langkahnya yang berjalan masuk ke dalam ruangan tanpa pintu tersebut.

Sachi masih ingat betul dengan ruangan tersebut … Selain ruang makan, ruang tersebut dulu sering dijadikan keluarga mereka untuk berkumpul dan bersenda-gurau bersama. Sachi menggigit kuat bibirnya, tatkala suara laki-laki yang sudah sangat ia kenal terdengar dari dalam ruangan tadi, “nii-chan!” panggil Sachi tanpa sadar, hingga membuat suara-suara yang terdengar, menghening tiba-tiba.

“Sachi? Kau benar kembali?”

Bola mata Sachi bergerak, mencari suara perempuan yang memanggilnya, “Ebe? Kau sama sekali tidak berubah.”

Raut wajah perempuan yang berdiri di sana itu langsung berubah. Dia berurai air mata, sebelum berlari lalu memeluk erat Sachi, “kau membuatku hampir mati ketakutan saat sihirmu tiba-tiba menghilang. Maafkan aku, Sachi! Aku tidak bisa melindungimu!”

Sachi mengangkat dagunya hingga bersentuhan dengan pundak Ebe. Dia juga mengangkat tangannya, membalas pelukan Ebe dan mengusap pelan punggung perempuan yang tak berhenti terisak di hadapannya itu, “syukurlah kau baik-baik saja Ebe! Aku tidak bisa berhenti mengkhawatirkanmu.”

“Maafkan aku, Sachi! Maafkan aku!”

“Kau bersama keluargamu saat itu terjadi, kan? Dan aku sendiri yang memintamu untuk selalu bersama mereka. Tidak ada yang perlu untuk dimaafkan, Ebe!”

“Izu-nii!” Sachi memanggil sosok laki-laki yang saat itu sedang berjalan ke arah mereka.

Sachi melepas pelukannya pada Ebe, begitu juga Ebe yang melakukan hal sama. Sachi menatap sosok laki-laki tersebut dengan tatapan penuh nanar … Beberapa kerutan tampak terlihat di sekitar mata kakaknya, terlebih ketika dia tersenyum. Baju yang ia kenakan pun tampak longgar, dan lusuh dengan beberapa warna yang memudar.

“Izu-nii!” Sachi tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia segera berlari lalu memeluk erat Izumi, Kakaknya, “apa kau kehilangan banyak berat badanmu, nii-chan?” isak Sachi, yang begitu pilu setelah melihat kondisi kakak laki-laki kesayangannya.

“Aku akan memasakkanmu banyak makanan lezat! Aku juga akan membuatkanmu banyak sekali manisan! Kau harus menghabiskan semuanya nanti!” tangis Sachi, tersedu-sedu di pelukan Izumi, “hanya katakan apa yang ingin kau makan! Aku akan memasak semuanya untukmu!”

“Apa yang kau ucapkan Sachi? Kau berkata seperti Ebe tidak becus menjaga suaminya!”

“Apa yang kau maksudkan, Kak Amanda!” Ebe menyahut pada ucapan yang muncul di sela-sela tangisan Sachi, “aku tidak merasakan seperti apa yang kau katakan! Sachi Adiknya Izumi, jadi wajar saja jika dia mengkhawatirkan Kakaknya!”

“Apa ada di antara kita yang becus menjaga pasangan?” tangisan Sachi terhenti, diikuti langkahnya yang mundur dengan melepas pelukannya pada Izumi, “bahkan kondisi suamiku jauh lebih buruk saat kami bertemu kembali-”

“Setidaknya kondisi Ihsan, Sema dan Anka sangat baik karena dijaga oleh Ibuku. Itu benar, kan, Bibi?” sahutan yang memotong ucapan Sachi, segera membuat darah di tubuhnya berdesir.

“Hikaru! Kalau Ayahmu sampai tahu kau berkata seperti itu pada Bibimu … Dia tidak akan memaafkanmu!” bentakan Izumi menutup ucapan Hikaru.

“Apa kau lupa dengan apa yang pernah Ibuku ucapkan! Manusia seperti kalian tidak akan diberi kesempatan untuk hidup di Dunia Elf kalau bukan karena Ibuku. Kau ingin Ibuku tunduk lalu mengucapkan terima kasih karena kalian sudah merawat anak-anaknya?”

“Tanpa kau sadar atau tidak, ada sihir Ibuku di dalam tubuhmu. Seharusnya sekarang kau yang berlutut lalu berterima kasih kepadanya karena sudah memberikanmu hidup!”

“Huri!” panggil Sachi dengan penuh rasa terkejut, oleh Huri yang begitu lantang mengucapkan semua kata-kata barusan.

“Yang merawat kami bukan hanya Bibi Amanda, tapi Bibi Sarnai dan Paman Ryuzaki juga melakukannya. Bibi Amanda selalu merawat Kak Hikaru yang selalu sakit … Karena itulah, Kak Miyu selalu bermain bersama kami.”

“Anka!” Sachi kali ini memanggil nama putranya yang ketika itu turut menyahut.

“Tapi aku berkata jujur, Ibu! Aku sama sekali tidak berbohong!”

“Apa seperti ini keluarga kami disambut?” Mata Sachi berpaling pada Zeki, yang juga mulai mengeluarkan ucapannya, “apa aku harus terus-menerus diam mendengar penghinaan ini?”

“Seharusnya jangan mengunjungi kami, kalau tidak bisa menyambut kami secara layak!”

“Beritahukan kamar mana yang harus kami tempati! Kalian mengganggu istirahat malam anak-anakku! Mereka membutuhkan istirahat! Pembicaraan yang selalu berakhir menyudutkan Ibu mereka … Tidak baik untuk perkembangan anak-anakku!”

“Aku tidak ingin, anak-anakku diracuni sikap iri hati oleh sebuah ketidakmampuan.”

Zeki berjalan mundur lalu berbalik, “apa kau masih ingat dengan kamar yang dulu kau tempati, Darling? Bawa kami ke sana! Sema dan Anka sudah terlihat lelah saat ini!”

“Ihsan, berikan bungkusan di tangan kananmu kepada Bibi Ebe!”

“Aku mempersiapkannya sebelum datang ke sini! Kalian bisa memakannya kalau mau. Selamat malam! Dan selamat beristirahat!” sambung Sachi, ketika dia hendak berbalik menyusul Zeki yang telah menunggunya di sana.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now