Chapter DCCCLII

1K 375 45
                                    

Sachi berjalan kembali sambil mengandeng Sema melewati gerbang akar, setelah sebelumnya dia meminta kepada Kakeknya untuk membawa mereka menemui Huri dan yang lain di Dunia Elf. “Sachi!” Sachi melepaskan genggamannya pada Sema, lalu berlari mendekati Ryuzaki yang saat itu sedang merangkul Huri.

“Aku tahu ada sesuatu yang terjadi saat Rusaku menarikku ke sini. Apa kau sudah menemukan Rusa miliknya?” Ryuzaki mengucapkannya dengan penuh kekhawatiran. Beberapa kali dia mengusap kening Huri, disaat gadis itu merintih penuh kesakitan.

Sachi yang tak kalah khawatir, segera mencari … Merasakan sihir yang sama dengannya di sekitar tempat mereka berada sekarang. “Ryu, pinta Huri untuk meludah! Dan Ihsan, tampung ludah Huri dan bawa kepada Ibu! Cepatlah!” perintah Sachi, sambil berlari setelah ia mendengar namanya dipanggil beberapa kali oleh Airen, Rusa miliknya.

“Huri, kau dengar perkataan Ibumu? Nyawamu sekarang berada dalam bahaya. Berikan air ludahmu, agar kau baik-baik saja,” ucap Ryuzaki, menimpali perintah Sachi.

“Ihsan!”

Ihsan yang sempat termenung setelah mendengar kata bahaya, segera mengangkat telapak tangannya mendekati Huri dan Ryuzaki, “Huri, meludahlah di tanganku! Aku akan membawanya kepada Ibu,” tutur pemuda itu, seraya mengangguk untuk menyakinkan Huri agar melakukannya.

“Ayo, Huri, lakukan!” Ryuzaki turut menyakinkan keponakannya.

“Cepatlah, Ihsan!”

Huri baru mau meludah ke telapak tangan Ihsan, disaat dia mendengar teriakan Ibunya. Ihsan segera beranjak, dia meletakkan telapak tangannya yang lain di bawah tangannya yang menampung ludah Huri, agar dia bisa aman membawanya saat berlari menyusul Ibunya. “Di sini, Ihsan! Bawa ke sini!” pinta Sachi yang membuat Ihsan berjongkok di hadapannya.

“Kalau Ibu berkata tuangkan! Cepat tuangkan ludah tersebut ke arah yang Ibu pinta!” perintah Sachi, sambil tertunduk menggerakkan jari-jemarinya.

Ihsan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dia hanya diam memperhatikan Ibunya yang saat itu sedang membawa sesuatu tak kasat mata di pangkuannya. “Ihsan, tuangkan! Cepat tuangkan di tengah-tengah jari Ibu!” perintah Sachi tanpa menoleh sedikit pun.

“Apa aku sebagai Ibunya boleh menggantikannya memberi nama untuk rusa ini?”

“Kenapa kau diam saja?!”

“Aku sedang coba bertanya pada Rusa yang lain!” Rusa yang berdiri di samping Sachi itu tak kalah membentak Tuannya.

Ihsan, yang sedari kecil sudah terbiasa mengawasi Ibunya … Yang selalu berbicara dan marah-marah walau di sekitarnya tidak ada seorang pun, hanya diam tanpa berani bersuara. “Bagaimana? Apa aku bisa melakukannya?!” Kegusaran Sachi semakin menjadi-jadi hingga suaranya meninggi tanpa sadar.

Perempuan itu tertunduk, sambil membelai kepala anak rusa yang berbaring tak berdaya di pangkuannya. Mata rusa kecil itu beberapa kali terbuka, walau ia lebih sering terpejam. “Kau bisa melakukannya!” Sepintas suara yang terdengar di sampingnya, membuat Sachi sedikit menghela napas lega.

“Baiklah. Aku memberikanmu nama….”

___________.

“Ihsan, apa yang kau lihat! Apa yang kau dengar! Simpan untukmu sendiri, atau nyawa Huri akan berada dalam bahaya!”

Laki-laki itu tertunduk, saat mengingat kembali perkataan Ibunya siang tadi. “Kak Ihsan! Kak Ihsan!” Lamunannya terbuyar, dia segera menoleh pada suara parau yang tak berhenti memanggilnya.

“Huri, kau sudah sadar?” Ihsan beranjak, membantu Huri yang ingin duduk.

“Apa yang terjadi, Kak? Aku tidak terlalu mengingat semuanya-”

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now