Chapter DCCCL

1K 366 44
                                    

“Ibu, bukankah kita ingin menemui Paman Ryuzaki?” tanya Huri, disaat Sachi justru membawanya ke satu-satunya sungai di Dunia Elf.

Sachi melangkah masuk ke dalam air, lalu duduk hingga air sungai tadi mengalir … Menyentuh dadanya. “Apa kau lupa kalau Ibu bertengkar dengan Pamanmu kemarin?” Sachi balas bertanya sambil mendongak, menatap langit.

“Apa Ibu melakukan semuanya tadi untukku? Ibu tidak perlu melakukan-”

“Kalau kau tidak ingin Ibu melakukannya. Kau seharusnya bisa membela dirimu sendiri!” sahut Sachi sebelum Huri menyelesaikan perkataannya.

“Aku melahirkan dan merawatmu, bukan untuk dihina oleh orang-orang, Huri!” Sachi menyambung ucapannya, “kau begitu cantik, laki-laki yang nantinya melihatmu … Akan sulit memalingkan wajahnya. Kau juga kuat. Keluargamu, keluarga Bechir memiliki kedudukan yang tidak bisa diremehkan. Lalu kenapa kau harus menarik dirimu dari mereka?”

“Kau begitu sempurna, dan ingatlah semua itu! Jadi jangan biarkan, satu orang pun menginjak-injak harga dirimu!” tukas Sachi sambil menoleh padanya yang masih berdiri membisu.

“Duduklah di samping Ibu dan jangan hanya diam saja di sana!”

Gadis itu, baru mulai mendekat setelah Ibunya memberikan perintah. “Ibu, Ibu tidak perlu melebih-lebihkanku. Karena kalau aku kuat … Ibu tidak akan tidur begitu lama.”

“Bodoh!” Huri yang kala itu sudah duduk disebelah Ibunya, segera berpaling pada Sachi, pada celetukannya, “apa kau masih mengingat Kou, Uki, Kei dan yang lainnya? Jika iya, suatu saat nanti mereka akan menjadi milikmu.”

“Kenapa? Kenapa kau begitu terkejut seperti itu?” Sachi tersenyum sambil mengangkat tangan menyentuh pipi Huri, tatkala kedua mata putrinya itu membelalak ke arahnya, “saat kau masih bayi, kau menjalin kontrak dengan mereka. Di saat Ibumu ini nanti telah tiada … Mereka akan berganti menjadi penjagamu. Karena itulah, Ibu memintamu dulu untuk mempelajari Bahasa Kuno.”

“Tapi kau harus merahasiakan ini dari mereka … Ibu tidak ingin, kau justru berada dalam bahaya kalau sampai ada yang mengetahuinya. Ibu mengajakmu ke sungai pun, karena Ibu tahu kalau sihir Elf sedikit tidak berguna kalau menyentuh air yang begitu banyak.”

“Huri, perempuan yang berasal dari surga … Namamu berartikan semua itu. Surga merupakan tempat yang sangat indah, seluruh kebahagiaan terkumpul di sana. Ayahmu memberikan nama Huri, agar kau bisa membawa kebahagiaan untuk semua orang yang ada di sekitarmu.”

Sachi menghentikan seluruh ucapannya, dikala bunyi gemerasak terdengar mendekati mereka. “Ihsan, kenapa kau menyusul kami?” Sachi bertanya pada seorang pemuda yang mendekat.

“Aku mengkhawatirkan Ibu dan juga Hu-”

“Bibi!”

Ihsan juga menghentikan perkataannya. Dia berbalik, dan mendapati Sema, Anka yang ketika itu berdiri … Bersembunyi di belakang Miyu, “Bibi, maafkan aku kalau ada perkataanku yang salah,” ucap gadis tersebut sembari melangkah semakin mendekati sungai, meninggalkan Ihsan, Sema berserta Anka.

“Ibu, aku juga ingin meminta maaf!”

“Aku juga!” sahut Anka menimpali kata-kata Sema.

Sachi berdiri, mengawasi mereka berempat secara bergantian, “kalian meminta maaf pada orang yang salah! Dan kau, Sema!” Sema sedikit terperanjat kala Sachi membentak dengan memanggil namanya, “apa seperti itu caramu memperlakukan kakakmu sendiri?!”

“Kau berkata bahwa kau membela Anka dari para Elf, apa semuanya hanya omong kosong?!” Sachi meluapkan amarahnya tanpa berkedip, “apa kau tidak bisa melakukan hal yang sama padanya? Kalau kalian tidak menyukainya sebagai saudari kalian, itu berarti kalian juga tidak menyukaiku karena akulah yang sudah melahirkannya!”

“Kalau kalian melihat salah satu saudara kalian tengah bersedih atau kebingungan hingga terpuruk. Tarik dia! Ajak dia berbicara! Hibur dia! Bukan justru menjauhinya dan mengatakan sesuatu yang tidak-tidak tentangnya! Kalau saja Ibu memiliki saudara seperti kalian … Aku pasti sudah mati sejak lama! Aku tidak akan mungkin menjadi Ibu kalian saat ini!”

“Kalian ingin mencari buah-buahan, kan? Sekarang pergilah! Dan kau ikutlah bersama mereka, Huri!”

“Tapi, Ibu-”

“Ibu sekarang sangatlah lapar, Huri! Delapan tahun lebih aku tidak memakan apa pun. Akan lebih baik kalau kau membantu mereka untuk mencarikanku makanan, atau kau sudah bisa memberikanku makanan dengan sihirmu?”

“Aku masih belum menguasainya-”

“Karena itu pergilah! Bawakan Ibu banyak sekali buah-buahan! Ibu butuh ketenangan untuk bisa memanggil Kou dan yang lainnya kembali.”

Huri beranjak, dia melipat kedua tangannya untuk menutupi pakaiannya yang basah oleh air, “baiklah, Ibu!” jawabnya singkat sembari berjalan mendekati Ihsan dan lainnya.

“Ihsan, jaga mereka!”

“Baik, Ibu!” Kali ini Ihsan yang menyahut, sambil berbalik setelah sebelumnya mengangguk untuk menyakinkan Huri yang terlihat ragu.

Ihsan berjalan paling belakang … Mengawasi Huri yang melangkah sedikit jauh dari Miyu dan kedua adiknya. Gadis itu terlihat menarik diri, sepanjang perjalanan pun ia selalu tertunduk dengan kedua tangan yang ia rangkulkan bersilangan di kedua lengannya. “Kak Huri, Kak Huri kenapa? Apa Kak Huri kedinginan?” Lirikan Ihsan berpaling pada Miyu yang memecah kesunyian.

“Kalau benar, Kak Huri bisa beristirahat saja, tidak perlu memaksakan diri.”

“Tidak apa-apa. Aku hanya baru bertemu lagi dengan air setelah sekian lama … Aku hanya belum terbiasa,” jawab Huri, sembari menyelipkan rambutnya yang sedikit basah itu ke telinga.

“Tidak bertemu dengan air? Memangnya ke mana Kakak selama ini?”

“Miyu!”

“Tidak apa-apa Kak Ihsan!” sahut Huri setelah Ihsan menaikkan suaranya, memanggil Miyu, “aku menjaga Ibu, di tempat yang luasnya tidak lebih dari rumah yang kami tempati. Di sana hanya terdapat Taman Kecil yang mengelilingi pohon dari jiwa Nenek Buyut.”

“Di sana tidak ada sungai. Tidak ada langit yang menurunkan hujan … Jadi selama itu, aku tidak bertemu dengan air-”

“Jadi Kak Huri … Apa kau, selama itu tidak membersihkan tubuhmu?”

Huri terdiam, tanpa menjawab apa pun pertanyaan yang Miyu lontarkan lagi. “Huri!” Huri berhenti lalu berbalik menjawab panggilan itu.

Dia tak bergerak dari tempatnya berdiri. Menunggu kedatangan Ihsan yang saat itu berjalan mendekatinya. “Naiklah!” Ihsan berlutut sambil membelakanginya, “aku akan mengendongmu!”

“Tapi aku bisa berjalan sendiri, Kak Ihsan.”

“Dulu kau selalu memintaku untuk mengendongmu, walau tempat yang kau tuju hanya beberapa langkah. Aku sedikit kecewa kalau kau menolak permintaanku ini. Jadi naiklah!”

Huri masih belum menjawab ajakan dari Ihsan. Ia hanya terdiam, sambil menjatuhkan pandangan pada tengkuk Kakaknya yang telah berjongkok di depannya, “baiklah,” jawab Huri setelah Ihsan kembali memanggil namanya.

Huri membungkuk, ia merangkulkan lengan ke pundak Ihsan yang segera beranjak … Membawanya kegendongan. “Huri, apa kau ingat saat Takumi menghancurkan Istana yang kau buat dari tanah di hutan?” Ihsan mengatakannya sambil melempar pandang ke depan.

“Aku mengingatnya. Saat itu aku tak bisa berhenti menangis … Wajah Takumi pun pucat karena dia takut dimarahi oleh Ibu dan Bibi Ebe,” sahut Huri yang dibalas tawa kecil Ihsan.

“Lalu untuk menghiburmu, kami bertiga merayumu agar mengajak kami bermain. Kau memilih Hikaru untuk jadi Pangeran karena dia begitu pandai … Sedang Takumi, dia bersikeras untuk menjadi Kesatria.”

“Dia begitu ingin kuat seperti Paman Izumi,” timpal Huri sambil tertawa lagi, “lalu Kak Ihsan-”

Ihsan menoleh padanya, tatkala Huri tiba-tiba terdiam. “Kak Ihsan menjadi Raja, dan Huri yang menjadi Ratunya,” tutur Huri yang sempat tersenyum, sebelum pandangannya ia buang ke depan.

Ihsan bergeming, matanya tak ia palingkan dari wajah Huri yang masih tersenyum di sampingnya, “kau benar,” ucapnya seperti bisikan, sebelum ia menundukkan pandangan dan kembali melihat lurus ke depan.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now