Chapter DCCCXLIII

1K 366 59
                                    

Ihsan beranjak, dia bergerak mendekati lemari, meraih sebuah guci di dalamnya dan berjalan lagi menaiki tangga. Pemuda itu berhenti di depan sebuah pintu, “Sema! Anka!” Dipanggilnya adik kembarnya itu, sambil diketuknya pintu.

Ihsan membuka pintu tersebut. Dia menghela napas, kala melihat kedua adiknya yang berbaring di kasur … Tak mendengar panggilannya. “Apa kalian tidak ingin bercerita kepada Kakak, tentang apa yang terjadi tadi?” tanya Ihsan, ketika dia sudah duduk di tepi ranjang.

Ihsan berusaha menahan bibirnya, agar segera berhenti gemetar, “Ibu sekarang sedang sakit, dan Kak Huri sedang menjaganya untuk kita. Sedang Ayah pergi berperang, agar rumah kita tidak diserang musuh. Setelah Ibu sembuh dari sakitnya, dan setelah Ayah berhasil mengalahkan setiap musuhnya … Mereka pasti menjemput kita.”

“Kita akan kembali ke rumah kita, ke Istana. Istana kita begitu luas, bahkan kalian bisa berlari bebas dan bisa bermain sepuasnya di sana tanpa siapa pun yang berani memarahi kalian.”

“Apa yang Kak Ihsan katakan itu benar?”

Ihsan mengangguk, dia mencoba tersenyum disaat kedua adiknya itu bergantian membuka mata setelah Sema akhirnya membuka suara. “Ibu sangatlah tidak suka, dia akan marah kalau Anaknya disakiti oleh siapa saja. Dan saat Ibu marah, dia terlihat begitu menyeramkan … Saat dia ingin menghukum seseorang yang menyakiti anaknya, bahkan Ayah pun tidak akan berani membantahnya.”

“Dulu, Aku juga pernah diganggu oleh orang-orang jahat. Tubuh Kak Ihsan penuh dengan luka, dan saat Ibu mengetahuinya … Dia langsung memerintah prajuritnya untuk menghukum mereka yang mengganggu Kakak. Kalau saja dia melihat kalian penuh luka seperti ini, dia pasti akan langsung menangis dan mencari siapa saja yang telah menyakiti kalian.”

“Kak Ihsan, Ibu … Seperti apa Ibu?”

“Ibu dan Paman Ryuzaki memiliki wajah yang hampir sama, seperti kalian berdua yang memiliki wajah sama,” jawab Ihsan atas pertanyaan Anka, “tapi Ibu jauh lebih cantik. Masakannya sangatlah lezat. Dia kuat, pandai bertarung terutama menggunakan panah.”

“Ayah pun begitu, dia sama kuatnya dengan Ibu. Dia begitu dihormati pasukannya … Kedua orangtua kita begitu mengagumkan, karena itu banyak yang iri dan tidak suka dengan mereka.”

“Deus, cepat sembuhkan Ibu, dan biarkan Ayah menang melawan musuhnya!” Ihsan seketika menoleh, pada Anka yang terpejam dengan kedua tangan ditangkup, “semua Elf di sini jahat, mereka selalu mengganggu kami. Anka tidak ingin melihat Kak Ihsan dipukul lagi oleh Kakek Buyut … Ayah, Ibu, cepatlah kembali!”

Ihsan mengangkat tangannya menyentuh kepala adiknya, “apa kau mengkhawatirkanku?” tanya Ihsan, membalas tatapan Anka yang ketika itu telah banyak berurai air mata, “bagaimana ini? Kakak justru malah lebih mengkhawatirkan kalian,” sambung Ihsan, sambil mengusap mata adiknya.

_____________.

“Wahai kau, Bunga Kehidupan!”

Nyanyian gadis itu terhenti. Dia tertunduk, hingga membuat rambut hitamnya yang panjang nan lurus tersebut … Jatuh hingga menutupi wajah. “Ibu, bangunlah! Kumohon Ibu, bangunlah!” Gadis tersebut mengucapkannya dengan suara gemetar.

“Kakek Buyut berkata, aku tidak boleh menunjukkan kesedihan. Tapi bagaimana caranya aku melakukannya? Rasanya sakit sekali melihatmu seperti ini, Ibu.”

“Huri sangat merindukan Ibu. Huri ingin makan masakan Ibu lagi … Bangun dan lihatlah Huri, Ibu! Aku sudah tumbuh dewasa, Huri-mu sudah besar, Ibu.”

“Ayah! Kak Ihsan! Apa yang harus Huri lakukan? Apa lagi yang harus Huri lakukan, Ayah, Kak Ihsan!” Gadis itu terus menangis, menumpahkan semua kesedihan yang bertahun-tahun dia tahan, “tolong katakan pada Ibu untuk segera bangun! Ibu pasti lebih mendengarkan kalian.”

“Kumohon Ibu, bangunlah!”

__________.

“Sakura nee-chan, pulang! Semuanya, Sakura nee-chan sudah pulang!”

“Nee-chan, apa yang kau bawa?”

“Aku membeli banyak kue untuk kita merayakan Natal malam ini!” cetus perempuan tambun itu, sambil memberikan bungkusan di tangannya ke anak-anak yang berdiri.

“Kami akan menyiapkan makan malam. Terima kasih, Sakura nee-chan!”

Perempuan tersebut, tersenyum memperhatikan anak-anak yang berlari riang membawa bungkusan yang ia berikan. “Keringkan rambutmu, atau kau akan sakit!” Sakura menoleh, dia kembali tersenyum pada perempuan paruh baya yang kala itu mengusap pelan rambutnya dengan sebuah handuk kecil.

“Jangan terlalu menghamburkan uang hasil kerjamu. Kau harus menyimpannya untuk kebutuhanmu sendiri, Sakura.”

“Melihat mereka bahagia, sudah cukup membuatku bahagia, Ibu Panti. Dan mungkin juga, berkat doa kalian … Aku bisa bangun dari koma beberapa tahun lalu. Terima kasih, karena telah menjaga dan merawatku saat itu, Ibu Panti.”

Perempuan paruh baya itu tersenyum getir. Dia mengangkat kedua tangannya memegang pipi perempuan muda di depannya, “terima kasih juga, karena kau sudah berusaha keras untuk tetap hidup. Ibu begitu takut, saat mendengar kabar kau ditembak oleh perampok saat itu. Terima kasih, karena sudah hidup sampai saat ini, Sakura,” ucapnya sambil mencium kedua pipi Sakura bergantian.

“Ayo masuk! Anak-anak sudah menunggumu untuk merayakan Natal bersama-sama,” ungkap perempuan itu lagi, sembari berbalik dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan Sakura.

Sakura membungkuk, dia melepaskan sepatu basah yang ia pakai, lalu meletakkan sepatu tadi ke rak kecil yang ada di dekat pintu. “Ibu! Bangunlah Ibu, kumohon!” Sakura tercekat, dia segera menggerakkan kepalanya, mencari suara tangis yang baru saja ia dengar.

“Ayah, Ibu, cepatlah kembali!” Sakura tertunduk, dadanya terasa begitu sesak kala tangisan lainnya menyusul.

“Sakura? Sakura!” pekik perempuan paruh baya sebelumnya, sesaat dia berbalik dan menemukan Sakura telah tersungkur, tak sadarkan diri di lantai.

“Apa yang harus Ihsan lakukan, Ibu? Apa yang harus Ihsan lakukan, Ayah, Ibu?”

“Ihsan, Huri, Sema, Anka!” Perempuan yang terlelap itu, tak berhenti memanggil nama anaknya, sesaat suara-suara tangisan tadi muncul di dalam mimpinya, “Zeki!” Air matanya mengalir, dari ujung matanya yang masih terpejam.

Perempuan cantik dengan rambut cokelat bergelombang itu masih tertidur pulas di pembaringannya. Setiap tetes air matanya yang jatuh kala memanggil satu per satu nama suami dan anak-anaknya … Setiap itu juga, sekuncup demi sekuncup bunga dengan tujuh warna berbeda di kelopaknya tumbuh mengelilingi tubuh perempuan tersebut.

Mengikuti semua itu, kegelapan yang mengelilingi tempat yang mereka tinggali selama ini … Berangsur-angsur memudar, bersamaan dengan keharuman yang menyeruak memenuhi udara. Setelah kegelapan di sekitar mereka telah menghilang … Tanah yang semula terlihat gersang, dengan ajaib segera ditumbuhi rumput dalam sekejap mata.

Langit yang dulunya tak terlihat apa-apa, sekarang berubah cerah … Sangat cerah, hingga menyilaukan mata kala memandangnya. Udara dingin yang setiap kali berembus di sana, berubah hangat mengikuti kecerahan di langit. “Ibu! Ibu!” Gadis itu bergumam sedih dalam tidurnya. Kelelahan yang menyelimuti tubuhnya saat itu, membuatnya masih terlelap walau hal-hal menakjubkan sudah terjadi di dekatnya.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now