Chapter CMI

917 300 36
                                    

Wajah Sachi yang sebelumnya sempat menunduk, segera ia angkat diikuti beberapa jarinya menekan lubang hidungnya tatkala Sachi tak sengaja menatap percikan kemerahan yang jatuh membasahi rumput di dekat kakinya. "Nee-chan, hidungmu berdarah?" Sachi masih terdiam saat mendengar pertanyaan Eneas.

Izumi yang kala itu sudah membantu Ryuzaki berdiri, seketika langsung bergegas mendekati Sachi tatkala ia turut mendengar kata-kata Eneas sebelumnya. "Apa kau baik-baik saja? Bagaimana penglihatanmu? Apa kau bisa melihat dengan jelas?" Izumi beberapa kali melempar pertanyaan pada Sachi, lengkap dengan kekhawatiran yang menggerogoti dirinya.

Sachi menurunkan pandangannya, "aku baik-baik saja, nii-chan. Aku baik-baik saja, Eneas," ungkap Sachi yang sedikit tidak jelas terdengar oleh tangan yang menutup hidungnya.

Lirikan Sachi berpindah pada Ryuzaki yang telah berjalan melewatinya tanpa mengucap sepatah kata pun, "nii-chan, aku akan coba berbicara pada Ryuzaki. Izu-nii sendiri, tolong berbicara pada Haru-nii," bisik Sachi setelah ia sudah menjatuhkan lagi tatapannya pada Izumi.

"Bagaimana dengan-"

"Aku baik-baik saja! Nii-chan, tidak perlu khawatir!" sahut Sachi, memotong kata-kata Izumi sebelum ia berbalik mengejar Ryuzaki yang sudah semakin menjauhi mereka.

Sachi sempat menghentikan langkahnya sejenak. Ia meraih Zehra dari Kakeknya, lalu mengendong Putrinya itu yang masih menangis ... Kembali mengejar Ryuzaki.

"Seharusnya kalian tadi jangan menghentikanku! Apa kalian dapat bertanggung-jawab kalau sampai terjadi sesuatu pada Yuichi? Pada Putraku?" tutur Ryuzaki sambil berbelok menatap Sachi.

"Kalau kau sebegitu takutnya, kenapa kau tidak bisa merasakan sihir apa pun dari Ayah? Jikalau apa yang Ayah katakan itu benar, kenapa tidak ada satu pun dari kita yang dapat merasakan sihir dari tubuhnya?"

"Kaisar memiliki Naga dan banyak makhluk lainnya ... Kalau kalian saja bisa merasakan sihirku, kenapa kalian justru tidak bisa merasakan sihir yang sama darinya?" Sachi kembali bertanya seraya terus mengusap punggung Zehra agar tenang di gendongannya.

"Semuanya masihlah abu-abu! Apa di antara ketidakpastian itu, kau berniat memutus persaudaraan antara kita? Apa itu yang kau inginkan, Ryu?"

"Kau tidak tahu, sakitnya melihat kematian keluargamu sendiri berulang-ulang!"

"Aku memang tidak tahu!" seru Sachi menjawab kemarahan Ryuzaki, "aku memang tidak akan tahu rasa sakitmu! Kesedihanmu! Karena aku sendiri sama sekali tidak merasakannya!"

"Tapi kalau kau bertindak gegabah, itu justru akan merusak semuanya, Ryu! Kau tahu sendiri, bagaimana mereka menghormati Ayah, kan?"

"Kau ingin aku berdiam diri?" sahut Ryuzaki, yang segera memotong ucapan Sachi kepadanya, "kau menginginkanku diam? Dan hanya menunggu kehancuran menghampiri kita, begitukah?"

"Bukan itu mak-"

"Hentikan, Sachi!" Lagi-lagi Ryuzaki menyela kata-kata Sachi, "malam ini juga akan aku selesaikan semuanya! Aku tidak sudi membiarkan ini berlarut-larut hingga membuat keluargaku celaka," sambung laki-laki itu sembari berbalik dan melanjutkan lagi langkahnya.

Sachi menghela napasnya, sebelum ia tertunduk setelah memperhatikan sosok Ryuzaki yang telah menghilang ke dalam gerbang akar buatannya sendiri. Sachi menjatuhkan dirinya ... Ia duduk sambil memangku Zehra yang masih rewel. Sesekali, perempuan itu akan menunduk sembari menahan rasa sakit yang masih tertinggal di kepalanya.

___________.

"My Lord!" Seruan tersebut memanggil Sachi yang masih termenung sambil menepuk-nepuk paha putri kecilnya.

"Apa jika kita terlahir kembali, kita akan bertemu lagi?" Sachi bergumam seraya tertunduk menatap Zehra yang terlelap, menyusu padanya, "Kou, apa yang harus aku lakukan?" Dia kembali bergumam sambil membelai lembut pipi Zehra.

"My Lord!" Suara di dalam kepala Sachi menyahuti gumaman yang ia lakukan, "semua jawaban itu berada di dalam dirimu sendiri. Kami akan mendukung apa pun keputusanmu."

Sachi kembali termenung setelah mendengar ucapan Naga miliknya itu. Ia menghela napas setelah cukup lama melakukannya sebelum tangannya bergerak menjauhkan wajah Zehra dari dadanya. Sachi beranjak sesaat ia sudah selesai merapikan pakaiannya kembali ... Perempuan tersebut berbalik, lalu mulai melangkahkan lagi kakinya ke rumah Haruki yang tadi tak sempat ia kunjungi.

Sachi mengetuk pintu di depannya dengan sangat pelan ... Ia tidak ingin membangunkan Zehra yang sudah susah-payah ia tidurkan. "Haru-nii!" panggil Sachi dengan mengetuk pintu itu lagi.

"Apa Ayahmu berada di dalam, Miyu?" Sachi bertanya pada gadis yang membukakan pintu.

"Ayah diajak pergi oleh Paman Izumi dan Paman Eneas setelah Bibi Sachi pergi tadi. Ada apa, Bibi?" Gadis di depannya itu balik bertanya.

"Bibi hanya ingin bertemu Kakek kali-"

"Kakek? Dia mungkin sedang tidur, tapi masuklah, Bibi!" seru Miyu sebelum kata-kata Sachi sempat terucap sepenuhnya.

Sachi melenggang masuk ketika Miyu sendiri menarik badannya dari pintu, "di mana Ibumu?" Sachi melempar pertanyaan sesaat dia hampir sedikit lagi mendekati tangga.

"Ibu membantu Bibi Ebe. Bibi Sachi!" Langkah Sachi terhenti tatkala ia mendengar Miyu memanggil namanya di sela-sela ucapannya, "apa Bibi bisa membantuku?" ujarnya ketika Sachi berbalik, menjawab panggilannya.

"Bantu? Bantuan apa yang kau maksudkan?"

"Mungkin Bibi tidak mengetahui hal ini karena Bibi sudah pergi cukup lama akhir-akhir ini," ungkap Miyu sambil berjalan mendekati Sachi setelah ia menutup pintu, "tapi aku sudah meminta Ayah untuk menjodohkanku dengan Kak Takumi. Paman Izumi pun sudah menyetujui hal ini-"

"Lalu? Apa hubungannya denganku?" tutur Sachi yang balas memotong kata-kata gadis di hadapannya.

"Apa Bibi bisa memberitahu Kak Huri untuk berhenti merayu Kak Takumi? Aku tidak menyukai kedekatan di antara mereka."

Sachi menunduk, diikuti tangannya yang mengusap bagian bawah bibir Zehra, "apa kau yakin kalau Huri yang merayu Takumi dan bukan sebaliknya, Miyu?" tanya Sachi dengan menjatuhkan lirikan pada Miyu.

"Tapi baiklah," lanjut Sachi sambil mengangguk, "akan Bibi coba bicarakan ini pada Huri. Namun, akan lebih baik kalau kau juga mengajak Takumi membicarakan hal yang sama."

"Kak Takumi masih belum mengetahuinya ... Ayah dan Paman berencana membicarakan perjodohan ini selepas Bibi Ebe melahirkan," tutur Miyu setelah kedua mata Sachi menyipit sesaat mendengar kata-kata pertama yang ia ucapkan.

"Berarti ini bukan kesalahan Putriku. Huri anak yang baik, dia pasti mengerti posisinya tanpa perlu kuberitahu. Lagi pula Miyu, mereka sudah berteman baik bahkan saat kau masih menyesap tanganmu sendiri."

"Aku pikir, Huri juga mungkin tidak tertarik pada Takumi. Huri mungkin menganggap Takumi seperti Adiknya sendiri, mengingat kedekatan mereka saat kecil dan betapa Takumi sering membuatnya menangis dulu. Jadi kau tidak perlu khawatir berlebihan! Terlebih, pada sesuatu yang belum tentu kau miliki kedepannya."

Sachi melempar senyum pada gadis di depannya yang terlihat kesal saat mendengar ucapannya itu, "Takumi laki-laki yang kuat, bukan? Aku dengar bahwa dia bisa mengendalikan air. Mendengar betapa gagahnya dirinya juga membuatku berkeinginan untuk menjodohkannya dengan Huri atau mungkin Zehra."

"Orangtua ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka. Jangan lupakan kata-kata Bibi yang satu ini, Keponakanku!" sambung Sachi, sebelum ia berbalik meninggalkan Miyu lalu menaiki tangga di hadapannya.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now