Chapter DCCCLXI

1.1K 363 48
                                    

“My Lord!”

Sachi yang sempat tertunduk beberapa saat, bergeming, segera mengangkat wajahnya kembali setelah kali ini suara Tama yang memanggilnya. “Apa kau bisa menemuiku sekarang? Aku ingin bertemu langsung denganmu, bukan hanya berbicara melalui pikiranmu,” tutur Tama yang sebelumnya didengar oleh Sachi.

“Baiklah,” jawab Sachi singkat, setelah sesaat sebelum itu dia menggigit erat bibirnya.

Acey, tolong antar Huri ke rumah yang dulu pernah kami tempati!”

“Huri, ikuti Manticore yang ada di sana! Ada sesuatu yang harus Ibu lakukan sendirian,” sambung Sachi sembari melangkah melewati gerbang di depannya.

Dengan kesesakan yang memenuhi dadanya setelah pembicaraan sebelumnya … Sachi terus berjalan, dan terus berjalan ke arah sihir Tama yang ia rasakan di Dunia Kou. “Aku sudah datang memenuhi panggilanmu, Tama!” seru Sachi, kepada gundukan besar tanah berumput di depannya.

Sachi masih diam di tempatnya ia berdiri. Dia sama sekali tak berniat menjauhkan diri walau tanah di sekitarnya berguncang. Sosok kura-kura raksasa bangkit dari dalam tanah yang ia pijak … gundukan yang ia lihat sebelumnya, tak lain dan tak bukan ialah tempurung dari kura-kura itu sendiri.

“Tama!” Sachi mengangkat tangannya, menyentuh wajah kura-kura yang berdiri di depannya tersebut.

“Terima kasih karena sudah memenuhi permintaanku, My Lord!” sahut kura-kura tersebut, diikuti kedua matanya yang berkedip lemah.

“Aku mendengar pembicaraan kalian sebelumnya-”

“Apa kau juga ingin menyarankan hal yang sama seperti mereka?” Sachi menyergah perkataannya.

“Tidak! Aku tidak akan melakukannya,” jawabnya begitu cepat.

“My Lord, apa kau tahu dengan apa yang terjadi kepada kami setelah kau tertidur?”

“Tak lama setelah kejadian tersebut … Kami semua melemah. Aku tidak tahu, hal ini juga terjadi kepada hewan yang lain atau tidak. Namun, aku tidak bisa melihat sebelum sihirmu dirasakan kembali muncul."

“Dunia ini, berjalan begitu cepat dibanding Dunia Manusia. Jika anak-anak kalian saja sudah dewasa, tentu usia kami sudah bertambah sangat jauh dari sebelumnya. Selama itu … Saat aku tidak bisa menggunakan mataku untuk melihat, membuatku begitu takut.”

“Hari demi hari berlalu, yang hanya bisa aku lakukan cuma mengubur diri. Memaksa diri sendiri untuk percaya bahwa Tuanku masih hidup! Dia akan kembali!”

“Dan aku yakin, mereka juga merasakan hal yang sama, persis seperti yang aku rasakan.”

“My Lord!” Tama kembali memanggil Tuannya yang enggan mengangkat wajahnya, “apa kau tahu dengan apa yang kami rasakan saat kau menangis oleh kekecawaan atau mungkin oleh rasa sakit yang kau dapatkan?”

Mata Kura-kura tersebut tak berkedip, membalas tatapan Tuannya yang ketika itu mendongak setelah mendengar kata-katanya barusan, “seluruh tulang di dalam tubuh kami, seperti diremuk paksa dengan rasa sakit yang begitu luar biasa dirasakan.”

“Disaat seperti itu, sejujurnya kami sulit sekali untuk menggerakan tubuh. Kata-kata, jangan bersedih, My Lord! Kami akan selalu bersamamu. Sengaja kami katakan, agar kau bisa sedikit terhibur dan kami bisa mendapatkan sedikit tenaga untuk melindungimu.”

“Jangan marah untuk perkataan yang mereka ucapkan! Jangan kecewa, jika keputusan mereka berbanding terbalik dengan keputusanmu. Percayalah, ketika kau menderita … Kami turut merasakan hal yang sama, bahkan berkali-kali lipat dari apa yang kau rasakan, My Lord.”

“Maafkan aku. Aku sungguh-sungguh tidak tahu bahwa aku sudah sangat membuat kalian menderita,” ucapan Sachi begitu getir menyahuti perkataan Tama, “maafkan aku, karena secara tidak langsung aku sudah menjadi kelemahan untuk kalian.”

“Maafkan aku, karena aku lemah sampai membuat kalian menderita seperti sekarang. Maafkan aku. Maafkan aku,” tangis Sachi yang tertunduk sambil menutup wajah menggunakan kedua tangan.

___________.

“Bagaimana kau bisa begitu tenang dengan duduk di samping mereka?”

Sachi mengangkat pandangannya, lalu menoleh ke suara laki-laki yang ia dengar di kejauhan. “Mereka tidak akan memangsaku, jadi untuk apa aku takut?” sahut Sachi sambil kembali menoleh ke arah barisan buaya yang berjemur di dekatnya.

“Kalian sudah selesai berburu?” Matanya kini berpaling lagi pada Zeki yang sudah duduk, bersebelahan dengannya.

Zeki mendongak. Dia menghela napas, sambil merasakan segarnya air sungai yang mengalir di kakinya. “Saat kembali, Huri menyampaikan pesan bahwa kau menungguku di tepi sungai. Apa kembali terjadi sesuatu?” tanya Zeki sembari menoleh pada Istrinya yang tertunduk, menatap aliran sungai di depan mereka.

“Lembaran lama, atau lembaran baru. Di antara kedua pilihan tersebut … Yang mana, sekiranya ingin kau pilih?”

Alis Zeki mengernyit, berusaha memahami maksud dari perkataan Sachi, “aku tidak mengerti dengan apa yang kau maksudkan saat ini,” timpal Zeki setelah beberapa saat.

“Sebelum aku memiliki kesempatan untuk menemuimu, aku sudah berjanji pada Huri. Kami hanya akan mengajakmu, keluarga kita, untuk tinggal jauh dan meninggalkan semua urusan dengan para manusia. Huri begitu ketakutan kalau manusia akan menyakitiku lagi, lalu merebut kebahagiaan keluarganya lagi.”

“Bukan hanya Huri, tapi semuanya juga menyarankan hal yang sa-”

“Lalu di mana letak masalahnya?” sahutan Zeki sebelum Sachi sempat menyelesaikan ucapannya, membuat Sachi dengan sekejap berpaling padanya, “aku, sejujurnya juga ingin menyarankan hal yang sama, tapi ternyata semuanya sudah didahului.”

“Aku bahkan tidak ingin, ada yang tahu kalau kau baik-baik saja. Aku bahkan ingin melarangmu memberi kabar pada keluargamu … Aku tidak ingin, kalau nyawamu kembali berada dalam bahaya kalau kabar tentangmu terdengar oleh mereka yang masih berusaha mencelakaimu.”

“Bukanlah masalah kalau aku membuang Yadgar! Bukan juga masalah kalau aku membuang status menjadi Raja … Asal, keluargaku baik-baik saja dan aku bisa berkumpul bersama mereka lagi. Asal aku bisa selalu bersamamu, semua itu sudah lebih dari kata cukup.”

Sachi memajukan wajahnya, lalu menyandarkan wajahnya tadi ke pundak suaminya, “tidak ada yang berjalan baik. Semuanya, yang sudah aku perjuangkan sejak kecil … Semuanya habis tak bersisa. Aku takut! Aku tidak bisa membedakan yang mana kawan dan yang mana lawan, karena itulah tidak ada yang berjalan baik di dalam hidupku.”

“Aku pikir, selama aku memiliki hewan-hewanku, semuanya akan baik-baik saja. Namun semuanya salah! Saat aku sudah begitu tulus menolong mereka … Mereka justru balik menikamku saat aku lengah. Saat satu kali saja aku enggan menolong mereka, mereka justru melupakan semuanya yang sempat aku korbankan.”

“Aku memang mendapatkan keluarga yang begitu sempurna di sini, tapi semuanya harus aku bayar dengan harga yang begitu mahal. Yang membuatku sangat kecewa hanyalah … Aku kehilangan waktu berhargaku untuk melihat keempat anakku tumbuh.”

“Kita tinggalkan semuanya, Zeki. Harta, tahkta, kekuasaan … Kita tinggalkan semuanya, karena aku sudah tidak ingin lagi berurusan dengan mereka. Aku hanya ingin menjaga dan merawat keluarga kecilku. Aku hanya ingin menua dan menunggu kematian bersamamu.”

Zeki mengangkat tangannya … Merangkul sambil mengusap lembut kepala istrinya, “baiklah. Kita tinggalkan semuanya. Kita jalani kehidupan yang baru. Lupakan pemberontakan! Lupakan ambisimu! Kita mulai semuanya dari awal lagi.”

“Hanya aku, kau, dan keempat anak kita.”

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now