Chapter DCCCXLVI

1K 371 45
                                    

“Ihsan, di mana Sema dan juga Anka?”

Ihsan menoleh dengan kedua lengannya yang masih memeluk Huri, “Sema, Anka?” gumam Ihsan, sebelum kedua matanya melebar setelah beberapa saat, “aku akan mencari mereka, Ibu. Kalian … Kalian tunggu di sini dan jangan ke mana-mana!” pintanya sambil melepaskan pelukan.

Sachi masih terdiam, dipandanginya Ihsan yang kala itu bergegas meninggalkan mereka berdua. “Huri, apa kau bisa membuka gerbang ke Dunia Manusia?” tanya Sachi sambil melirik pada Huri yang masih sesenggukan.

Huri tertunduk, dia mengelap sisa-sisa air mata, “Dunia Manusia? Bukankah di sana sangat berbahaya Ibu? Apa Ibu lupa, Ibu tidur lama sekali karena Ibu pergi ke sana!” tukas gadis itu membalas tatapan Ibunya.

“Kakek Buyut pernah berkata kalau tempat itu sangatlah terkutuk. Kita tidak bisa kembali ke sa-”

“Huri!” sahut Sachi memotong ucapan putrinya.

“Apa kau mendengar Ibu menanyakan Ayahmu pada Ihsan tadi?”

“Tidak, kan?” sambung Sachi sembari menundukkan kepalanya, “kau berkata, Kakek Buyutmu mengajak Ayahmu tinggal di sini … Dia telah berbohong padamu! Bangsa Elf, begitu tidak menyukai manusia, bahkan saat kau masih berada dalam kandungan Ibu … Mereka mencoba untuk memisahkan kau dari kami, karena kau memiliki sihir yang sama seperti Nenek Buyutmu sedang Ibu hanyalah setengah Elf dan Ayahmu merupakan Manusia.”

“Delapan tahun … Entah Ayahmu masih hidup atau tidak di sana, Ibu ingin memastikan keadaannya. Kalau kau tidak ingin pergi ke Dunia Manusia, tidak apa-apa. Tapi tolong bangunkan Gerbang untuk Ibu ke sana … Ibu pergi sendirian untuk mencari Ayah kalian pun, bukanlah masalah.”

Huri terdiam, dia tak kuasa menatap mata Ibunya yang mulai basah lagi, “bagaimana kalau manusia menyakiti Ibu lagi?”

“Di sini Ibu juga tersakiti.”

“Kita cari Ayah, setelah menemukannya … Kita tinggalkan Dunia Manusia selama-lamanya!” tutur Huri hingga membuat Sachi menoleh padanya, “Ibu kumohon! Aku tidak ingin lagi melihat Ibu terluka oleh mereka.”

Sachi mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum pada Putrinya itu, “kemarilah!” pinta Sachi, dia langsung memeluk putrinya, ketika Huri mendengarkan permintaannya, “baiklah. Kita tinggalkan Dunia Manusia setelah menemukan Ayah kalian. Kita akan mencari tempat yang sangat aman, agar tidak ada lagi yang mengganggu keluarga kita, bagaimana?” Sachi menciumi kepala Huri, disaat Huri mengangguk untuk pertanyaan yang ia berikan.

“Kau tadi ingin mengambilkan Ibu air. Lalu, di mana airnya?”

Huri mundur, sedikit menjauh dari pelukan Ibunya, “tidak ada air di sini, Ibu. Aku juga tidak menemukan gelas ataupun piring di sana.”

“Benarkah?” Sachi beranjak, lalu berjalan ke arah Huri sebelumnya bersembunyi. Sachi termenung beberapa saat … Dia terdiam, ketika melihat ruang kosong yang ia masuki itu, “tidak ada apa pun di sini? Bahkan meja dan perapian yang dulu ada di sini pun tidak ada. Lalu apa yang dimakan saudara-saudaramu? Apa mereka hanya memakan buah-buahan? Tapi bagaimana dengan minum? Apa mereka meminum air mentah?” Sachi bergumam pada dirinya sendiri.

“Jangan menangis lagi, Anka! Kak Ihsan akan mengobati lukamu!”

“Tapi kau juga terluka Sema.”

“Diamlah! Atau Kak Ihsan akan sedih!”

"Kak Ihsan ... Kenapa dia menyuruh kita untuk masuk terlebih dahulu?"

"Aku pun tidak tahu! Padahal kita juga sudah mencarinya dari tadi."

Sachi dan Huri menoleh, mereka berdua saling pandang mendengar pembicaraan barusan. Bergegas, Sachi bergegas keluar dari Dapur, “Sema? Anka?” Sachi memanggil kedua putra kembarnya, sebelum langkahnya berhenti di hadapan dua anak laki-laki yang juga terlihat bingung memandangi kedatangannya.

“Paman Ryuzaki?”

“Dia bukan Paman Ryuzaki!” sahut Sema, menarik tangan Anka yang hendak mendekati Sachi, “lihatlah lagi, Anka! Dia tidak mirip dengan Paman Ryuzaki!”

“Aku Ibu kalian!” sahut Sachi hingga membuat kedua anak laki-laki tadi serempak menoleh padanya, “kalian telah besar. Ibu hanya ingat, saat itu kalian masih belajar untuk berjalan.”

“Ibu?”

“Anka!” Sema membentaknya, dia kembali menahan tangan Anka agar tak berjalan maju.

“Jika dia Ibu kita, kenapa dia meninggalkan kita di sini! Di tempat ini! Dia bukan Ibu kita! Kita tidak memiliki Ib-”

“Sema!”

Semua orang yang berada dalam rumah itu, sontak terkejut oleh bentakan barusan. Ihsan yang berdiri di ambang pintu itu segera masuk, lalu berjongkok dengan memegangi kedua pundak Sema, “jangan sekali-kali kau berani mengatakan kata-kata itu kepada Ibu! Apa aku pernah mengajarimu seperti itu!”

“Apa yang aku katakan itu benar!” Sema balas meninggikan suaranya, “kalau Ayah dan Ibu itu ada, mereka tidak akan meninggalkan kita di sini! Mereka tidak akan membiarkan kita tinggal di tempat seperti ini! Mereka jahat! Mereka tidak peduli pada kita!”

“Mereka bahkan tidak tahu kita terluka di sini,” tangis Sema yang akhirnya pecah juga.

“Maaf!”

“Ibu!”

“Ibu!” Huri dan Ihsan bergantian memanggilnya, yang saat itu tertunduk menangis setelah mendengar ucapan Sema.

“Maafkan Ibu, karena tidak bisa bersama kalian selama ini. Maafkan juga Ayah kalian, karena tidak bisa melakukan hal yang sama.” Sachi menarik napas panjang, sekedar untuk mengendalikan tangisannya, “tapi jikalau Ibu diberikan pilihan, Ibu juga tidak ingin meninggalkan kalian.”

“Rasanya sakit sekali, saat melihat kalian semua telah tumbuh besar tanpa campur tangan kami. Ibu pun … Masih belum puas untuk menimang Sema dan juga Anka.”

“Ibu! Jangan menangis lagi, Ibu!” tangis Huri sambil memeluk Sachi yang terus saja tak berhenti menangis.

“Ibu!” Ihsan pun beranjak, lalu duduk memeluk kedua perempuan itu.

“Aku masih belum puas merawat anak-anakku. Kenapa aku harus tertidur selama itu? Kenapa tidak ada yang benar terjadi dalam hidupku?”

“Ibu, sudah Ibu! Huri mohon!” isakan Huri pun bertambah saat mendengar kata-kata Ibunya, “ini bukan kesalahan Ibu. Ibu juga sudah berjuang selama ini. Jadi jangan menyalahkan diri Ibu sendiri!” Huri mempererat pelukan pada Ibunya.

“Apa kalian sudah puas sekarang? Apa kalian sudah puas melampiaskan semuanya pada Ibu yang telah melahirkan kalian?” cetus Ihsan yang beranjak meninggalkan mereka berdua lalu berbalik mendekati Sema berserta Anka.

“Dia tidak melahirkanku seperti dia melahirkan kalian! Tapi saat dia disakiti oleh seseorang … Aku juga merasakan sakit yang sama!” tukas Ihsan sambil memukul dadanya sendiri, “kalian tahu kenapa? Apa kalian tahu kenapa?!” bentak Ihsan pada mereka berdua.

“Karena aku tahu, dia begitu tulus menyayangiku sebagai Putranya! Kepada orang asing sepertiku saja dia begitu tulus dan dengan mudahnya bisa mengorbankan apa pun untuk kebahagiaanku … Dia pasti akan melakukan hal lebih, terlebih pada kalian, anak yang justru ia lahirkan sendiri!”

“Ihsan!”

“Jangan menyalahkan Adik-adikmu. Ini juga bukan kesalahan mereka,” ucap Sachi, dia menggeleng sesaat Ihsan menoleh padanya.

“Tapi Ibu!” Ihsan segera mengatup bibirnya, ketika wanita yang begitu ia hormati itu kembali menggeleng.

Ihsan mendongak, dia menarik napas begitu dalam sebelum berjalan kembali mendekati Ibunya, “aku akan membawa Ibu ke kamar. Dan kau juga, Huri, pergilah beristirahat bersama Ibu!” pinta Ihsan, sambil menggendong Sachi sesaat Huri melepaskan pelukannya.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now