Chapter DCCCXLIV

1K 365 55
                                    

Udara hangat yang membelai wajah Huri, membuat gadis tersebut membuka matanya. Dia langsung beranjak, duduk sambil membuang pandangan ke segala arah disaat keharuman yang begitu menyengat memasuki hidungnya. Gadis itu berdiri, tubuhnya berputar untuk memastikan semua yang ditangkap oleh matanya.

“Di mana? Apa yang sebe-”

Gumaman yang ia lakukan seketika berhenti. Huri dengan cepat berbalik, lalu berlari mendekati pohon, di mana Ibunya tidur selama ini. “Ibu?” bisiknya, matanya hampir basah saat dia tidak menemukan seorang pun yang berbaring di sana.

Huri melirik, pada bunga-bunga kecil yang tumbuh mengelilingi ranjang akar buatan Kakek Buyutnya. Corak pada bunga-bunga tadi, membuatnya seketika ingat dengan semua yang dulu pernah Kakek Buyutnya katakan, “Ibu!” pekik Gadis tersebut sambil berlari meninggalkan tempat itu.

“Ibu!” Huri terus memekik, berlari mencari Ibunya yang sekarang entah di mana, “Ibu!” Dia berteriak sekali lagi, sampai rasa perih menyelimuti tenggorokannya.

Huri menghentikan langkahnya. Dia segera menoleh, ke arah bayangan yang sempat ditangkap oleh matanya. “Ibu?” ucapnya hampir seperti bisikan, sesaat pandangannya terjatuh pada seorang perempuan yang berdiri membelakanginya.

“Ibu!” Gadis itu mulai menangis, diikuti langkahnya yang mulai kembali bergerak ke sosok perempuan tadi.

Sachi yang ketika itu masih sibuk memanggil Kou di dalam kepalanya, segera berbalik sesaat dia merasakan ada sebuah sosok yang hadir mendekat. “Ibu!” Sachi tidak bisa mengendalikan tubuhnya saat mendengar panggilan itu. Sebelumnya ia bermaksud untuk menghindar, tapi entah kenapa … Dia justru menerima dengan senang hati pelukan dari perempuan di hadapannya itu.

Suara tangis dari perempuan tadi, membuat tangan Sachi terangkat tanpa sadar, mengusap dengan begitu lembut punggungnya, “jangan menangis! Aku tidak tahu apa yang terjadi kepadamu, tapi jangan menangis,” ucap Sachi, pada perempuan yang ia tidak tahu merupakan putrinya sendiri.

“Ibu! Ibu!” Huri memeluk Ibunya dengan begitu erat, seperti enggan untuk ia lepaskan lagi.

“Aku bukan Ibumu. Aku memang memiliki seorang Putri, tapi dia masih kecil. Kalau kau ingin, aku bisa membantumu mencarinya.”

Gadis itu menggeleng, dengan wajah yang ia tenggelamkan ke pundak Ibunya, “kau Ibuku. Aku Huri, Ibu. Aku Putrimu, Huri. Huri Bechir.”

Sontak, Sachi memegang pundak perempuan yang memeluknya itu, lalu mendorong sedikit tubuh perempuan tadi agar menjauhinya, ketika dia mendengar ucapan tersebut, “jangan….”

Amarah Sachi meredam, berubah menjadi kegetiran. Air matanya seketika jatuh, kala mendapati bola mata berwarna hijau dan biru yang hanya dimiliki oleh Putrinya, Huri. “Ibu!” Sachi menunduk, dia memperhatikan dari ujung kaki lalu naik ke ujung kepala, perempuan yang selalu memanggilnya Ibu tadi.

“Kau … Huri? Kau benar-benar Putriku, Huri?” Sachi gemetar ketika menyentuh pipi gadis di depannya, “apa yang terjadi? Huri-ku masih kecil, tapi kenapa?”

Huri tertunduk sambil menyentuh kedua tangan Sachi yang menyentuh pipinya. Gadis tersebut menggeleng, walau dia masih larut dalam tangisannya, “tidak Ibu,” jawab Huri dengan suara yang tak kalah gemetar, “Ibu tertidur lama sekali di sini-”

“Tertidur?” Huri mengangguk, oleh pertanyaan Sachi yang memotong ucapannya, “Huri, jelaskan kepada Ibu apa yang terjadi! Jelaskan pada Ibu semuanya … Ibu mohon!”

___________.

“Jadi aku sudah tertidur selama itu?” Sachi terlihat lemas, dengan tatapan yang menerawang kosong ke depan, “Ayahmu? Lalu Ihsan, Sema dan juga Anka … Bagaimana keadaan mereka?” sambung perempuan itu, diikuti rintik sedih di matanya.

“Mereka semua berada di Dunia Elf. Kakek Buyut menjaga mereka semua, Ibu … Jadi Ibu tidak perlu bersedih seperti itu,” sahut Huri, diikuti semangat yang mengikuti ucapannya. Gadis malang itu, tidak tahu … Akan apa yang sebenarnya terjadi.

“Kakek Buyutmu?” Sachi menoleh ke arah Putrinya, “justru Ibu lebih khawatir saat mendengarnya.” Senyum di bibir Huri menghilang, ketika mendengar perkataan Ibunya.

“Kou!” Sachi memekik. Dia beranjak, menjauh dari pohon, tempat mereka bersandar, “Kou!” pekik Sachi sekali lagi, memanggil Naga Kesayangannya itu.

“Kou!” Sachi lagi-lagi memanggilnya, “Kou! Uki! Shin! Tama! Kei! Lux! Siapa saja … Kumohon, jawab panggilanku!”

“Ibu!” Huri bergegas, menangkap Ibunya yang saat itu hampir terjatuh kala berteriak tanpa henti memanggil nama hewan-hewan miliknya.

“Zeki, Ihsan, Sema, Anka … Aku ingin bertemu mereka. Siapa saja … Siapa saja!” teriak Sachi di rangkulan putrinya, “kumohon, bawa aku bertemu mereka.”

“Ibu, Huri akan mengajak Ibu bertemu mereka. Ibu jangan menangis lagi!” tuturnya sambil mengusap air mata Sachi, Ibunya, “Huri akan mencoba sihir yang dulu pernah diajar oleh Paman Ryuzaki. Huri akan membawa Ibu ke Dunia Elf. Ibu … Jangan sedih! Huri tidak ingin Ibu tertidur lagi,” isak gadis itu dengan masih memeluk erat Ibunya.

____________.

“Kou!” Sachi terus-menerus memanggil Naga Kesayangannya itu.

“Ibu!” Perempuan itu segera berbalik, pada panggilan tadi. Dengan sigap, dia segera berlari ke arah Putrinya yang saat itu sudah berdiri di sepan sebuah gerbang, terbuat dari lilitan akar, “kau berhasil membuatnya?” Sachi antusias, memandang gerbang tersebut.

“Aku memang berhasil, Ibu. Namun, aku tidak bisa memastikan … Gerbang ini akan membawa kita ke mana! Aku tidak terlalu ingat lagi ajaran Paman Ryuzaki, yang aku ingat dia dulu hanya memintaku untuk membayangkan tempat yang ingin kudatangi.”

Sachi menyentuh punggung anak perempuannya yang terlihat gugup itu, “Ibu justru bangga kepadamu. Dalam beberapa hari, kau sudah bisa membuatnya sesuai ajaran pamanmu. Ibu akan masuk ke dalam sana terlebih dahulu … Setelah itu, kau susul Ibu!” pinta Sachi yang segera dibalas anggukan Huri.

Sachi menarik napas panjang, “kumohon! Kumohon, kalian harus baik-baik saja!” batin perempuan itu sambil melangkah masuk ke dalam gerbang akar buatan putrinya.

Sachi berdesir … Sesaat langkahnya memasuki gerbang, saat itu juga tubuhnya langsung dihampiri oleh sihir-sihir Elf yang ia rasakan di sekitar sana. Dia, yang sebelumnya hampir tidak memiliki tenaga … Kini seperti mendapat angin segar, yang membuatnya terasa bisa melakukan apa pun.

“Ikuti Ibu, Huri!” perintah Sachi sambil mulai berancang-ancang untuk berlari.

Huri yang baru keluar dari gerbang akar buatannya, sontak langsung mengejar Ibunya yang kala itu sudah berlari jauh meninggalkannya. Sachi terus berlari … Ia berlari tanpa henti, walau sudah berapa banyak Elf yang ia tubruk karena telah menghalangi jalannya. “Ryu!” panggil Sachi, dia berhenti dan dengan napas terengah kembali berteriak memanggil nama yang sama ke arah rumah kayu yang berdiri di bawah bukit.

“Ryu! Ryuza-”

Teriakannya terhenti, berubah jadi senyuman kala ia menangkap sesosok laki-laki yang berjalan keluar dari rumah tadi. Sedang laki-laki tadi … Dia mematung, saat tatapannya jatuh pada dua perempuan yang berdiri di atas bukit. “Sachi?” Air mata laki-laki tersebut seketika menetes tanpa permisi.

Ryuzaki tersenyum, walau kala itu bibirnya gemetar hebat. Dia segera mengelap tangisannya, dan berlari ke arah salah satu sosok perempuan yang juga saat itu sudah berlari ke arahnya. Sachi segera memeluk Ryuzaki yang saat itu sudah berhenti, berdiri di hadapannya, “Ryu! Syukurlah kau baik-baik saja, Adikku!” ucap perempuan itu bergetar, ketika wajahnya terbenam ke pundak adik laki-lakinya tersebut.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now