Chapter DCCCXCIV

820 297 14
                                    

Sachi memalingkan wajahnya ke arah pusaran angin yang tiba-tiba terbentuk di luar jendela, ketika Kei sendiri sudah beberapa saat tak mengucapkan apa-apa lagi. “Kau tidak bisa ke sana dengan berjalan kaki! Di luar sana, semua manusianya sama! Mereka saling membunuh untuk memenuhi perut mereka,” ujar Kei yang kembali terdengar di kepala Sachi.

Sachi menarik napas yang sangat panjang. Digerakkannya kedua kaki mendekati jendela yang besarnya hampir seperti pintu tersebut. Dengan sangat berhati-hati! Sachi menyusuri serpihan pecahan kaca yang berhamburan agar tak melukai kakinya. “Kakek ada di sana, kan? Bagaimana kalau dia menyadari keberadaanku? Sedang aku sendiri ingin mengetahui apa yang ia lakukan di sana,” ungkap Sachi setelah tangannya mendorong jendela di depannya itu hingga terbuka.

“Dia tidak akan menyadarinya! Kalau dia menyadarinya, dia pasti sudah melarikan diri karena sejak tadi aku sudah mengawasinya. Kecuali dia juga pemilik salah satu Hewan Agung … Baru mungkin dia akan menyadari keberadaanku,” jawab Kei yang lagi-lagi terdengar.

Begitukah?” sahut Sachi diikuti tubuhnya yang mulai memanjat untuk duduk di jendela tersebut, “kalau seperti itu, segera bawa aku ke sana, Kei!” pinta Sachi sambil melompat ke dalam pusaran angin di depannya.

“Dengan senang hati, My Lord!”

___________.

Sachi terdiam … Matanya terus tertunduk menatap kuil di atas bukit yang dulu sering ia kunjungi. Kuil yang begitu banyak kenangan di dalamnya. Habisnya pepohonan yang dulu tumbuh di sepanjang bukit, membuat sosok laki-laki yang berdiri di sana terlihat jelas dari langit. “Turunkan aku, Kei!” imbuh Sachi sembari terus menatap sosok laki-laki dari bangsa Elf di bawah.

“Kakek!” panggil Sachi, sesaat dia sudah hampir beberapa langkah kaki dari tanah, “apa yang Kakek lakukan di sini?” Perempuan itu lagi-lagi berucap, sembari menarik kakinya agar segera menyentuh tanah di bawah pusaran yang membawanya.

Sachi berjalan maju, sesaat kakinya benar-benar sudah menapak pada tanah. “Apa yang Kakek lakukan di sini? Bukankah Kakek mengantar Ibu ke Dunia Elf?” Dia kembali melempar pertanyaan untuk kesekian kalinya.

“Dan apa yang kau lakukan di sini?” Laki-laki dari Bangsa Elf tersebut balas bertanya setelah dia berbalik menatap Sachi.

“Apa kau datang ke sini karena tertarik dengan batu yang ada di dalam sini?”

“Batu?” Kening Sachi mengernyit setelah mendengar pertanyaan kakeknya.

Laki-laki tersebut kembali berbalik lalu membungkuk, menatapi bangunan kecil dari batu yang merupakan kuil … Pusat ritual untuk Kerajaan Sora, diluar dari ritual yang sudah ditetapkan oleh Kekaisaran. “Sudah lama Kakek merasakan sisa-sisa sihir di dalam batu yang disembunyikan di sini. Namun, walau Kakek mengetahuinya … Kakek merasa tidak diperbolehkan untuk mendekatinya.”

“Apa yang Kakek maksudkan? Jangan membuatku bingung untuk semua ucapan Kakek barusan!” sahut Sachi dengan sedikit meninggikan suaranya.

“Sihir di sini, merupakan sihir yang sama kurasakan sebelum kau tertidur. Sihir yang dibawa oleh makhluk tersebut! Batu tersebut, memiliki sihir yang sama dengan sihir yang dibawa oleh Makhluk Besar itu!” ceracau laki-laki itu sambil mengabaikan pertanyaan cucunya.

Sachi yang ketika itu sudah dipenuhi rasa penasaran, memberanikan dirinya untuk melangkah mendekati Kakeknya tersebut. Kaki Sachi seketika sulit untuk ia gerakkan … Seperti ada sebuah paku besar yang membenamkan kedua kakinya sedalam mungkin ke tanah, disaat sihir yang berbeda dari milik Kei dan milik Kakeknya, ia rasakan.

“Sihir ini,” ungkap Sachi begitu gemetar, tak kuasa ditahannya, “aku pernah memegangnya satu kali. Aku sudah membuatnya hancur saat itu … Tapi kenapa?” sambung Sachi yang tanpa sadar sudah menitikkan air mata.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now