Chapter DCCCXLVII

955 351 34
                                    

“Huri, Ibu tahu kau begitu mengkhawatirkan Ibu, tapi … apa kau bisa meninggalkan Ibu sendirian untuk sementara?”

Huri masih mengatup bibirnya, dia masih belum menjawab permintaan dari wanita yang disayanginya itu. “Baiklah, Ibu. Namun, segera panggil Huri kalau Ibu membutuhkan sesuatu ya.” Sachi mengangguk pelan, atas ucapan putrinya.

Huri beranjak, dia melangkah mendekati pintu. Dibukanya pintu tadi, dengan tak lama dia berbalik mengawasi Sachi yang masih diam tertunduk. “Ibu! Ibu jangan lupa untuk memanggil Huri,” ucap Huri penuh nada kekhawatiran.

Sachi mengangkat wajahnya. Dia paham bahwasanya Putri kesayangannya itu begitu sangat mengkhawatirkannya saat ini … Dia tersenyum, terpaksa tersenyum hanya untuk menenangkan Huri, “Ibu akan memanggilmu. Ibu tidak akan lupa,” jawab Sachi, dia masih melemparkan senyumannya sambil memperhatikan putrinya yang dengan perlahan menutup pintu kamar.

Huri berbalik, menuju anak tangga di rumah mereka. Dia diam sejenak, berdiri di ujung anak tangga … Memandangi punggung seorang pemuda yang duduk di sana. Pemuda itu mulai menoleh, saat Huri mulai menjatuhkan langkahnya di anak tangga. “Huri?” Huri tertunduk, mengabaikan panggilan dari Ihsan yang berdiri menatapnya.

Huri melanjutkan langkah, lalu berhenti di dekat kursi yang Sema dan Anka duduki saat itu. Gadis itu berlutut, diam tak bersuara di sana, “jika kalian ingin menyalahkan seseorang, silakan limpahkan semuanya padaku,” tutur Huri hingga membuat Anka menoleh padanya.

Gadis itu memberikan tatapan kosong, walau beberapa tetes air sempat jatuh di sudut matanya, “jika aku lebih berguna, Ibu mungkin bisa bangun lebih cepat.”

“Huri, hentikan! Jangan berbicara lagi!”

“Saat itu, aku mungkin masih seusia kalian. Kakek Buyut membawaku ke sebuah tempat yang begitu gelap … Di sana hanya ada aku dan juga Ibu. Tidak ada siapa-siapa lagi kecuali kami berdua.” sambung Huri, mengabaikan permintaan Ihsan, “setiap hari, aku selalu menahan rindu. Menahan rindu pada Ibu yang tak kunjung bangun. Pada Ayah, pada Kak Ihsan, dan pada kalian berdua yang aku pun tidak tahu kabarnya.”

“Ibu mungkin tidak akan bangun lagi kalau aku bersedih … Karena itu, aku mencoba menahan semuanya seorang diri. Karena aku ingin kita bersama-sama lagi. Karena aku ingin keluarga kita bisa bersama-sama lagi seperti dulu.”

“Kalau kalian ingin membenci seseorang. Benci saja aku dan jangan membencinya! Jangan membuatnya sedih … Karena aku tidak ingin sendirian lagi. Di sana begitu gelap … Aku, aku tidak ingin kembali ke sana.”

“Huri!” ucap Ihsan, dia turut berlutut lalu memeluk erat Huri yang saat itu masih terisak, “kau tidak akan sendirian lagi. Aku bersumpah, tidak akan meninggalkanmu,”sambung Ihsan sambil mengelus rambut Huri.

“Mereka tidak tahu seperti apa aku menjaganya. Aku bahkan takut untuk tidur … Aku takut, kalau tertidur dan nyanyianku berhenti, Ibu pun ikut berhenti bernapas. Bahkan saat ia terbangun, yang ia tanyakan pertama kali adalah kalian. Bagaimana bisa kalian begitu menyakitinya tadi?”

“Sema! Anka! Pergilah ke kamar kalian! Ini sudah malam, kalian berdua tidurlah!” perintah Ihsan, saat menangkap kedua adik kembarnya itu tertunduk membisu mendengar tangisan Huri.

“Ayo Sema! Kita ke kamar!” ajak Anka yang beranjak sambil menarik tangan Sema.

“Apa Ayah dan Ibu menyayangi kami?”

“Mereka menyayangi kalian berdua. Nama Sema dan Anka Bechir tidak akan kalian terima, kalau mereka tidak menyayangi kalian,” sahut Huri untuk pertanyaan yang Sema lontarkan.

“Sema! Anka! Kakak mohon!” pinta Ihsan yang kembali menatap mereka berdua.

“Huri, kau juga beristirahatlah!”

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now