Chapter DCCCLXXX

1K 326 37
                                    

“Ibu! Tadi Nenek memberikan ini kepadaku? Cantik tidak?” seruan Miyu membuat semua mata berpaling padanya.

Gadis tersebut begitu semangat dengan senyum lebar yang ia perlihatkan, tatkala tangannya sedikit menarik kalung yang saat itu sedang melingkar di lehernya. “Nenek berkata kalau kalung ini sangat berharga untuknya, jadi dia memberikannya kepadaku saat kami berbincang tadi,” sambungnya sembari tertunduk menatap liontin dari kalung yang ia pegang.

“Cantik! Terlihat cocok saat kau pakai. Kalung ini pasti harganya sangat mahal! Kau harus menjaganya baik-baik!” sahut Amanda untuk pertanyaan Putrinya.

“Pasti akan aku jaga baik-baik, Ibu! Nenek berkata kalau kalung ini merupakan satu-satunya kalung kesayangannya … Aku pasti akan menjaganya dengan baik.”

“Ayah! Bagaimana? Apa kalung ini pantas untuk kupakai?” Kali ini gadis tersebut bertanya pada Haruki, Ayahnya.

Haruki mengangguk, “kau terlihat cantik saat memakainya!” jawab Haruki yang semakin membuat senyum gadis itu mengembang.

“Terima kasih, Ayah!”

“Kak Hikaru, bagaimana?” gadis tersebut sedikit melipat bibirnya disaat Hikaru hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, “Kak Ihsan! Kak Takumi! Bagaimana? Apa cantik saat kupakai?” gadis itu beralih melempar pertanyaan pada dua pemuda di sana.

“Seperti yang Paman Haruki katakan, kau terlihat cantik memakainya!”

“Kau cocok memakainya, Miyu!” sambung Ihsan, menimpali ucapan Takumi.

“Huri, kalau kau menemui Nenek … Mungkin kau akan mendapat kalung seperti Miyu,”tutur Takumi sambil menatap pada Huri yang tak berpaling pada piring kecil berisi makanan di tangannya.

“Apa yang dikatakan Kak Takumi benar! Nenek pasti akan memberikanmu kalungnya yang lain! Nenek memiliki banyak sekali perhiasan di kamarnya,” sahut Miyu yang juga menoleh pada Huri di sana.

“Semua benda di sini masih diselimuti kegelapan! Belum murni sepenuhnya. Kalau aku memakai benda apa pun secara sembarangan … Aku takut itu justru merusak kulitku,” jawab Huri yang membuat semuanya hening, “lagi pula, aku sudah terlahir cantik tanpa bantuan perhiasan.”

"Aku tidak memerlukan perhiasan untuk mendapat pengakuan dari seseorang bahwa aku cantik!"

“Kalung pemberian Ibuku, sudah cukup untuk menghias leherku. Aku tidak memerlukan apa pun lagi.”

“Benar-benar Ayah dan Putri! Aku bisa merasakan kebencian ditiap kata yang ia ucapkan,” gumaman Izumi yang terhenti oleh cubitan Ebe di pinggangnya, membuat Sachi memalingkan mata dari Izumi kepada Huri.

“Apa yang kau maksudkan Kak Huri? Kalau ada sikapku yang tidak kau sukai, kau bisa mengatakannya secara langsung kepadaku. Aku hanya memberikanmu saran seperti yang Kak Takumi katakan.”

“Apa aku pernah berkata bahwa aku tidak menyukaimu? Kau terlalu mengada-ada, Miyu! Bagaimana aku bisa tidak suka pada seseorang yang hampir tidak pernah kutemui-”

“Huri!”

“Huri putriku! Kau tidak berhak meninggikan suara saat memanggil namanya!" sahut Zeki, oleh Haruki yang sedikit meninggikan suaranya kala menyebut nama putrinya.

Haruki menyeringai saat mendengar ucapan Zeki kepadanya, “apa seperti itu caramu mengajari putrimu? Begitu penuh kedengkian, dan tidak memiliki tata krama pada orang-orang di sekitarnya.”

“Hal yang sama aku tanyakan balik kepadamu … Apa kalian tidak pernah mengajari anak-anak kalian perkataan maaf? Tata krama? Apanya yang tata krama disaat anak-anakmu sendiri juga tidak memilikinya,” balas Zeki yang turut menyeringai untuk tatapan Haruki padanya.

“Aku sudah cukup bersabar, Zeki!”

“Aku juga sudah cukup bersabar, Kakak Ipar! Apa kau pikir, hanya kau saja yang menahan sabar saat ini?” Zeki kembali membalas ucapan Haruki dengan kedua mata merah, memendam amarah.

“Haruki!” Kali ini Izumi yang cukup lama terdiam, mulai membuka suaranya, “kau yang paling dituakan di sini! Kami sangat menghormatimu sebagai kakak kami, tapi,” ucap Izumi yang kembali menghening.

“Apa kau tidak bisa mengendalikan emosimu dan dengarkan baik-baik penjelasan mereka?” sambungnya sambil menoleh pada kakaknya itu, “karena jujur saja! Bukan hanya mereka yang kesal dengan apa yang terjadi, Kakak!” Izumi melempar senyum saat mengucapkan kata-kata terakhir.

“Sarnai! Ajak Yuichi untuk segera tidur bersamamu!” Ryuzaki turut mengeluarkan suaranya sambil menoleh pada Sarnai yang saat itu sedang merangkul putra mereka.

“Aku tidak tahu kalau hal ini akan berlanjut hingga sekarang!” Ryuzaki kembali berucap setelah Sarnai sudah mengajak putra mereka menjauh, “putraku sedikit takut kalau bertemu pertikaian, jadi aku harap ini semua selesai malam ini juga!” sambung Ryuzaki sambil menjauhkan cangkir berisi air di dekatnya.

“Aku yakin Sachi akan menutup mulutnya untuk masalah ini karena dia menghormatimu sebagai kakaknya, Kak Haruki. Jadi, jika ada yang ingin kakak tanyakan … Kakak bisa bertanya padaku! Semuanya!”

“Apa yang terjadi? Kalau kalian menghormatiku,” tutur Haruki menahan geram saat memalingkan matanya pada Ryuzaki, “ceritakan semuanya! Ceritakan apa yang tidak aku ketahui!”

“Ayah!”

“Diam!” Bentakan Haruki memenuhi ruangan tatkala putranya, Hikaru, memanggilnya, “apa aku pernah memberikanmu izin untuk menyela pembicaraan kami?” Haruki melirik sinis, pada putranya tersebut kala mengucapkannya.

“Baiklah, karena ini permintaan Kak Haruki … Maka aku akan memberitahukanmu, apa yang sebenarnya terjadi.”

“Ryu!” Ryuzaki tersenyum, tatkala Sachi memanggil dengan sedikit menggelengkan kepalanya, “jika aku saja tidak pernah merendahkanmu! Makhluk mana pun, tidak akan kuberikan izin untuk melakukannya.”

“Semuanya berawal saat Sachi baru terbangun dan hendak mencari Zeki!” lanjut Ryuzaki yang segera mengabaikan tatapan Sachi, “hanya Zeki yang tidak mendapat pertolongan dari Kakek! Tidak seperti kalian yang masih bisa makan dan minum dengan layak … Zeki tidak mendapat semua itu! Dia harus berjuang sendiri untuk hidup, karena itu Sachi begitu ingin memastikan keadaannya.”

“Karena Sachi baru terbangun, dia masih terlalu lemah untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Banyak hal yang terjadi karena dia begitu bersikeras untuk menemui suaminya! Terlebih, hubungannya dengan Kakek saat itu jadi merenggang dengan apa yang Kakek lakukan selama ia tertidur.”

“Kakek melepas tanggung-jawab dan perlindungannya untuk ketiga putra mereka … Ihsan, Sema, Anka, sering kali pulang dengan keadaan terluka oleh perlakuan Elf yang membenci manusia. Jadi jika ada yang mengira kalau kehidupan mereka di Dunia Elf itu baik, itu tidak benar!”

“Puncak dari semuanya, adalah saat Sachi menolak permintaan Kak Amanda untuk mengajaknya dan anak-anak kalian ke Dunia Manusia! Sachi beralasan bahwa dia tidak bisa menjaga banyak orang secara bersamaan! Dia masih lemah saat itu, dan untuk menjaga empat orang anak saja sudah cukup berat terlebih mereka tidak tahu lebih tepatnya di mana Zeki berada.”

“Aku bisa memahami maksud baik Sachi yang tidak ingin mereka celaka hanya karena dia tidak sanggup melindungi mereka saat ada bahaya datang! Dan memang saat itu, sihir di dalam tubuhnya masih sangat lemah! Aku bisa merasakannya.”

“Keluargamu tidak terima dan menganggap Sachi sudah tidak peduli pada mereka!” lanjut Ryuzaki sambil tertunduk dengan telapak tangan menyentuh keningnya sendiri, “ada pertikaian saat itu di antara mereka yang tidak terlalu kuingat.”

“Namun tadi, Hikaru dan Kak Amanda mengungkit apa yang tidak perlu diungkit hingga memancing kekesalan Huri berserta Zeki.”

“Kebaikan?” Ryuzaki melanjutkan gumamannya dengan melempar tatapan kosong ke depan, “bahkan langit pun tahu bahwa yang paling baik hatinya di antara kita hanyalah Sachi! Jika tidak, dia tidak akan mungkin terlahir sebagai wujud lain dari Robur Spei!”

“Jujur saja! Jika tidak ada Sachi, apa mungkin bagi kita! Bagiku, bagi Zeki, bagi Kak Izumi dan bagimu, Kak Haruki! Dapat menjadi manusia seperti sekarang? Itu mustahil, kan?” tutur Ryuzaki lagi, sesaat dia beranjak lalu berbalik, menuju ke arah Sarnai yang berbaring, memeluk putra mereka.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now