Chapter DCCCLXXIV

849 302 7
                                    

“Lux, sepertinya kami akan menambah anak lagi. Aku akhir-akhir ini mudah sekali lelah, rasa yang hampir sama kurasakan saat awal-awal mengandung Huri.”

“Kenapa kau sama sekali tidak bereaksi? Setidaknya kau bisa menanggapi perkataanku walau hanya sedikit,” sambung Sachi kepada Lux yang saat itu hanya diam sambil memakan potongan apel yang ia pegang.

“Apa yang harus aku tanggapi? Bukannya wajar kalau sampai kau hamil lagi setelah hampir tiap hari melakukannya bersama suamimu? Kalian para manusia, hampir mirip seperti para Manticore yang tidak bisa berhenti membuat anak,” sahut Lux begitu datar dengan terus lanjut mengunyah apel di tangannya.

“Aku baru sadar, bahwa kalian dapat melihat apa yang aku lihat. Jangan katakan!”

“Jangan katakan apa?” sergah Lux yang segera menoleh dengan wajah penuh kesal, “kami memiliki adab untuk tidak terlalu mencampuri urusan pribadi milikmu. Tenang saja! Kami selalu menarik diri tiap kali kalian melakukannya!”

“Mata dan telinga kami, tidak akan bisa melihat apa yang kalian lakukan saat itu. Jadi, kapan kau akan memberitahukannya? Dua kali kau melahirkan, dua kali juga dia tidak menemanimu.”

“Tidak sekarang! Tunggu sedikit lebih lama! Aku juga belum yakin ini benar atau tidak. Lagi pula, akhir-akhir ini dia baru begitu dekat dengan anak-anaknya. Aku tidak ingin, perhatiannya pada mereka terbagi begitu ce-”

“Kenapa kau melakukannya?” Lux memotong sahutan Sachi yang belum terselesaikan itu, “tanda di lehermu baru sedikit yang menghilang. Seharusnya kau lebih menikmati hidup! Bukankah menambah anak akan membuatmu semakin berat untuk berpisah dengan mereka?”

“Mungkin benar, tapi apa kau lupa?” tutur Sachi sembari mendongak, menatapi langit yang begitu mendung di sana, “aku sudah siap melepaskan semuanya semenjak membawa mereka pergi ke sini. Dan juga Lux, aku bahagia dengan hidupku yang sekarang bersama mereka.”

Sachi beranjak, sesaat suara tawa terdengar dari kejauhan mendekati mereka, “sepertinya mereka sudah selesai melakukan latihan sore. Kita hentikan pembicaraan hari ini, Lux!” tukas Sachi sembari berjalan, meninggalkan Lux yang masih duduk di teras rumah mereka.

____________.

“Paman Lux, apa kau tidak ingin memakannya? Aku dan Anka menangkapnya dengan jebakan yang kami buat.”

“Berpuluh-puluh kali sudah kukatakan, aku tidak memakan daging! Aku hanya memakan tumbuhan!”

“Sema!” Sachi memanggil putranya itu yang masih mencoba merayu Lux untuk mencicipi sepiring daging yang ia berikan, “para peri tidak memakan daging! Apa kau ingin membunuhnya?” Mendengar ucapan Sachi, membuat anak laki-laki itu segera terdiam.

“Maaf, Ibu! Dan maaf juga, Paman Lux!” seru Sema yang terlihat sangat kecewa, ketika dia harus kembali menarik piring berisi daging, menjauh dari Lux.

Helaan napas Lux membuat Sachi menoleh padanya. Peri kecil itu, meletakkan potongan kecil  semangka yang sebelumnya ia makan ke atas piring, “besok pagi ikutlah denganku! Aku akan mengajarimu tanaman-tanaman mana saja yang bisa dijadikan obat berserta racun. Semua pengetahuan yang akan kuberikan, semua itu sangatlah mahal dan sulit didapatkan.”

“Paman! Paman, apa Anka juga boleh ikut?”

Pandangan Lux teralihkan pada suara anak laki-laki lainnya yang berseru memanggilnya, “justru lebih bagus kalau kau ikut! Aku bisa merasakan potensi untuk kepalamu-”

“Potensi untuk kepalaku?” gumam Anka, menyahuti ucapan Lux kepadanya.

“Yang ia katakan … Kau sama seperti Ibumu, cepat dalam mempelajari apa pun. Gunakan kepintaranmu untuk mempelajari banyak hal! Itu akan sangat membantumu saat kau sudah dewasa.”

“Lalu Ayah, bagaimana denganku?”

Zeki mengangkat pandangannya, lalu tersenyum pada anak laki-laki yang duduk di hadapannya itu, “sayang sekali, bahwa kau tidak terlalu pandai sepertiku! Kepandaianmu telah direbut oleh Anka saat masih di dalam perut Ib-”

“Masih ingin berbicara?” Sachi menoleh, dengan senyum yang ia lempar pada Zeki di sebelahnya, “lebih baik, isi saja mulutmu itu dengan makanan yang aku masak dibanding berbicara omong kosong tanpa henti,” lanjutnya, diikuti semakin kuatnya pijakan yang ia lakukan di kaki Zeki.

“Lalu kenapa kalau Sema tidak terlalu pandai seperti Ayah, bukankah Sema sangat mengagumi Ayah? Justru bagus, bukan? Kalau saja Sema tumbuh sedikit lebih kuat, Sema akan mudah menyusul Ayah.”

“Sema mirip seperti Ayah, sedang Anka mirip seperti Ibu. Apa yang salah dari semua itu? Kalian anak-anak kami, jadi wajar kalau kalian mirip dengan salah satu di antara kami. Ibu benar, kan?”

“Lanjutkan makannya! Habiskan, lalu pergi beristirahat kalau kalian memang ingin ikut bersama Paman Lux esok!” perintah Sachi tatkala sebelum itu,  kedua putra kembarnya mengangguk, untuk pertanyaan yang ia lontarkan.

Sachi menghening, lalu menoleh ke belakang. Merasakan keanehan yang diperlihatkan Sachi … Membuat Zeki turut menoleh terutama saat Huri dan juga Lux ikut melakukan hal sama. “Ada apa?” tanya Zeki begitu penasaran.

“Ada seseorang yang datang!”

Pandangan Sachi berpaling pada suaminya, sesaat tangan Zeki menahan lengannya yang ketika itu hendak berdiri. “Tidak apa-apa! Itu hanya Ryu!” ujar Sachi, sebelum pintu di rumah mereka terdengar diketuk.

“Ibu, biar aku saja yang membuka pintu!” Ihsan segera beranjak lalu pergi meninggalkan ruang makan, tanpa sempat mendengar izin yang Sachi berikan.

“Aku harap ini bukan pertanda buruk!” Kali ini Lux menyahut, diikuti tubuh kecilnya yang terbang keluar menyusul Ihsan.

Zeki juga beranjak dari kursi yang ia duduki saat itu, “tunggulah di sini bersama mereka! Aku saja yang menemuinya!” perintah Zeki. Ia melepaskan genggamannya di lengan Sachi sebelum jalan meninggalkan istrinya itu yang ketika itu masih diam, tak banyak bersuara.

Zeki menghentikan langkahnya, setelah bertemu dengan Ryuzaki yang berdiri di pintu, sedang berbicara pada Ihsan. “Kau terlihat sangat sehat, Ryuzaki!” seru Zeki hingga membuat pembicaraan di antara mereka berdua terhenti.

“Zeki!” Ryuzaki balas memanggil namanya, sesaat matanya itu menangkap sosok Zeki yang melihat mereka sedikit jauh di belakang, “syukurlah kalian baik-baik saja. Maaf aku tidak bisa menolo-”

“Tidak apa-apa! Sachi sudah menceritakan semuanya. Terima kasih karena sudah membantu anak-anakku! Masuk dan duduklah!” perintah Zeki, setelah dia memotong ucapan Ryuzaki yang belum terselesaikan.

Zeki kembali mengangkat telapak tangannya ke arah kursi di dekatnya. Dia pun mulai bergerak lagi ke kursi lainnya, lalu duduk diam di kursi tersebut, menanti Ryuzaki yang ketika itu sudah berjalan menjawab permintaannya.

“Apa aku bisa bertemu dengannya? Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dan ini sangatlah penting!”

“Tentang apa? Sora? Kau bisa bercerita dulu kepadaku, agar aku sendiri bisa memutuskan ... Kau boleh menemuinya, atau tidak!”

Ryuzaki melempar pandangannya ke samping, lengkap dengan bibir yang ia gigit begitu kuat, “dia kakakku! Apa aku harus memerlukan izinmu untuk bertemu dengannya?” tutur laki-laki tersebut setelah matanya sudah berpapasan lagi dengan Zeki.

“Dan dia istriku, apa kau lupa? Keselamatannya merupakan tanggung-jawabku!”

Ryuzaki mengangkat wajahnya, lengkap dengan tarikan napas dalam yang dilakukannya, “Sachi, apa kau bisa memberikanku air mata Uki? Kami sangat membutuhkannya!” tutur Ryuzaki yang menoleh ke belakang, ke arah ruangan tanpa pintu di belakangnya, “aku tahu kau berada di sana, Kakak!”

Sachi melirik pada Huri, Sema dan Anka yang masih duduk di kursi mereka. Kedua tangan perempuan itu mengepal kuat … Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya, sebelum kedua kakinya kembali mulai ia gerakkan. “Apa yang akan kau lakukan setelah mendapatkan air mata tersebut? Aku tidak suka dengan pembicaraan yang hanya sepotong-sepotong!” ujar Sachi, setelah ia memperlihatkan diri di hadapan Ryuzaki yang menanti kedatangannya.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now