Chapter DCCCXLV

999 374 77
                                    

“Kau sudah bangun?” Sachi mengangguk untuk pertanyaan Adik Kembarnya itu, “maaf. Maafkan aku. Aku tidak bisa melakukan apa pun untukmu selama ini.”

Sachi melepaskan pelukannya. Kepalanya menggeleng diikuti jari-jemarinya yang bergerak mengusap mata Ryuzaki, “kau baik-baik saja seperti sekarang … Itu sudah cukup bagiku,” tuturnya yang terdengar parau.

Wanita itu menoleh ke belakang, “aku begitu terkejut, karena saat bangun … Aku menemukan Putriku telah dewasa,” sambung Sachi sambil menatap Huri yang kala itu sudah berdiri di belakangnya.

Ryuzaki berjalan mendekati gadis yang ditunjuk oleh kakaknya. Dipeluknya gadis tersebut, “terima kasih, Huri. Kau tumbuh begitu cantik, seperti Ibumu … Terima kasih, telah berjuang selama ini. Maaf, Paman tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantumu.”

Air mata terpercik di pelupuk mata Huri. Matanya seketika memanas oleh ucapan dari Pamannya barusan, “dia Ibuku, sudah menjadi tugasku untuk menjaganya, Paman,” ucapnya dengan bibir gemetar.

“Di mana Zeki dan anak-anakku yang lain?”

Senyum di wajah Ryuzaki memudar, saat mendengar pertanyaan Sachi. “Ryu?” Ryuzaki terpaksa berbalik, ketika kakaknya itu kembali memanggil namanya.

“Ihsan, Sema dan Anka, mereka mungkin berada di rumah milik kalian-”

“Lalu Zeki?” sergah Sachi, sebelum Ryuzaki menyelesaikan ucapannya.

Ryuzaki melipat bibirnya ke dalam. Wajahnya tertunduk, tak kuasa untuk membalas tatapan Sachi padanya, “jujur, aku tidak tahu bagaimana kabarnya setelah aku tak sadarkan diri oleh hujan.”

“Saat aku sadar, aku ingin segera kembali menyelamatkannya, tapi sihirku tidak bisa digunakan sama sekali!” Ryuzaki berusaha menjelaskan, sesaat dia menangkap raut wajah Sachi yang sudah berubah.

“Sachi!”

“Ibu!”

Baik Ryuzaki dan Huri bergegas maju, hendak mendekati Sachi yang hampir oleng, setelah mendengar penjelasannya. “Bagaimana bisa kalian tidak menolongnya? Apa karena dia manusia?” Sachi bergumam pada dirinya sendiri, dengan suara yang terdengar sepotong demi sepotong.

“Apa yang kalian lakukan? Apa yang kalian lakukan?”

“Kalian tahu kalau hujan tersebut sangat berbahaya untuk manusia, tapi apa yang kalian lakukan?!”

“Aku sudah mencoba untuk menolongnya?!” Ryuzaki tak ingin kalah meninggikan suaranya.

“Menolongnya?” Sachi tertunduk, beberapa kali telapak tangannya memukul-mukul dadanya yang begitu sesak, “apa kalian menolong yang lain, sedang dia tidak kalian tolong?”

“Tega sekali kalian,” tutur Sachi yang begitu pilu saat mengucapkannya, “dia suamiku. Dia ayah dari anak-anakku … Kenapa kalian memperlakukannya begitu tidak adil?”

“Sachi!”

“Menjauhlah dariku!” bentak Sachi dengan mata yang nanar memandang saudara kembarnya itu.

Sachi menoleh pada Huri yang ketika itu terlihat bingung dengan apa yang terjadi. “Huri, ikut Ibu mencari saudara-saudaramu!” pinta perempuan malang itu, sambil beranjak dengan sisa tenaga yang ia miliki, “perasaan Ibu begitu tidak tenang, sebelum bertemu mereka,” sambungnya, mulai berjalan dengan gontai.

“Ibu!”

“Ibu baik-baik saja,” sahut Sachi, sesaat sebelumnya dia hampir tersungkur ke depan.

“Miyu, jangan pulang terlalu sore!”

“Baik Ibu!”

Sachi menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah, ketika suara-suara perempuan tadi memasuki telinganya. Dia menoleh pada pintu yang terbuka, ke arah sosok perempuan yang berdiri di depan pintu tadi. “Paman Ryuzaki?” Sachi segera membuang wajah, langkahnya berlanjut lagi meninggalkan Miyu yang memanggilnya sebagai Ryuzaki.

_____________.

“Kak Ihsan!”

“Apa Kak Ihsan sudah lama menunggu di sini?”

Ihsan menggeleng, menjawab pertanyaan dari Miyu yang berjalan semakin mendekatinya. “Aku juga baru sampai di sini. Bukankah kau berkata, kita akan pergi bertiga? Lalu, di mana Hikaru?” Ihsan balas bertanya sambil mencari sosok Hikaru di belakang Miyu.

“Penyakit Kak Hikaru kembali kambuh. Tidak perlu menanyainya … Kita pergi berdua saja,” sahut Miyu sambil berjalan melewati Ihsan yang masih terdiam.

“Kak Ihsan, tadi aku bertemu dengan Paman Ryuzaki … Dia bersama seorang perempuan, hendak pergi ke rumah kalian.”

“Namun Paman Ryuzaki terlihat aneh sekali, dia sama sekali tidak menjawab panggilanku. Rambutnya pun tidak hitam dan lurus seperti biasa … Matanya terlihat merah, seperti habis menangis.”

Ihsan seketika menghentikan langkahnya, setelah mendengar kata-kata yang Miyu lontarkan, “lalu? Perempuan yang bersama dengannya. Seperti apa dia?” Ihsan kembali bertanya, dengan nada yang bergetar kala memasuki telinga.

“Dia terlihat biasa-biasa saja. Dia juga terlihat angkuh … Sama seperti Elf yang lain-”

“Apa Gadis tersebut, memiliki warna mata yang berbeda?”

“Kak Ihsan mengenalnya?”

Ihsan segera berbalik, dia meninggalkan keranjang yang ia bawa untuk memungut buah-buahan bersama Miyu. Langkahnya begitu cepat … Dia terus berlari tanpa memedulikan apa pun yang ada di sekitarnya. Ihsan mempercepat kakinya untuk berlari … Dia, Pemuda itu, segera membuka pintu yang ada di depannya.

“Ibu!”

Tangisan pemuda itu seketika pecah, sesaat dia menangkap sesosok perempuan sedang duduk di kursi yang ada di rumah mereka. “Apa kau Ihsan?” Sachi bertanya pada Pemuda yang masih mematung, memandanginya.

Pemuda itu mendekat. Dia berlutut, lalu menangis dengan menempelkan kepalanya di pangkuan Ibu yang begitu ia tunggu kedatangannya, “apa kau Ihsan?” Sachi bertanya lagi, sambil meletakkan tangannya menyentuh kepala pemuda tadi.

“Aku Ihsan, Ibu. Aku Ihsan,” tangisnya yang begitu pilu.

Sachi tertunduk … Dia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya, menutup seluruh ratapan yang ia keluarkan saat itu kala mendengar Putra Kesayangannya, tak berhenti menangis di pangkuannya.

Dengan cepat, Sachi menghapus seluruh sisa air matanya yang masih hendak terjatuh. “Angkat wajahmu, Nak! Ibu ingin melihatmu!” isak Sachi sambil menyentuh kedua telinga pemuda tadi.

Tangisnya kembali pecah, saat matanya memandang pada wajah Putranya yang telah dewasa. Sachi menunduk … Dalam tangisannya, dia mencium kening, mencium pipi pemuda itu segera bergantian, “apa kau baik-baik saja, Nak? Apa kau baik-baik saja di sini?” Sachi sesenggukan, saat melontarkan pertanyaan itu.

“Aku baik-baik saja, Ibu. Kami baik-baik saja,” jawabnya, sambil kembali tertunduk ke pangkuan Ibunya.

Sachi membelai rambut Putranya itu, dia terus melakukannya ketika Ihsan masih menangis di pangkuannya. Tak lama, Sachi melambaikan tangannya, pada sosok gadis yang bersembunyi mengawasi mereka. “Huri, kemarilah!” panggil Sachi, pada sosok gadis tadi.

Ihsan mengangkat wajahnya, sesaat Ibunya memanggil nama Huri. Dengan masih berusaha menahan tangisnya … Ihsan beranjak, ketika sosok gadis cantik berambut hitam panjang itu berjalan mendekati mereka. “Kak Ihsan!” suara Huri begitu gemetar saat memanggilnya.

Belum sempat gadis itu berhenti di dekat mereka. Langkahnya sudah terhenti pada Ihsan yang berjalan maju lalu memeluk erat tubuhnya. “Huri!” panggil Ihsan sambil menyentuh belakang kepala Huri yang masih ia peluk.

“Kak Ihsan! Kak Ihsan!” tangis dari gadis itu pecah, ketika dia membenamkan wajahnya ke pelukan Ihsan.

“Bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?”

Huri semakin larut dalam tangisnya, disaat dia mendengar ucapan Ihsan. “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa,” hibur Ihsan, dia menepuk pelan beberapa kali punggung Huri, agar Gadis tersebut tak terlalu larut dalam tangisnya lagi.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now