Chapter DCCCLXXVIII

952 324 20
                                    

“Apa kau tidak memperhatikannya, Zeki? Tiap kali mereka berdua berbincang … Mereka akan melupakan orang-orang di sekitar mereka!” tutur Izumi sembari melirik pada Zeki yang saat itu tengah memperhatikan Sachi dari kejauhan.

“Di mana kalian tinggal saat ini? Apa semuanya baik-baik saja?”

“Kenapa bertanya sesuatu yang sudah kalian ketahui jawabannya!” sahut Zeki setelah Izumi kembali bertanya, “Ryuzaki yang menjemput kami ke sini! Dia pasti tahu di mana kami tinggal.”

“Apa kau masih kesal dengan apa yang terjadi tadi?”

“Terjadi? Apa yang terjadi?” Kali ini Haruki menyahut, disaat adik dan adik iparnya itu tengah berbicara tanpa mengikutsertakannya.

“Sachi, apa kau menyimpan air!” Zeki mengabaikan pertanyaan Haruki dengan memanggil istrinya.

“Air?” Sachi balas menyahut sembari melempar pandang pada Zeki yang duduk dengan menyandarkan punggungnya ke dinding, “sebentar, akan aku ambilkan.”

Sachi beranjak dengan meraih sebuah kantung kulit berisi air yang ia bawa bersama kotak kayu berisi masakannya. “Hanya air? Apa kau menginginkan sesuatu yang lain?” tanya Sachi ketika dia berjalan semakin dekat pada suaminya.

Zeki meraih kantung air yang Sachi berikan, “beristirahatlah! Wajahmu terlihat begitu lelah saat ini!” pinta laki-laki tersebut sambil menepuk kasur tipis yang ia duduki ketika itu.

“Izumi, apa yang terjadi sebenarnya?”

Mata Izumi yang sebelumnya memandang ke arah keluarga adiknya, kini bergerak cepat … Berpaling pada Haruki yang kembali melontarkan pertanyaan. “Apa yang terjadi? Memang apa yang terjadi?” balas Izumi dengan melirik pada Amanda berserta Hikaru yang terdiam di dekat kakaknya itu.

Izumi beranjak, mendekati Ebe yang masih duduk di depan hidangan yang Sachi bawakan untuk mereka. “Apa ini daging dan sayur? Dan ikan?” tanya Izumi sembari menoleh pada Sachi yang turut menoleh setelah mendengar suaranya.

“Makanlah apa yang ingin kau makan, nii-chan! Jangan takut kehabisan karena aku dan Ebe akan memasaknya lagi untukmu.”

“Aku benar-benar akan menghabiskannya tanpa ragu! Karena aku sangatlah merindukan masakan adik kesayanganku saat ini.”

“Tentu!” suara Sachi bergetar kala mendengar ucapan Izumi untuknya, “Haru-nii, kau juga harus memakannya! Hikaru dan Kak Amanda, kalian juga makanlah!”

“Ibu!” Sachi terdiam lalu beralih pada tangan yang menarik lengan bajunya, “ada apa?” tanyanya kepada Sema yang rupanya tadi memanggilnya.

“Ibu, aku masih lapar. Aku dan Anka belum makan apa-apa tadi … Ibu, apa boleh kami makan bersama Paman dan Bibi di sana?”

Mendengar ucapan Sema, membuat Sachi turut membuang pandangannya pada Anka yang juga tertunduk lesu di dekatnya, “maaf, Ibu lupa kalau kalian tidak sempat menghabiskan makanan kalian tadi!” ujarnya seraya menyentuh pipi Sema dengan lembut, “ikut Ibu untuk makan bersama mereka! Ihsan dan Huri, kalian juga ikut kami! Begitu pun denganmu, aku tidak ingin kau menahan lapar!” lanjutnya diikuti telapak tangan menepuk paha Zeki, yang saat itu diam mengawasinya dan anak-anak mereka.

Sachi beranjak sambil meraih tangan Sema. Dia mengajak putranya itu berjalan mendekati mereka semua yang telah duduk di depan deretan kotak kayu berisi makanan darinya, “apa kami boleh ikut makan bersama kalian? Aku terlalu sibuk menyiapkan semuanya, hingga lupa kalau mereka juga belum sempat memakan apa pun.”

“Sema atau Anka?” tukas Izumi tatkala Sachi sudah duduk dengan seorang anak laki-laki di sebelahnya.

“Kau masih mengingat nama anak-anakku, nii-chan?” Sachi balas bertanya sembari meraih garpu dan piring kecil di dekat mereka.

“Aku tidak mungkin melupakan nama-nama keponaka-”

Mendengar Izumi yang tiba-tiba menghening, membuat Sachi mau tidak mau menoleh … Mengikuti arah di mana mata Kakaknya itu tertuju. Sama seperti Izumi, Sachi pun tak kalah terkejut saat menyaksikan Sema bersujud di sampingnya. “Senang bertemu denganmu, Paman! Namaku Sema Bechir dan yang sedang bersama Ayah sekarang, dia Adikku … Anka Bechir. Usia kami sekarang masih sepuluh tahun. Kalau ada yang ingin Paman tanyakan, Paman dapat langsung bertanya pada kami nanti!”

Zeki dan Sachi saling pandang, begitu juga dengan Ihsan, Huri serta Anka yang terlihat begitu terkejut menyaksikan apa yang Sema lakukan saat itu. “Didikanmu sepertinya sangat keras! Aku tidak menyangka bahwa tata krama miliknya sangatlah bagus-”

“Aku? Aku bahkan….” Sachi sedikit gelagapan sesaat ia mendengar sahutan Haruki yang memecah keheningan di antara mereka.

“Aku yang mengajarinya! Dia berkata tidak ingin lagi membuatmu kecewa, jadi dia memintaku untuk mengajarinya seperti apa bangsawan bersikap kepada orangtua mereka.”

“Begitukah?” Sachi tersenyum sambil menyentuh kepala Sema, tatkala bisikan dari Lux yang bersembunyi di balik rambut menyentuh telinganya, “angkat kepalamu! Ibu sangatlah bangga pada Sema karena sudah menjadi anak yang baik.”

Mata anak laki-laki itu berbinar tatkala dia sudah kembali duduk seperti permintaan Ibunya. “Aku tidak ingin membuat Ibu kecewa lagi,” ujarnya dengan mata yang semakin basah saat pandangannya berpapasan pada Ibunya.

“Ibu tahu! Karena itu, Ibu sangatlah bangga pada Sema dan juga Anka.”

“Jadi kau Sema?” sahutan Izumi membuat Ibu dan Anak itu berpaling ke arah suaranya.

“Paman memiliki anak laki-laki yang usianya lebih muda dibanding kalian dan juga Yuichi. Dia takut berteman dengan orang-orang dan selalu menempel pada Kakaknya … Apa kau dan juga Anka dapat mengajaknya bermain nanti?”

“Bermain hanya untuk anak-anak, Paman! Kami lebih suka berburu bersama Ayah dan Kak Ihsan. Aku dan Anka bahkan sudah memikirkan jebakan apa lagi yang ingin kami gunakan untuk berburu nanti. Itu benar, kan, Anka?” jawab Sema yang tak butuh waktu lama disambut dengan anggukan dari saudara kembarnya.

“Tapi, kami akan tetap mengajaknya bermain. Kami juga akan mengajarinya berpedang dan memanah agar dia tidak takut lagi!”

“Kalian bisa menggunakan pedang dan memanah? Apa kalian sudah bisa memanah hewan yang bergerak saat berburu?”

“Ti … Tidak juga!” sahut Sema akan ucapan Izumi yang memotong perkataannya, “Ibu, aku ingin makan daging yang ada di sana!” lanjut anak laki-laki tersebut, mencoba mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk pada kotak kayu berisi daging di dekat Hikaru.

Tawa Izumi pecah ketika dia melihat tingkah laku Sema, “kau lihat itu, Haruki? Persis seperti Sachi saat dia sedang menyembunyikan sesuatu dari kita.”

“Kau benar! Sachi selalu berusaha mengalihkan pembicaraan saat kita menginterogasinya-”

“Kapan aku melakukannya? Aku tidak pernah melakukannya!” tutur Sachi, menyergah ungkapan Haruki yang menimpali ucapan Izumi.

“Kapan aku melakukannya? Wajar saja, keburukan yang sering dilakukan akan sulit sekali untuk diingat saat ada orang yang mengungkitnya,” sindir Izumi mempermainkan Sachi yang tak berkedip menatapnya.

Izumi menarik napasnya, “aku tidak menyangka bahwa kita semua akan berkumpul lagi seperti ini. Rasanya seperti mimpi … Kalau benar ini mimpi, aku tidak ingin terbangun lagi.”

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now