Maudy langsung menaruh minuman yang tadinya mau ia minum. Ia mendekat ke arah Alisha, mengajak Alisha bersandar di bahunya sambil mengelus pelan bahu Alisha.

"Kenapa sih orang-orang ngga suka banget gue sama Barra, Dy...."

Suara Alisha mulai terdengar pelan dan berbeda. Maudy terus mengelus bahu sahabatnya itu.

"Semua orang suruh gue putus, Dy. Semua orang. Enak banget mereka bilang putus aja, putus aja. Dikira dulu gue ngejar Barra gampang kali ya?"

Alisha membiarkan air matanya yang mulai turun dengan tangan yang masih memegang pizza.

"Masa gue se-engga berhak itu buat pacaran sama Barra, Dy? Apa-apa salah gue, semua salah gue, gue lagi yang salah. Cape anjir..." Nada bicaranya mulai diiringi dengan isakan tangis pelan.

"Gapapa, nangis aja. Jangan di tahan, gue dengerin cerita lo" ucap Maudy membiarkan Alisha menangis.

Isakan Alisha makin terdengar. Selama ini mungkin ia hanya diam, berusaha menerima omongan, cacian, sindiran padanya. Dan berharap mereka akan berhenti mengolok-olok Alisha. Tapi ternyata tidak. Semua itu masih Alisha dapatkan setiap hari. Setiap pergi dengan Barra. Pandangan orang-orang yang menatapnya sinis, bisikan-bisikan mulai terdengar.

Ia sudah berusaha untuk bertingkah baik-baik saja oleh perkataan orang-orang. Berusaha tidak memperdulikan. Karena Barra hanya miliknya. Namun akhir-akhir ini, kata-kata yang dilontarkan semakin mengejek Alisha. Seolah-olah Alisha adalah kotoran untuk Barra yang sangat suci.

Makin ia pendam sendiri, makin sakit. Setiap malam, omongan itu kembali terputar. Alisha mau tidak usah mendengar juga tidak bisa, bagaimanapun juga ia memiliki telinga.

"Gue kayaknya ngga layak banget sama Barra, Dy..."

"Heh" tegur Maudy. "Jangan ngomong gitu,"

"Nyatanya gitu, Dy. Kalo gue perhatiin pas Barra jalan sama Tania, orang-orang ngga ada yang bisik-bisik, ngga ada yang ngatain Tania, malah mereka muji-muji. Kalo gue? Kenapa sih, Dy...."

Maudy diam. Hanya elusan yang bisa ia berikan. Selebihnya, Maudy hanya bisa jadi pendengar yang baik. Karena tau, mau dia ngomong 'udah ngga usah di dengerin' atau 'lama-lama mereka juga cape' itu hanya sia-sia.

"Sampe guru BK loh, Dy. Bu Auli suruh gue putus. Gue disana kayak kambing cengo aja dengernya"

Alisha menangis lagi. Mulai banyak air mata yang keluar. Sudah cukup lama memendam semuanya sendiri tanpa menceritakan keluh kesah ini pada siapapun. Kali ini, Alisha cape. Cape banget. Setiap hari harus denger ejekan tentangnya, kadang setiap mau ke sekolah ada rasa takut dalam hati kecil Alisha. Itu sebabnya ia bertingkah ceria setiap hari.

"Putus aja kali ya, Dy?" Alisha mendongak menatap Maudy.

Maudy melepas rangkulannya. Ia membenarkan rambut Alisha yang basah terkena air mata. "Yang di selesain masalahnya, oke? Bukan hubungan lo, Al"

"Tapi gue cape..."

Maudy tersenyum. "Gapapa cape, gapapa kalo mau ngeluh atau nangis. Tapi kalo lo belum bener-bener mau buat ngelepas Barra, jangan ya? Jalanin sampe lo nanti bakal bilang 'im done' yaaa?"

"Tapi kalo emang pilihan lo udah yakin buat putus, yaudah gapapa. Gue ngehargai keputusan lo" lanjut Maudy. Baru kali ini ia tau kalau ejekan, sindiran, cemoohan itu sangat berpengaruh pada Alisha. Maudy juga baru tau kalau orang-orang menyindir Alisha setiap hari.

🌼🌼🌼

Barra sampai di kelas dari pagi. Ia tidak bareng Alisha, sama seperti kemarin. Tidak ada chat yang memenuhi WhatsApp-nya juga. Barra membuka lembar buku dan mengerjakan latihan soalnya. Hanya belajar yang Barra lakukan dari semalam.

About Barra 2 [TAMAT]Kde žijí příběhy. Začni objevovat