Chapter DCCCXXXVII

2.4K 421 138
                                    

Zeki masih membisikkan beberapa kata-kata untuk menenangkan istrinya. Tangannya pun, sesekali mengusap dengan sangat lembut punggung perempuan yang ia cintai itu. Namun, berselang beberapa saat, jantungnya berdetak, ketika semerbak harum yang begitu menyengat keluar dari tubuh Sachi.

Semua orang yang berada di dalam Istana sama sekali tidak sadar, bahwasanya langit sudah begitu gelap di luar sana. Lux terduduk lemas di pundak Ryuzaki, dia menangis sejadi-jadinya dengan wajah tertunduk, mengiringi rintik air yang mulai jatuh dari langit.

Kou berhenti terbang, dia mengurungkan niatnya untuk mengejar Naga Kaisar yang hendak melarikan diri, sesaat tetesan hujan pertama menyentuh kulitnya. “My Lord!” panggilnya seraya terbang berputar ke arah sebaliknya.

Di saat tetesan hujan yang terjatuh mulai semakin banyak. Tubuh besar nan gagah milik Naga kesayangan Sachi itu kehilangan kekuatan, sampai-sampai dia terperosok jatuh hingga membuat hancur tanah yang ia tabrak.

Ryuzaki tak berkutik saat melihat semuanya. Akar berduri yang tumbuh di dekatnya, yang ia gunakan untuk menyerang musuh … Seketika layu dan mati, ketika air hujan membasahinya. Dengan langkah yang lunglai, dia berjalan melewati beberapa puluh manusia yang mendadak jatuh tak bernyawa ketika tubuh mereka terkena hujan.

Langkah Ryuzaki semakin cepat berlari. Walau beberapa kali dia sempat tersungkur, Ryuzaki kembali bangkit dan melanjutkan langkahnya. Setelah memasuki kawasan Kerajaan, Ryuzaki lagi-lagi jatuh untuk kesekian kalinya, “Lux!” panggilnya sambil menelan ludah.

Ryuzaki mengangkat salah satu tangannya, hendak meraih Lux yang terbaring diselimuti lumpur, diam tak sadarkan diri, “Lux!” panggilnya lagi dengan air mata yang tak kalah berurai.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Ryuzaki mengangkat tangannya untuk memapah tubuhnya agar bisa bergerak maju. “Kita harus menyelamatkannya,” ucap Ryuzaki, sesaat salah satu tangannya sudah meraih Lux ke genggaman.

“Sachi! Sachi!” Ryuzaki terus-menerus memanggil nama saudarinya itu, walau kesadarannya saat itu sudah semakin menghilang, terbawa oleh hujan yang mengguyur tubuhnya.

____________.

Rasa takut seketika menyelimuti tubuh Zeki, tatkala suara tangis Sachi yang sebelumnya terdengar, kini benar-benar menghilang. Badannya lemas dalam hitungan detik, disaat dia merenggangkan pelukannya … Disaat itu juga, lengan kecil yang memeluk tubuhnya itu terkulai jatuh.

Zeki segera merangkul tubuh istrinya itu, “Sachi!” teriakannya memanggil nama perempuan yang disayanginya itu, membuat semua mata yang ada di dalam ruangan berpaling pada mereka.

“Buka matamu! Kau mendengarku, Sachi! Buka matamu sekarang!” Tangannya yang gemetar itu, menepuk-nepuk pipi perempuan di rangkulannya itu.

Dengan mata yang sudah dipenuhi tangisan. Zeki mencium kening, Zeki mencium salah satu kelopak mata Sachi yang belum juga terbuka, Zeki mencium pipi istrinya … Sebelum dia benar-benar histeris sambil memeluk kuat tubuh kecil itu.

Semua orang di ruangan terlihat begitu panik, disaat lantai yang mereka pijak bergetar dengan sangat hebat. “Yang Mulia!” Beberapa Kesatria Yadgar, termasuk Akash memanggil Zeki yang masih tak memalingkan matanya dari Sachi.

“Zeki, bawa dia ke sini!”

Segera, segera Zeki mengangkat wajahnya, mencari suara yang masuk ke telinganya. Dia bangkit sambil menggendong Sachi mendekati pohon yang baru saja tumbuh di hadapannya. Sesosok laki-laki keluar dari pohon yang kulitnya terbelah dua itu, “berikan cucuku!” pinta laki-laki tersebut saat dia sudah berdiri tepat di depan Zeki.

Tanpa banyak berkata, laki-laki berambut panjang itu menoleh sesaat ke samping. Ketika dia melakukannya, sebuah cabang dari pohon di belakangnya tumbuh … Cabang pohon itu tumbuh besar dengan cepat, lalu bergerak memukul Zeki hingga dia terpelanting ke belakang.

Our Queen : Carpe DiemWhere stories live. Discover now