40. Diktair Chapter Empat Puluh : Salah Paham Lagi

Start from the beginning
                                    

"Gue anterin lo pulang, ya?" Juno membuka pintu mobilnya.

Dikta mengangguk. "Thanks Jun."

Juno mengendarai mobil dengan kecepatan standar, sesekali ia melirik Dikta yang terus memegangi perutnya yang masih akibat tendangan Airsya.

"Mau gue anterin lo ke rumah sakit dulu?" tawar Juno.

Dikta menggeleng. "Nggak usah Jun, gue gapapa."

"Maaf gue salah udah nuduh lo, Dik."

"Santai aja kali, bukan sohib namanya kalau gak pernah adu cekcok." Dikta tertawa pelan.

"Ya, seharusnya gue nggak semudah itu percaya sama si Rahmat." Juno ikut tertawa.

"Udahlah gak usah dibahas lagi, yang udah mah udah."

Juno mengangguk-anggukan kepalanya. "Terus enaknya kita apaain si Rahmat?"

"Gimana kalau kita kerjain aja besok di sekolah?"

"Kita lemin aja kursinya, biar nanti kalau dia duduk celananya robek, terus diketawain satu sekolah," ujar Juno seraya tertawa sambil mengetuk-ngetuk kemudinya.

"Ah, gue setuju sih." Dikta tak berhenti tertawa.

"Airsya belum tahu tentang kejadian tiga tahun silam?"

Pertanyaan Juno membuat Dikta menghentikan tawanya, ia menggelengkan kepalanya pelan. "Gue belum sempet bilang, lagian gue nggak mau nantinya dia marah sama gue."

"Dik, setidaknya dengan lo kasih tahu Airsya, dia nggak akan nuduh lo yang macem-macem seperti tadi."

"Udahlah biarin, gue paham kok kenapa Eca sekhawatir itu sama Agas."

Suasana menjadi tegang.

"Ya, gue tahu Eca lagi dimabuk asmara sama Agas. Tapi, seenggaknya dia gak berhak buat ngata-ngatain lo, ngebentak lo seperti tadi. Padahal lo kayak gini karena ngelindungi dia, setidaknya kalau dia tahu dia bisa sadar diri!"

Sebetulnya sedari tadi Juno menahan emosinya, jujur ia kecewa karena Airsya lebih percaya dengan Agas, lebih peduli dan khawatir akan keadaan Agas. Walaupun sebelumnya Juno melakukan hal yang sama, tidak mempercayai Dikta.

"Gue mah gapapa Eca ngebentak gue depan umum, mukulin gue atau caci maki gue sekalipun, yang penting Eca gak benci sama gue dan gak ngejauh dari gue."

Bagi Dikta, hal yang paling ia takutin itu saat kata-kata benci itu terlontar dari mulutnya Airsya, yang sekarang sudah terjadi.

"Lo sayang sama Eca? Lebih dari sayangnya seorang sahabat?" tanya Juno, walaupun dari kelakuan dan sikapnya kelihatan.

"Gue cinta sama Eca, Jun."

Juno tersenyum tipis. "Udah gue duga! Kenapa sih, lo nggak pernah ngomong sama Eca? Atau kalau lo malu kenapa nggak minta bantuan sama gue? Dik, gue pasti bantuin lo jadian sama Eca!"

Dikta tertawa dengan pelan. "Nggak jadian sama Eca gapapa gue mah, Jun. Eca juga gak perlu tahu perasaan gue yang gak penting ini, ngelihat Eca bahagia aja gue udah seneng."

"Tapi, bahagianya bukan sama lo. Masih seneng lo?"

Dikta diam, tapi ia mencoba mencari jawaban yang pas, setidaknya Juno tidak harus tahu tentang hancurnya perasaannya saat ini.

Juno berhenti di depan rumah mewahnya Dikta. "Jangan terus bohongin perasaan lo sendiri, Dik. Lagian gimana Eca mau peka, kalau lo nggak pernah mau ngomong."

"Bukan Eca yang nggak peka, tapi emang Eca nya yang gak ada rasa sama gue." Dikta tersenyum sekilas, lalu membuka pintu mobilnya Juno.

"Tapi, kan lo belum nyoba ngomong, Dik?"

DIKTAIR Where stories live. Discover now