29. Diktair Chapter Dua Puluh Sembilan : Tengah Malam Bersama Dikta

12.9K 1.4K 100
                                    

"Memangnya kalau gue kangen sama lo, harus nunggu besok, ya? Rindu nggak bisa ditahan tau, Sin."
-Radikta Prayoga-

****

Sindy menatap langit-langit kamarnya, ia masih memikirkan sosok Dikta yang akhir-akhir ini terus menghantui otaknya. Ia terus mencoba memejamkan matanya, namun sial ia selalu saja terbayang wajahnya Dikta.

"Assalamualaikum..."

Sindy yang mencoba kembali menutup matanya, terkejut mendengar suara salam dari seseorang yang disertai dengan ketukan di jendela kamarnya.

"Sindy? Ini gue, Dikta."

Suaranya pelan, namun indra pendengaran Sindy masih normal, ia yakin kalau ia tidak salah dengar. Dengan langkah pelan, Sindy mendekat ke arah sumber suara, ia membuka jendela kamarnya dengan pelan.

Dikta tersenyum menatap Sindy. Apa mungkin yang di hadapannya Sindy saat ini adalah Dikta? atau hanya bayangannya saja?

"Keluar, gue mau ngomong," kata Dikta.

Ya, Sindy yakin ini beneran Dikta. Mana mungkin bayangan bisa berbicara seperti ini. kemudian dengan cepat ia keluar untuk menemui Dikta.

"Kenapa, kaget gue ada disini?" tanya Dikta.

Sindy mengangguk. "Kok bisa disini? tengah malam lagi."

"Memangnya kalau gue kangen sama lo, harus nunggu besok, ya? Rindu nggak bisa ditahan tau, Sin."

Dikta selalu seperti ini, membuat Sindy terbang dengan kata-kata manisnya, seolah-olah Dikta memang memiliki perasaan terhadapnya.

"Kamu kesini malam-malam, cuma mau gombalin saya? gak lucu tau, Dik!" tanya Sindy, ia berusaha mencoba tidak salah tingkah.

Dikta terkekeh pelan. "Iya, kan. Lo emang lucu, Sin."

"Ish, nyebelin!"

Sindy tak sengaja melihat pergelangan kakinya Dikta yang membiru, darah segar juga mengalir di bagian jempol kakinya.

"Kaki kamu, kenapa?" tanya Sindy, takut jika Dikta kenapa-napa.

"Gapapa, biasa lakik." Dikta menjawab dengan candaan, membuat Sindy menggelengkan kepalanya.

"Bentar, tunggu."

Sindy masuk ke dalam rumahnya, ia mengambil kotak P3K yang memang sudah disediakan oleh keluarganya.

Sindy kembali duduk disebelah Dikta. "Saya obatin, ya? Saya takut nantinya malah infeksi."

"Tapi pelan-pelan, ya?"

"Iya."

Sindy menaruh kakinya Dikta di pangkuanya, mengobatinnya dengan sangat hati-hati dan penuh perasaan.

Dikta tersenyum memperhatikan Sindy yang mengobatinya dengan begitu tulus, padahal tadinya ia ke rumahnya Sindy itu hanya untuk mengulur waktu. Karena, jam segini biasanya ayahnya masih berada di rumah, Dikta tidak ingin kembali berantem dengan ayahnya, apalagi melihat keadaannya yang seperti ini.

"Udah, Sin?" tanya Dikta, ketika kakinya mulai di turunkan dari pangkuannya Sindy.

"Iya, udah."

"Makasih, ya. Lo jadi kayak dokter pribadi gue." Dikta tersenyum dengan lebar.

"Sama-sama. Tapi, saya nggak mau jadi dokter pribadi kamu."

"Kenapa?" tanya Dikta. "Pasti maunya jadi istri gue, ya?" lanjutnya.

"Nggak! Apalagi itu, saya nggak mau."

Dikta tertawa pelan. "Terus maunya jadi apa, dong?"

"Ya, jadi diri sendiri. Tapi, gak berkaitan dengan kamu."

DIKTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang