12. Diktair Chapter Dua Belas : Warung umi Salamah

18.5K 1.9K 83
                                    

"Ca, lo gak harus ngerubah diri lo, Cuma buat orang yang lo kagumi. Kalau dia beneran sayang sama lo, dia gak akan peduliin mau bagaimanapun kekurangan lo."
-Radikta Prayoga-

****

Dengan santai dan wajah tidak berdosa, Dikta memberhentikan motor tua miliknya tepat di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. Ya, sudah seperti rutinitas, hampir setiap hari Dikta selalu telat. Tetapi bedanya, kali ini Dikta telat sendirian, tidak ditemani Airsya.

Dikta tersenyum melihat Sindy yang sepertinya juga telat, karena jam segini Sindy masih berada di luar gerbang.

"Kenapa, lo telat?" tanya Dikta terhadap Sindy.

Sindy yang wajahnya terlihat panik menjawab, "Iya, saya takut kena hukum pak Samir."

Dikta tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh Sindy, mungkin ini yang dinamakan anak rajin, terlalu ketakutan sama guru, padahal sama-sama makan nasi. Karena menurut Dikta, Guru itu bukan untuk ditakuti, tapi untuk dihormati dan dihargai.

"Mau tetep masuk gak?" tanya Dikta lagi.

Sindy memperlihatkan wajah bingungnya, "Lewat mana? Kan gerbang udah ditutup."

Dikta tersenyum sekilas, lalu menarik tangan Sindy dan membawanya ke warung umi salamah belakang sekolah. Juno dan Gerri yang sudah ada di warung umi salamah terlebih dahulu, bingung akan kehadiran Dikta yang tiba-tiba membawa Sindy ketempat ini.

"Sin, lo dipaksa Dikta bolos ya?" tanya Gerri masih dengan wajahnya yang penuh tanya.

"Parah lo Dik! Anak paling rajin, kesayangan guru, lo ajak bolos!" Juno menggelengkan kepalanya.

Dikta tertawa, "Tanya dong sama anaknya, lo emang gue ajak bolos?"

"Engga," jawab Sindy.

Juno dan Gerri saling lempar pandang, "Jadi, lo bolos karena keinginan sendiri?" tanya mereka berdua barengan.

"Saya gak bolos, saya diajak Dikta untuk masuk lewat belakang sekolah."

"Terus lo percaya sama Dikta?" tanya Juno.

"Engga, saya terpaksa."

Gerri dan Dikta tertawa, sedangkan Juno hanya terlihat kasihan kepada Sindy, karena Juno menyangka Dikta hanya mengerjai Sindy.

Dikta memegang pergelangan Sindy dengan lembut, "Duduk dulu, makan. Lo pasti belum makan kan?"

Sindy Diam, kalau begini ia bisa ketinggalan pelajaran pertama.

"Kebiasan deh, jangan diem. Gak baik nahan laper, berat. Gue aja gak sanggup kalau gak makan sehari aja," ujar Dikta.

Gerri dan Juno tertawa mendengar kerecehan Dikta.

"Gue juga sama gak bisa nahan laper, lo mau nelaktir gue gak Dik?" tanya Gerri, sambil menahan tawanya.

"Lo berdua makan masing-masing, orang Sindy aja gak gue bayarin," Dikta melihat ke arah Sindy, "Duit gue sisa dua puluh ribu, buat beli rokok ceban, buat beli bensin ceban, buat makan goceng, lo gapapa kan bayar sediri?"

Sindy menggelengkan kepalanya, "Lagi pula saya tidak minta dibeliin sama kamu!" Sindy langsung duduk di sebelah Juno.

Gerri dan Juno tertawa lagi melihat Dikta yang sepertinya terkena mental oleh perkataan Sindy.

"Emang ya calon istri idaman, mandiri. Jadi, pengen cepet-cepet nikah sama kamu," ujar Dikta.

Juno berdecak, "Gombalan lo receh."

DIKTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang