48. Diktair Chapter Empat Puluh Delapan : Tentang Keadaan Dikta

16.5K 1.6K 159
                                    

"Kalau lo ngerasa belum bahagia, berati Tuhan ngasih teguran keras buat gue, untuk lebih semangat buat bikin lo bahagia, salah satunya mungkin dengan menjadi adek lo."
-Radikta Prayoga-

Note : Ramaikan komentar di setiap paragraf, nanti dikasih spesial double up, sebanyak komentar yang kalian jejakin🐣

Sudah siap mengetahui keadaan Dikta? Siapa yang masih mengharapkan Sad Ending?

HappyReading💛

****

Airsya masuk ke dalam ruangan Dikta, di temani Juno yang mendorong kursi rodanya. Airsya menatap Dikta dengan rasa bersalahnya, ia terus beranggapan kalau Dikta terbaring lemah itu karena ulahnya.

Airsya memegang jari jemari milik Dikta, menggenggam tangannya dengan lembut. Perlahan air matanya ikut berjatuhan, turun membasahi wajahnya.

"Dikta, maaf... ini gara-gara gue..." Airsya bersandar disebalah tubuh Dikta.

"Bukan karena lo, ini emang udah jalannya Tuhan." Juno mengusap pundak Airsya, Juno mencoba menenangkan Airsya.

"Tapi, ini karena gue. Jun, Dikta hampir mati gara-gara gue!" Kata Airsya sedikit bertiriak.

Tangan Dikta tiba-tiba bergerak, dengan cepat Juno langsung berlari mencari Dokter yang menangani Dikta. Beberapa menit kemudian, Juno kembali masuk ke dalam ruangan bersama dengan Dokter Fahri.

Dokter Fahri menyuruh Airsya dan Juno menunggu di luar, karena Dikta akan diperiksa terlebih dahulu.

Airsya duduk disebelah Melita yang juga menggunakan kursi roda yang sama sepertinya, tetapi Airsya sama sekali diam, Airsya tidak mengucapkan sepatah kata apapun untuk Melita.

"Ca...Dikta pasti sembuh, " kata Melita, tangannya menggenggam Airsya.

Airsya Diam, ia menepis tangan melita dengan pelan, raut wajahnya terlihat sangat khawatir dan bingung. Khawatie akan keadaan Dikta, bingung akan sikap yang harus ia tunjukan sama Melita, mama kandungnya.

Setelah satu setengah jam menunggu, Dokter Fahri keluar dari ruangan Dikta.

"Keadaan Dikta membaik, ia juga sudah sadar. Tapi, harus segera di operasi..." jelas Dokter Fahri.

Airsya membulatkan matanya. "Operasi? Emang Dikta kenapa, dok?"

"Saya sudah jelaskan kemarin sama bu Melita, kalau keluarga Dikta setuju, rumah sakit akan segera mencarikan donor yang pas untuk Dikta. Maaf, saya permisi," kata Dokter Fahri, lalu ia melangkah pergi.

"Ma... Dikta kenapa?" tanya Airsya, kali ini ia memberanikan diri menatap mata Melita.

Melita tersenyum mendengar Airsya menyebutnya Mama, panggilan yang dari dulu ia dambakan dari anak perempuannya.

"Mata nya Dikta terkena serpihan pecahan kaca mobil, yang menyebabkan ke-kerrrusakan pada matanya..." Melita meneteskan airmatanya, mencoba mengatur nafasnya. "Kata Dokter, Kornea, Retina dan Syarafnya udah kena... Harus segera operasi untuk transplatasi mata."

Airsya menangis.

Dadanya sesak mendengar keadaan Dikta yang seperti ini, lebih parahnya semua ini karenanya. Seharusnya Airsya yang buta, ia yang ada diposisi Dikta saat ini, Airsya hanya bisa menyesali karena gak pernah bisa membuat Dikta berhenti untuk peduli terhadapnya.

Juno yang udah tahu akan keadaan Dikta dari awal, mencoba menenangkan Airsya, Juno mengelus pundak Airsya dengan lembut.

"Ca, ayo masuk, Dikta pasti seneng kalau ada lo di sampingnya," kata Juno.

DIKTAIR Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα