27. Diktair Chapter Dua Puluh Tujuh : Gengsi

13.2K 1.4K 23
                                    

"Sin? Lo zikir ya di kamar mandi?!" Teriak Dikta, sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi yang bertuliskan Women.

Dengan wajah yang mendengus kesal Sindy membuka pintunya, ia mencoba merapihkan rambutnya yang masih berantakan.

"Kenapa, sih?" tanya Sindy sebal.

Lagian, kenapa Dikta bisa berada di kamar mandi perempuan? Apa Dikta tidak takut dipukulin oleh para siswi perempuan? Untung saja kamar mandi lagi sepi, hanya Sindy yang masuk.

Dikta menaruh kedua tangannya di tembok, menghalangi tubuh Sindy yang mencoba keluar dari dekapan tangan Dikta.

"Kenapa? Deg deggan ya deket gue?" tanya Dikta sambil menaik turunkan alisnya.

"Engga! Kata siapa?" Sindy mengelak.

Dikta tertawa. "Detak jantung lo, kedengeran tepat di telinga gue."

Sindy mencoba melepaskan kedua tangan Dikta dari tembok, tetapi tetap tidak bisa. Tangan Dikta seakan punya perekat yang kuat, sehingga tidak mudah untuk di lepaskan.

"Dikta, saya mau ke kelas bentar lagi pak Samir masuk kelas."

Dikta mengangguk, ia melepaskan tangannya dari tembok yang menghapit tubuh Sindy. Tetapi ia punya ide lain, Dikta membisikan sesuatu kepada Sindy, "Lo ikut gue dulu."

Dengan lembut Dikta menggenggam pergelagan tagannya Sindy, melewati Lorong-lorong kelas yang sudah sepi, karena mungkin semua murid sudah masuk ke kelasnya masing-masing.

"Dik, kita mau kemana? Bel udah bunyi, kita harus cepat-cepat masuk." Sindy mencoba melepaskan genggaman tangannya Dikta, tetapi Dikta malah memperkuat genggaman tangannya.

"Ikut gue sebentar." Dikta tersenyum menatap Sindy, lalu Kembali melanjutkan langkah kakinya.

Dengan mendengus sebal, Sindy terpaksa mengikuti langkah kaki Dikta. Sepertinya mencoba berteman dengan Dikta adalah hal yang buruk, buktinya baru hari pertama menyandang status sahabatnya Dikta, Sindy sudah di ajak bolos seperti ini.

"Kantin?" tanya Sindy bingung, Ketika Dikta berhenti melangkahkan kakinya.

Dikta mengangguk. "Gue mau telaktir lo sebagai tanda dimulainya persahabatan kita. Lagian gue perhatiin dari pagi lo belum makan, kan? Lo terlalu Sibuk ngerjain tugasnya Senna, Febby dan Rena. Lo laper, kan?"

Sebetulnya Sindy memang laper, semua yang dikatakan oleh Dikta memang tidak ada yang salah. Sindy terlalu sibuk mengerjakan tugas orang lain, sehingga ia lupa untuk memberi tubuhnya asupan makanan.

Dikta memegang telapak tangannya Sindy. "Gapapa pak Samir juga nggak akan sadar kok satu orang muridnya nggak hadir." Dikta tersenyum, "Lo mau pesan, apa?"

"Terserah, samain aja sama kamu."

Dikta tampak berfikir sejenak, ia lupa kalau uang di sakunya tinggal dua puluh ribu, kalaupun beli makan hanya cukup untuk satu porsi dan segelas teh manis.

"Tunggu ya," kata Dikta.

Sindy mengangguk pelan. "Iya."

Sambil menunggu Dikta, Sindy membuka ponselnya. Melihat beberapa kali pesan yang belum di balas, oleh seseorang yang di tunggu-tunggu oleh Sindy. "Kamu kemana, sih?" guman Sindy dalam hati.

Dikta Kembali duduk di sebelah Sindy, dengan membawakan satu piring nasi goreng dan segelas es teh manis. "Nih, Nasi goreng ayam special pake telor dua, untuk orang yang paling special." Dikta tersenyum dengan lebar.

Sindy menaikan satu alisnya, ia bingung melihat Dikta yang hanya membawa makanan Cuma satu. "Buat saya aja?"

Dikta mengangguk. "Iya. Gue udah makan, buat lo aja."

DIKTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang