36. Diktair Chapter Tiga Puluh Enam : Dikta ke tuduh Lagi.

12.1K 1.5K 89
                                    

"Ca, kapan gue benci sama lo? Sekalipun menurut orang lain lo nyakitin hati gue, tapi buat gue, lo selalu jadi alasan buat gue bahagia."
-Radikta Prayoga-

****

Airsya melangkahkan kakinya berjalan melewati lorong sekolah, melewati tiap kelas yang sepertinya sedang tidak ada guru, karena beberapa siswa dan siswi berada di depan kelasnya.

Seluruh warga sekolah melihat Airsya dengan tatapan jiji dan seakan membancinya. Tapi, bagaimana tidak mereka semua sudah melihat video Airsya yang tersebar di seluruh penjuru sekolah.

"Ca, lo di tunggu pak Rahmat." Senna menghampiri Airsya.

Airsya sudah menduganya, ini pasti akan berbuntut panjang. "Oiya, Sen."

"Kalau ada apa-apa bilang sama gue."

Airsya tersenyum sekilas. "Iya, thanks ya, Sen."

Dengan rasa malas Airsya bergegas untuk menemui pak Rahmat, ia mencoba untuk menangkan hati dan pikirannya. Mau bagaimanapun ini kesalahannya, ia harus bertanggung jawab kalaupun konsekuensinya fatal.

'Tok..tok..tok..'

Airsya mengetuk pintu ruangan pak Rahmat dengan pelan.

"Masuk."

Setelah mendengar respond pak Rahmat, Airsya langsung masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.

"Duduk," perintah pak Rahmat.

Airsya duduk, ia beradapan dengan pak Rahmat. "Kenapa manggil saya pak?"

Pak Rahmat menatap Airsya dengan tatapan yang sulit di artikan, bahkan ia menggelengkan kepalanya, sambil menyodorkan ponselnya yang berisi video Airsya yang lagi menghirup ganja berbentuk rokok di rooftop.

"Jelaskan sama saya, ini apa?!" tanya pak Rahmat dengan sedikit bentakan.

"Saya ngerokok pak di rooftop, kalau nggak percaya boleh tanya Dikta." Setidaknya kalau Airsya mengaku hanya merokok, mungkin hukumannya tidak terlalu berat.

Pak Rahmat menggebrak meja. "KAMU PIKIR SAYA BEGO?" Ia menunjukan barang bukti kedua, bekas puntung rokok yang ditemukan di rooftop. "Dikta sendiri yang ngasih puntung rokok ini sama saya!

Dikta?
Apa Airsya tidak salah mendengar? Mungkinkah Dikta setega itu terhadapnya, dimana kata sayang yang sering Dikta lontarkan terhadapanya?

Sungguh Airsya tidak menyangka dengan semua ini, dengan Dikta yang berpura-pura menjadi malaikat pelindungnya, ternyata justru menusuknya dari belakang.

"Mau bilang apa lagi kamu? Mau ngelak apa lagi? Hah?!" tanya pak Rahmat lagi.

"Iya pak, saya mohon maaf. Sumpah, saya khilaf pak." Airsya memohon ampun.

"Kamu tahu kan apa skuensinnya? beasiswa kamu terancam sekolah copot!"

"Saya mohon pak, jangan cabut beasiswa saya."

"Turnamen yang kamu ikuti, bisa saja saya gantikan ulang perwakilan sekolah."

"Maaf pak, saya ngaku salah." Airsya menundukan kepalanya.

"Berdoa saja semoga Tuhan berpihak sama kamu, tapi saya nggak bisa menjamin kalau kamu masih di pertahankan di sekolah ini. Apalagi ketua yayasan sudah mengetahui tentang masalah kamu."

"Bantu saya pak, saya mohon. Saya janji nggak akan ngelakuin hal bodoh seperti itu lagi."

"Kamu boleh keluar dari ruangan saya."

DIKTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang