21. Diktair Chapter Dua Puluh Satu : Sahabat, kan?

14.6K 1.5K 74
                                    

"Lo, emang Nggak ngelawak. Maksud gue, kanapa lo selalu bikin gue gemas? Kalau lo permen udah gue gigit terus jilat deh, pasti rasanya—"
-Radikta Prayoga-

****

Dengan nafas yang masih terengah-engah, Airsya memasuki ruangan UKS. Seketika ia terdiam, ia melihat Dikta yang lagi di obati oleh Sindy. Wajahnya Dikta yang memar, terlihat membaik karena di kompres oleh Sindy yang begitu telaten.

"Sorry, gue ganggu." Airsya langsung membalikan badannya.

Baru saja Airsya ingin keluar dari ruangan UKS, Dikta langsung berdiri menghampiri dan langsung memegang pergelangan tangan Airsya.

"Lo mau kemana? Nggak ada niatan buat nyembuhin luka gue?"

Airsya melempar pandangan ke arah Sindy, "Kan, udah ada dia."

"Lo kesel? cemburu?" Dikta terkekeh pelan.

"Kenapa sih, selalu pertanyaan itu yang lo lontarkan sama gue?"

"Yaudah lo sini, temenin gue."

"Gue ada janji sama Agas," tentu saja Airsya berbohong, ia hanya tidak ingin menjadi nyamuk diantara mereka berdua.

Dikta mengangguk, "Yaudah gih, sana. Sepenting itu, gebetan di bandingin sahabat?"

Airsya mendengar apa yang dikatakan oleh Dikta, tetapi ia tidak membalasnya. Airsya langsung keluar dari UKS, dengan Langkah terburu-buru.

Dikta Kembali duduk disebelah Sindy, ia tidak menyangka Airsya lebih mementingkan Agas ketimbang dirinya. Padahal, sedari tadi ia begitu khawatir akan keadaan Airsya.

"Kamu gapapa?" tanya Sindy pelan.

Dikta tersenyum lebar, "Gapapa, kan ada lo di samping gue."

Sindy mencubit pelan pinggang Dikta, "Bisa Nggak usah gombal gak?"

Dikta terkekeh pelan, "Bukan gombal Sindy, gue beneran selalu gapapa kalau ada lo di hidup gue."

Sindy Kembali mencubit pinggang Dikta, kali ini begitu kencang mebuat Dikta merintih kesakitan.

"Awsss!" rintih Dikta, "Tapi Nggak sakit deng," lanjutnya sambil tertawa.

Sindy hanya memanyunkankan bibirnya, Dikta memang tidak pernah serius. Selalu menjadikan bahan pembiacaraan apapun sebagai becandaan, membuatnya tidak pernah percaya apapun yang dikatakan oleh Dikta.

"Terserah deh, nih obtain sendiri." Sindy menyerahkan kompresannya kepada Dikta.

Dikta tertawa kecil, Sindy begitu menggemaskan kalau lagi marah seperti ini, "Iya, gue minta maaf ya, Sindy?"

Sindy diam.

"Sekarang mau kan, obatin mas Dikta lagi?" tanya Dikta, senyum di wajahnya tidak pernah memudar sedikitpun.

Sindy masih diam.

Dikta menyerahkan Kembali kompresannya terhadap Sindy, ia memegang pergelangan tangan Sindy dan menempelkannya di sudut bibirnya yang memar. "Maafin, gue ya?"

Sindy menekan kompresannya, membuat Dikta Kembali merintih. "Awsss!"

"Bisa diem nggak? Ngomel terus kayak burung beo."

Dikta tersenyum, menatap dengan lekat wajah Sindy yang tidak punya kekurangan sedikitpun, Begitu manis seperti permen cokelat kesukaannya.

"Lo kenapa sih, bisa lucu banget?"

Sindy menaikan satu alisnya, menatap Dikta dengan tatapan kebingungannya, Dikta orang aneh yang pernah ia kenal. Apanya yang lucu? Bahkan sedari tadi Sindy tidak melucu sama sekali.

DIKTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang