34. Diktair Chapter Tiga Puluh Empat : Obat terlarang

11.9K 1.3K 64
                                    

"Lo ngaca, gue rusak gara-gara lo, Dik!"
-Airsya Febrianty-

****

Airsya berlari dengan cepat, ia menaiki anak tangga gedung sekolahnya, tujuan utamanya rooftof. Tubuh ia kesakitan, kepalanya pusing, hatinya tidak tenang, tubuhnya bergetar.

Airsya duduk di pojok tembok, ia saat ini sudah berada di atas gedung sekolahnya. Ia mengacak-ngacak rambutnya, ia tidak tahu kenapa ia bisa menjadi seperti ini, rasa mengiginkan obat terlarang itu semakin terasa, ia sulit untuk menahannya.

"Anjing! Kenapa gue nggak bisa nahan, sih?!" tanya Airsya pada dirinya sendiri.

Tubuhnya semakin bergetar, keringat dingin terus membasahi sekujur badannya. Ya, Airsya tidak punya stok obat itu, kalaupun membelinya ia tidak memilik uang lebih, karena harganya lumayan mahal.

"Ca, lo gapapa?"

Airsya mendongkakan kepalanya, melihat Dikta yang ikut duduk disampingnya.

"Ca, lo dingin ya?" Dikta menggenggam pergelangan tangan Airsya.

Airsya mengangguk. "Aku nggak tahan, Dik."

Dikta mengerti apa yang dimaksud Airsya, sebetulnya ia tidak tega melihat keadaan Airsya yang seperti ini.

"Ca, gue peluk ya? Biar lo tenang."

"Gue nggak mau dipeluk! Gue cuma mau obat itu, Dik!" Airsya masih bisa ketus, padahal wajahnya terlihat sangat menyedihkan.

Dikta mencoba mengatur nafasnya, ia mendekap tubuh Airsya, memberinya kehangatan. "Lo tenang dulu ya."

"Dik, gue mau obat itu. Bukan pelukan lo!" Dengan kasar Airsya melepaskan pelukan Dikta.

"Ca, lo harus berubah. Lo nggak bisa gini terus, semakin lama lo semakin tumbuh dewasa, lo mau ngecewain kakek dan nenek lo?"

"Bisa nggak usah nyeramahin gue, gak? Basi omongan lo! Seharunya lo ceramahin diri lo sendiri, bukannya gue tahu obat itu dari lo, ya?!" Airsya tersenyum dengan sinis.

Dikta menenggelamkan pandangannya, ia mengingat hal bodoh yang pernah ia lakukan terhadap Airsya. Ya, Dikta mengenalkan berbagai narkoba kepada Airsya, dari mulai sabu, ganja, putau, pil koplo, inex, tramadol, Eximer dan yang lainnya.

"Maaf, Ca. Gue gak bermaksud buat lo jadi seperti ini."

Sungguh, Dikta sangatlah menyesal. Awalnya ia hanya ingin membuat Airsya tenang, karena Airsya selalu sedih kepikiran kedua orang tuanya yang tega meninggalkannya dari semenjak bayi. Tapi, caranya Dikta salah dan tidak bisa dibenarkan.

"Please, gue mau itu, Dik. Lo pasti punya, kan?" Airsya menatap Dikta, tatapannya penuh nanar dan rasa ingin yang berlebihan.

"Tapi, Ca-"

"Gue mohon, bantuin gue, ya?"

Dugaan Airsya memang benar, Dikta sedang membawa salah satu obat yang membuatnya tenang, narkoba jenis ganja yang Dikta sulap menjadi rokok.

"Gue gak bisa kasih!" ujar Dikta dengan tegas.

Ya, Dikta tidak mungkin memberikanya, karena niat awalnya ia akan membuang semua rokok berisi ganja tersebut, ia tidak ingin terikat dengan barang haram itu lagi. Karena walaupun Dikta sudah lama tidak memakainya, tetap saja ia masih menyimpannya, tapi kali ini ia akan benar-benar membuangnya.

Airsya memegang pergelangan tangan Dikta. "Dik, gue nggak kuat."

Dikta merogoh saku celananya, benar saja ia mengeluarkan ganja yang berbentuk rokok.

DIKTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang