13. Diktair Chapter Tiga Belas : Tembok Besar

17.3K 1.8K 27
                                    

"Tapi, lo mah gak bisa ngebuat gue nafsu deh kayaknya, badan lo aja tulang semua. Apa yang harus gue nafsuin?"
-Radikta Prayoga-

****

Juno dan Sindy berhenti di tembok yang lumayan tiggi, tembok ini adalah Dinding yang membatasi belakang sekolah SMA Gunadarma dengan warung Umi Salamah. Biasanya, anak-anak yang seperti Juno, yang selalu sengaja datang telat, mereka suka masuk lewat tembok ini.

"Ayo naik," Kata Juno.

Sindy membulatkan kedua matanya, "Naik kemana?"

"Naik ke atas tembok lah, masa iya ke atas langit."

"Saya gak bisa naik," ucap Sindy.

Juno menggarukan kepalanya, ia lupa kalau Sindy itu anak rajin. Pastinya masa kecil Sindy tidak seindah dia, sudah dipastikan Sindy anak rumahan yang gak pernah naik pohon waktu kecil.

Juno berlari mengambil kursi, lalu menaruhnya di depan Sindy, "Lo naik, gue pegangin."

"Engga, nanti kamu ngintip saya!"

Juno menghembuskan nafasnya dengan kasar, "Lo mau masuk sekolah apa engga sih? Jangan ribet napa jadi orang!"

"Yaudah, tapi kamu jangan ngintip."

"Gue kira lo orangnya pendiem ya? Ternyata bawel!" kesal Juno, kalau begini terus pak satpam sekolah yang suka keliling keburu ada.

Sindy naik ke atas bangku dengan perlahan, Sindy memanjat dengan begitu pelan-pelan, membuat Juno berdecak, "Cepetan! Keburu ada pak satpam."

"Iya, sebentar sabar."

Setelah nyampai di atas tembok, Sindy deg-degan untuk melompat, karena sangatlah tinggi.

"Kenapa lo diam?" tanya Juno heran, melihat Sindy yang malah Diam.

"Saya takut jatuh, nanti kalau saya patah tulang gimana?"

Juno menepuk jidatnya, "Ampun dah, dasar anak manja."

"Saya bukan anak manja! Saya mandiri, saya gak pernah minta uang jajan sama papah saya, karena saya punya tabungan sendiri."

Juno langsung ikut naik ke atas tembok, "Udah ngomongnya?"

"Kamu turun duluan saja," kata Sindy.

"Oke." Dengan cepat Juno langsung turun ke bawah, "Ayo, giliran lo." Lanjut Juno.

Tetapi, tetap saja Sindy tidak bisa melawan rasa takutnya, ia belum juga berani merasa berani untuk turun ke bawah. Sedangkan Juno dibuatnya bingung, Juno harus ngapain sekarang, masa Juno harus meninggalkan Sindy yang berdiri mematung di atas sana, apalagi tubuhnya Sindy tidak berhenti bergetar.

Juno menarik nafas panjangnya, "Oke, lo tunggu disini. Gue bawain lo tangga, lo jangan kemana-mana, pegangan yang kuat." Juno berlari dengan cepat, meninggalkan Sindy sendirian.

Keringat dingin terus bercucuran keluar dari tubuhnya Sindy. Karena, sudah hampir setengah Jam Juno belum juga Kembali.

"SINDY!" Panggil seseorang dari arah bawah.

Dengan cepat, Sindy melihat ke arah sumber suara, Ternyata itu Dikta dan Airsya. Tetapi, Bukannya menjawab, Sindy malah nangis. Membuat Dikta terlihat sangat khawatir melihatnnya.

Dikta naik ke atas tembok itu, ia mendekat ke arah Sindy, "Lo kenapa nangis? Siapa yang buat lo nangis? Juno ngapain lo? Bilang sama gue!"

"Sa--saya takut ja--jatuh," ujar Sindy dengan terbata-bata, air matanya terus mengalir, bersamaan dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya.

DIKTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang