32. Diktair Chapter Tiga Puluh Dua : Posesif?

Start from the beginning
                                    

"Nggak lah! Ngapain juga?"

"Yakan, gue sahabat lo juga."

"Iya juga, ya?" Airsya cengengesan. "Btw, katanya lo mau cerita tentang pacar baru, lo? Anak Gunadarma juga, Kan? Bisa dong jalan bareng kita, Double date."

"Baru dari mana? Udah hampir enam bulan. Tapi, ya masih backstreet. Dia gamau sampai banyak orang yang tahu."

Airsya merangkul Senna. "Ya, gapapa sih. Asalkan dia bisa setia sama lo."

"Iya kalau setia. Kalau nggak?"

"Itu sih DL, Derita Lo!"

"Sialan lo!" Umpat Senna, diiringi dengan tawanya.

Mereka berdua Kembali masuk ke dalam kelasnya. Ya, Senna dan Airsya satu kelas. Sedangkan Febby satu kelasnya dengan Renna. Mereka beda kelas, tapi mereka sahabatan dan bisa sedekat itu. Walaupun banyak yang bilang Senna lebih nge Bossy, karena Senna orang yang paling berkecukupan.

****

Dengan masih memakai celana boxer bergambar spongebop, ia memainkan ponselnya sambil memakan nasi uduk buatan Umi Salamah yang enak dan tidak ada duanya itu.

Dikta sengaja tidak mengikuti pelajaran hari ini, di karenakan Airsya belum juga mengembalikan celana yang dipinjemnya. Dari pada Dikta kena marah oleh guru, lebih baik ia bolos dan nunggu sampai jam pulang di warung Umi Salamah.

Sebenarnya Dikta masih memikirkan kejadian kamarin, dimana kedua sahabatnya Gerri dan Juno menuduhnya mengadu kepada pak Samir, soal mereka yang pengguna narkoba. Tapi sama sekali bukan Dikta pelakunya, lagi pula tidak mungkin ia melakukan hal yang akan merusak persahabatannya.

"Nih, kamu tadi nggak masuk dua pelajaran."

Dikta tersenyum melihat Sindy yang tiba-tiba duduk di sebelahnya, memberikan buku pelajarannya. "Makasih, calon pacar yang baik. Eh, calon pacar apa calon istri, nih?"

"Maunya?"

Dikta pura-pura berpikir. "Eum... Calon istri aja deh, kalau calon pacar nanti nggak jadi istri."

"Emang kalau calon istri, udah yakin jadi istri?"

"Kalau lo mau, sekarang juga kita nikah." Dikta terkekeh pelan.

"Gak lucu!"

"Iya, kan yang luco lo. Bukan gue."

"Saya lagi serius."

"Iya, nanti ya tunggu gue lulus sekolah sama lulus kuliah, baru nanti kita nikah."

"Dikta!"

Dikta menghentikan tawa-tawanya. "Udah nggak sabaran, ya?"

"Tau, ah!"

"Makasih ya." Dikta tersenyum menatap wajahnya Sindy.

Dengan sadar Sindy membalas senyumnya Dikta. "Sama-sama."

"Jangan senyum."

"Kenapa?" Tanya Sindy dengan tatapan bingungnya.

"Nanti ada yang lihat, gue nggak mau nantinya banyak yang ngantri buat ngambil senyum lo yang manis dan lucu ini."

"Gombal!" Sindy menggelangkan kepalanya, bukan Dikta Namanya kalau tidak bisa membuat Sindy terbang seketika seperti ini.

"Udah makan?" tanya Dikta.

"Udah, waktu istirahat."

Dikta menggelengkan kepalanya, sambil menatap Sindy. "Calon istri gue gak boleh telat makan, nanti sangkanya gue buat lo batin. Bentar ya, gue pesenin."

DIKTAIR Where stories live. Discover now