31. Diktair Chapter Tiga Puluh Satu : Dikta Dan Pengorbanannya

Börja om från början
                                    

"Ya gapapa, biar disangkanya ngompol sekalian."

"Jadi, minjemin nggak nih?"

Dikta diam, ia masih bingung akan nasibnya setelah ini.

"Dik, boleh ya?" Airsya memohon lagi.

Dikta menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Terus gue pake apa, Eca?"

Airsya melirik roknya sambil terkekeh pelan. "Pake rok gue."

"Hah? Gila lo, kalau gue disangka melehoy gimana?"

"Please, bantuin gue ya, Dikta ganteng?" Airsya kembali memasang wajahnya yang menyedihkan.

"Iya, iya. Bentar gue buka."

Dikta membuka celananya, entahlah dimana pikirannya, membuka celana di depan siswa dan siswi yang berlalu lalang disekitarnya. Walaupun tidak banyak, setidaknya mereka ada yang berteriak dan melirik Dikta dengan aneh, bahkan ada yang menggelengkan kepalaya.

Dikta menyodorkan celananya. "Nih, cepetan pake."

"Makasih, Dik. Bentar ya.." senyum mengembang di kedua sudut bibirnya.

"Jangan lama."

"Iya." Airsya masuk ke dalam kelas, menutup pintunya, lalu membuka rok dan menggantinya dengan celana milik Dikta.

Dikta masih berdiri di depan kelasnya Airsya, sambil memainkan ponselnya. Tak sadarkah dirinya menjadi pusat perhatian? Ya, Dikta hanya menggunakan boxer berwarna kuning yang bergambar spogebob.

Airsya keluar dari kelas. "Nih, lo mau pake rok gue?"

"Noh, lihat." Dikta menunjuk beberapa siswa yang sedang memperhatikannya. "Mereka ngeliat gue pake celana boxer aja ngetawain gue, apalagi kalau gue pake rok?"

Airsya membayangkannya, ia tak berhenti tertawa. "Ya, gapapa siapa tahu kalau lo pake rok banyak yang naksir."

"Yang ada kalau gue pake rok, makin lama gue dapet pacar! Emang lo mau lihat sahabat lo yang paling ganteng ini, jomblo akut?"

"Ya, gue sih bodo amat ya. Yang jomblo, kan lo. Bukan gue!" Airsya menjulurkan lidahnya, lalu berlari meninggalkan Dikta. "Thanks, ya Dik."

Dikta menggelengkan kepalanya, segitu sayangnya ia terhadap Airsya, sampai ia rela dipermalukan di depan umum, menjadi pusat perhatian dan di tertawakan oleh semua orang. Ini semua ia lakukan hanya untuk Airsya, ia tidak ingin Airsya sedih. Karena, melihat wajah Airsya yang murung aja itu sudah membuat Dikta tidak enak hati.

Dikta tersenyum menatap Airsya yang semakin lama, semakin makin menghilang dari pandangannya. Semoga tanpa ia bicara, Airsya mengerti dan paham akan perasaan Dikta selama ini.

****

Sindy melirik bangkunya Dikta, sudah dua pelajaran Dikta belum juga masuk ke dalam kelas. Sindy merasa ada yang hilang, jika ia tidak melihat Dikta walau hanya sehari.

Setelah guru fiksika keluar kelasnya, Sindy membuka ponselnya, ia mengetikan sesuatu disana.

Dikta Ternyebelin😤
Kamu Dimana, Dik? Kenapa nggak masuk kelas? Kamu gapapa, kan?

Setelah mengetik, Sindy tiba-tiba diam.
Tadinya ia ingin menanyakan keberadaan Dikta, namun saat ia mau mengirim pesan terhadapnya, Sindy malah mengurungkan niatnya. mengurungkan niatnya.

Sindy kembali menaru ponselnya di saku bajunya, sepertinya ada yang salah akan perasaanya. Ia berusaha sebisa mungkin, untuk menghilangkan Dikta dari pemikirannya.

"Hey, kenapa bengong?"

Sindy melirik seseorang yang entah sejak kapan duduk disebelahnya.

"Dikta?" tanya Sindy, kenapa tiba-tiba Dikta bisa ada disini?

Dikta terkekeh pelan. "Kenapa kaget gitu? Lo pikir gue hantu?"

"Nggak! Saya cuma--" Sindy tak sengaja melirik Dikta yang hanya menggunakan boxer.

Sindy berteriak, ia menutup matanya dengan kedua tangannya. Sebenarnya seluruh siswi yang ada di dalam kelas melakukan hal yang sama ketika Dikta memasuki kelas, namun Sindy tidak menyadarinya.

"Eh-eh, lo kenapa?" Dikta mencoba membuka kedua tangan Sindy yang menutup matanya.

Pandangan beberapa siswa yang ada di kelas langsung tertuju pada Dikta dan Sindy.

"Lagian lo Dik, kalau mau mesum itu di toilet jangan di kelas," ujar Gibran si ketua kelas.

Juno tertawa, ia melirik Dikta dengan tatapan tidak suka. "Cari sensai aja hidup lo! Kebanyakan Drama, mendingan jadi aktor aja sana, tapi gak laku sih pastinya!"

Juno masih kesal terhadap Dikta, padahal ia dan Gerri tidak jadi di keluarkan dari sekolah, mereka hanya diberi surat peringatan ke-dua, atas banding yang di minta oleh orang tuanya Juno.

"Kalau mau mesum itu di hotel, jangan di kelas! Katanya anak sultan!" Cibir Gerri.

Dikta hanya menggelengkan kepalanya, ia tidak menyangka pemikiran teman-temannya pada seaneh itu, padahal ia tidak sedang atau lagi mau mesum.

"Jangan dengerin, ya? Gue tadi nolongin Eca, dia pinjem celana gue buat praktek." Tutur Dikta.

Sindy membuka matanya, ternyata sesayang itu Dikta terhadap Airsya. Bahkan sampai ia rela di permalukan dan dikata-katain seperti ini, tapi apakah Dikta akan melakukan hal yang sama jika Sindy berada di posisi Airsya?

"Iya."

Dikta tersenyum. "Gue mau ke warung Umi Salamah, lo mau temenin gue?"

"Tapi, bentar lagi pelajaran bilogi di mulai. Saya nggak mau bolos kelas."

"Yaudah lo lanjut belajar lagi, gue kesini takutnya lo nyariin gue." Dikta mengedipkan matanya.

"Nggak! Siapa bilang?"

"Kan, gue bilang takutnya gitu." Dikta terkekeh pelan.

"Yaudah sana, gih."

Dikta tersenyum. "Lo hati-hati di kelas, Kalau ada yang macem-macem sama lo bilang."

"Emang kenapa harus bilang?"

"Ya, mau gue kasih tahu caranya ngeledekin lo." Dikta tertawa lagi.

"Ngeselin! Udah sana, katanya mau pergi."

"Iya, jangan kangen, ya?"

Sindy mengerutkan kedua alisnya. "Geer!"

"Tadinya mau bilang biar gue aja, tapi gapapa lo mau kangen gue juga, gue seneng." Dikta tersenyum sekilas. "Dah," ia manaikan tangannya, lalu berlari keluar kelas.

Senyum tercipta dari kedua sudut bibirnya Sindy, makhluk seperti Dikta memang paling nyebelin, tapi ia bisa semenyenangkan itu dalam waktu yang sama.

Apa yang ada pada diri Dikta, tidak pernah Sindy temukan pada diri Agas. Hal-hal sederhana dan kecil seperti ini, yang membuat Sindy tak berhenti tersenyum.

Andaikan Dikta tidak pernah mebuat kesalahan, mungkin Sindy sudah jatuh cinta dengan Dikta, tanpa perlu alasan. Tapi, kenyataan memang tak berpihak pada dirinya, justru Dikta itu bertopeng, ia terlalu jahat untuk dicintai.

Namun, apakah Sindy tahu alasan Dikta membunuh Bahran, kakaknya Agas? tentu Tidak, ia hanya tahu apa yang dijelaskan oleh Agas dan mempercayainya.

"Buka halaman 45, disitu ada latihan soal--"

Guru Biologi mulai mengajar, membuat Sindy memecahkan lamunannya.

Bersambung....

Seperti biasa, semalam ketiduran😣
Btw, jangan lupa vote dan spam komen di part ini ya hehe.

Lanjut selasa depan atau besok, nih?

With Love, Holipehh💛

DIKTAIR Där berättelser lever. Upptäck nu