22. Diktair Chapter Dua Puluh Dua : Tentang Gerri dan Perbedaannya.

Start from the beginning
                                    

"Bodo amat! Kalau Kak Juno Nggak beliin Gladis Hp baru, Gladis bakal ngadu kelakuan kak Juno sama papa mama. Kak Juno itu Suka ngeroko, suka minum alcohol, suka—"

"Iya bawael! Udah sono lo, ganggu gue mulu." Timpal Juno.

Bukannya Ke kamar, Gladis malah mendekat terhadap Gerri. "Kak Gerri yang paling baik, makasih yah udah belain Gladis. Jangan kayak kak Dikta sama Kak Juno yang nyebelin, ya?"

Gerri tersenyum, "Iya, Gladis. Sama-sama ya, belajarnya jangan sampai begadang, Nggak baik buat Kesehatan."

"Iya, Kak Gerri." Gladis tersenyum, lalu beranjak melangkahkan kakinya berlari menuju kamarnya.

Memang, setiap bertemu dengan Gladis, Gerri tidak pernah bisa mengontrol hati dan perasaanya. Ya, Gerri sudah sejak lama mengagumi sosok Gladis. Tapi, Gerri tidak punya keberanian untuk mengatakannya, bukan karena Gladis adiknya Juno. Melainkan, karena restu yang mungkin nantinya tidak berpihak padanya.

Gerri tidak pesimis, Hanya saja ia begitu yakin akan opininya, menyatakan cinta terhadap Gladis sama saja seperti mengajak perang keluarganya yang begitu yakin memegang teguh kepercayaanya. Ya, Gerri dan Gladis selain beda kasta sekaligus drajat, mereka juga beda keyakinan. Gerri yang muslim dan Gladis yang Nasrani atau umat kristiani (Non Muslim).

Juno menyenggol Gerri yang tiba-tiba melamun, "Kenapa lo, naksir sama ade gue?"

Gerri membuyarkan lamunanya, "Nggak lah, ngaco!" tepis Gerri.

Dikta tertawa, "Ger, gue juga bisa bedain kali orang yang lagi jatuh cinta itu kayak gimana."

"Kayak lo?" Gerri menunjuk Dikta

"Kok gue? Jatuh cinta sama siapa gue? Jomblo akut gue mah, Gerr."

"Gue juga Nggak bego kali, Dik. Lo sayangkan sama Eca?" tanya Gerri lagi.

Dikta terkekeh pelan, "Sayanglah! Eca, kan sahabat gue."

"Maksudnya lebih dari seorang sahabat?"

Dikta Diam, bukannya ia tidak bisa menjawab. Terkadang abu-abu terus memenuhi pikirannya, sehingga ia tidak menemukan jawabannya. Namun, ia paham bagaimana keharusan untuk menjaga dan melindungi Airsya. Tapi, apa itu sudah cukup untuk dijadikan jawaban?

Juno merangkul Dikta dan Gerri, ia tidak ingin terjadi adu mulut diantara keduanya.

"Sesungguhnya, yang tahu perasaan kita itu hanya diri kita sendiri. Walaupun kita terus mengatakan Ngga, kalau hati kecil kita bilang Iya, kita bisa apa? Percuma untuk melawan, bukan rasa lega yang kita temui. Namun, yang ada perasaan sesal terus-terusan yang menghantui kita," kata Juno.

Dikta dan Gerri tertawa bersamaan Ketika Juno selesai berbicara, itu seperti bukan Juno.

"Tumben lo bijak? Nyontek dimana lo?" tanya Dikta sambil tak behenti tertawa.

"Yaelah Dik, pake ditanya. Mbah google langganan Juno mah, iya nggak Jun?" Gerri ikut meledek Juno.

"Ye, gini-gini gue juga berpengalaman soal cinta!" umpat Juno.

"Oh iya, gue lupa." Dikta menepuk jidatnya, "Lo, kan playboy sekolah ya? Yang rekor punya mantan seratus dalam satu tahun itu, kan?"

"Nah, itu lo tahu." Juno membanggakan dirinya, "Arjuna Robertino Abraham, kalau soal percintaan mah udah bosen."

Gerri melempar bantal terhadap Juno, "Tai lo! Pacaran noh sama bantal, kalau udah bosen sama manusia mah!"

Dikta tertawa begitu juga dengan Gerri dan Juno, terkadang hal kecil seperti ini yang membuat Bahagia. Dikta selalu berdoa, semoga persahabatannya dengan kedua temannya yang konyol ini tidak selesai dengan singkat.

DIKTAIR Where stories live. Discover now