"Tapi Selatan, dengerin gue dulu. Please."

"Apa? Mau jelekin Utara lagi? Nggak mempan. Gue nggak nyangka ternyata lo jahat juga, Na. Kasian cowok-cowok SMA Trisakti yang naksir sama cewek kayak lo. Berhenti agresif, gue nggak mau sampai menolak secara kasar." Selatan menyentak tangannya, lalu pergi begitu saja. Sangat keterlaluan setelah ia tahu apa yang terselubung diam-diam dalam diri Alana.

"Daffa ...." Alana mencegatnya. "Rencana kita masih jalan, kan? Buat jauhin Utara sama Selatan?"

Daffa menurunkan tangan Alana perlahan. "Gue udah sadar, Na. Gue nggak mau buat kesalahan lagi. Gue harap, lo juga sadar, dan minta maaf sama Utara karena udah nyakitin dia. Gue pergi dulu." ***

Mengendap masuk, Selatan menutup pintu hati-hati. Untung Bunda sedang keluar, jadi tidak ketahuan kalau Selatan bolos sekolah. Masalah guru? Tenang, Daffa itu punya banyak ide. Ia mengambil duduk di kursi samping Utara, memperhatikan cewek dengan alat tidak sebanyak beberapa hari lalu dengan mata yang masih terpejam.

Selatan tersenyum, mengamati wajah tenangnya yang tertidur. Ia tidak bisa berhenti menarik dua sudut bibirnya ke atas setelah mengetahui kalau Utara sudah sadarkan diri. Selatan bahagia, sangat bahagia, dunianya kembali berwarna.

"Kalo udah bangun, kita beli lolipop, terus hujan-hujanan lagi." Selatan meraih tangannya perlahan, mengecupnya singkat dan mengusap punggung tangannya.

"Cepet bangun ya, Uta jelek," kata Selatan lagi dengan kekehan kecil. "Udah nggak sabar mau war, rebutan remote, rebutan kursi makan, nyuri lolipop, balap sepeda, semuanya, woi, hahahaha." Selatan langsung menutup mulutnya saat sadar kalau suara tawanya terlalu membahana dan pasti itu mengganggu Utara.

"Maaf."

Beralih, Selatan menopang dagu, menatap penuh wajah gadis di hadapannya. Sebelah tangannya mengusap pelan kepala Utara yang keningnya dililit perban. Wajah cewek itu tampak tenang sekali, dan Selatan sangat merindukan wajah kesalnya.

"Mau nungguin sampe bangun." Selatan maju, mendaratkan sebuah kecupan singkat di keningnya.

Terus berbicara, Selatan tidak menyadari kalau ada pergerakan kecil di jari gadis itu. Rengkuhan kecil yang begitu pelan samar-samar terdengar.

"Uta." Selatan menggeser duduknya, menggenggam tangan Utara.

Perlahan mata cewek itu terbuka, dan mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Senyum di wajah Selatan semakin mengembang sempurna, tidak pernah ia merasa selega ini. "Cieee, udah bangun nih, yeee." Utara masih mengerjap.

"Uta, Ata ada di sini. Kangen sama Uta."

Perlahan, cewek itu menatap ke arahnya. Matanya itu menyipit, iris coklatnya belum sempurna terlihat. Ringisan kecil keluar dari mulutnya.

"Sakit," Utara merasa sakit yang begitu dahsyat menyerang kepalanya.

"Sakit? Kepalanya sakit? Iya? Ata panggil dokter, ya." Selatan menekan tombol yang berada tak jauh dari atas ranjangnya..

"Akh ...," rintihnya.

"Ata panggil dokter." Selatan berdiri, hendak memanggil dokter langsung.

"Ka-mu ... siapa?" tanya Utara pelan.

Selatan yang baru satu langkah dari tempatnya seketika membeku. Mendengar apa yang baru saja cewek itu ucapkan, tiba-tiba dia merasa ada listrik yang menyengatnya. Selatan terpaku di tempatnya berdiri. Gue pasti salah denger.

Selatan berbalik badan. "Uta, ini Ata." Ia kembali duduk. "Ini Ata." Selatan menatap penuh Utara yang terlihat seperti orang linglung.

"Ata?"

Selatan mengangguk. "Iya, Ata."

Utara tampak mengingat. Cukup lama, kemudian ia menggeleng. "Ah ... sakit," rintihan itu kembali keluar dari mulutnya. Membuat detak jantung Selatan berpacu cepat. Ia meraih tangan Utara.

"Ini Ata. Selatan," kata Selatan, sedikit panik. "Uta ... jangan bercanda kayak gini. Ata tau, Uta pasti marah, tapi sebenarnya Uta salah paham."

"Aku nggak kenal! Sakit!" Utara merintih hebat memegang kepalanya.

Selatan terdiam, bungkam. Bibirnya kelu untuk kembali berbicara. Hatinya sakit seperti ada belati yang melukainya setelah mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Utara.

Utara? Tidak mengenalinya?

Tidak mungkin, mereka sudah tujuh belas tahun bersama. Mustahil.

"Sakit ...."

Suara rintihan terus keluar dan mengulang di mulut Utara, membuat Selatan ikut merasa sakit yang nyata.

Utara sakit karena gue. Selatan berdiri.

"Aku nggak kenal kamu. Kamu siapa? Aku nggak kenal!"

"Uta..." Selatan berucap lirih masih tidak percaya. Seperti petir yang menyambar di siang hari tiada hujan, mengejutkan dan tiba-tiba.

Senyum di wajah Selatan perlahan pudar. Rasanya baru saja dia diterbangkan karena mendapat kabar Utara sadarkan diri, tapi kini sudah dijatuhkan begitu keras sampai ia sendiri tak mampu membuka suaranya lagi.

"Dokter, bisa jelaskan apa yang terjadi?" tanya Selatan setelah pria bersneli itu saat dia datang.

"Utara mengalami amnesia akibat benturan keras yang mengenai otak kecilnya kemarin dan menjadi trauma."

Selatan sempat terdiam. Geraknya terkunci, otaknya masih mencerna keras apa yang baru saja dokter itu ucapkan.

Amnesia.

"Apakah ada peluang ingat kembali?"

"Amnesia disosiatif, bahkan dia juga lupa identitasnya. Tapi, masih ada peluang untuk ingat kembali."

Ternyata mustahil itu tidak ada. Walaupun selama apa Selatan mengenal Utara, kalau jalan takdirnya untuk terlupakan, bisa apa?

"Berapa lama dokter?" tanya Selatan penuh harap.

"Tergantung, atau bisa juga ingatannya hilang permanen."

Selatan terdiam dan tidak berkutik. Ia benar-benar beku dan syok setelah mengetahui apa yang terjadi pada Utara. Dunia Selatan yang tadinya bermekaran indah, kini berubah menjadi sayu.

Rasanya ini mimpi, benar-benar mimpi buruk. Tujuh belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Banyak kisah antara dirinya bersama Utara. Kenangan mereka, momen masa kecil, orangtua, dan cinta Selatan untuknya ... juga Utara lupa?

"Uta nggak kenal Ata?"

Tolong, jangan bilang "nggak". Selatan memejamkan mata, mengepal kedua tangannya dengan hati yang siap ataupun tidak mendengar jawaban Utara.

Cewek itu menatap dalam wajahnya. Namun, tetap gelengan yang Selatan dapatkan. "Maaf, aku nggak kenal kamu siapa, dan aku siapa," ucapnya, membuat Selatan semakin kehilangan harapan. Dunianya berhenti berputar dan semuanya mematung.

"Uta jelek, Uta cengeng, Uta yang suka lolipop, Uta yang mudah dibodohin, Uta yang suka pake topi boater saat balap sepeda sama Ata, Peraturan ketujuh, dilarang jatuh cinta, Mama Lora, Papa Dimas."

Namun, Selatan masih mendapatkan gelengan.

"Ata selalu menang dari Uta, begitu seterusnya." "Nggak! Aku nggak kenal! Sakit ... Akh ... Sakit ...." Selatan benar-benar hilang harapan.

"Kalau ini adalah hukuman buat gue, tapi kenapa gue merasa nggak rela ini hukumannya?" 

Utara & Selatan [#DS1 Selatan| END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin