Kepala Anstia masih terasa pening, matanya menatap sekitar yang begitu asing. Merubah posisinya menjadi duduk, mata Anstia jatuh pada lambang ditangannya.
"Kepalamu masih sakit?" Anstia menoleh, dia menatap Rusta yang berjalan mendekat. "Aku bertanya padamu, bukan pada tembok."
Anstia menatap Rusta kesal. "Kau menyebalkan sekali."
Rusta melipat kedua tangannya di depan dada, siluman rubah itu mendekat pada Anstia yang berada di ranjang. "Aku kaget kau bisa menahan kekuatan itu."
"Hah? Aduh, kepalaku." Anstia menegangi kepalanya yang masih terasa pusing.
Tes!
Anstia menatap selimut, beberapa tetes darah jatuh diatas selimut itu. Anstia cepat-cepat mengangkat kepalanya, berusaha menatap ke atas guna menghentikan darah yang mengalir. Tangannya mengusap hidungnya yang mengeluarkan darah.
"Ini." Rusta memberikan sebuah sapu tangan pada Anstia, gadis itu menerimanya dan menggunakan untuk menahan laju darah yang keluar.
"Apa ini salah satu efeknya?" Anstia melirik Rusta masih dengan posisi yang sama.
Rusta mengangguk. "Ya begitulah. Dan kau beruntung kau bisa menahan kekuatan itu kalau tidak kau pasti sudah mati."
Anstia berdecak. "Kalian membuatku menjadi seperti tumbal untuk keinginan kalian sendiri."
"Tapi kau selamat, jadi jangan mengeluh." Anstia hanya diam. Rusta sangat menguji kesabaran.
Rusta melirik pergelangan tangan Anstia yang memiliki tanda, sebenarnya ada sedikit perbedaan saat membuat perjanjian dengan siluman. Ikatan itu lebih kuat. Bahkan terkadang si manusia yang menjadi wadah perjanjian bisa merasakan rasa sakit dari siluman yang membuat kontrak, begitu juga sebaliknya.
Anstia menurunkan kepalanya setelah yakin jika tidak ada darah yang mengalir lagi. Anstia mengelap tangannya yang terdapat jejak darah dengan sapu tangan. "Aku tidak akan meminta maaf untuk noda ini." Anstia menunjuk beberapa jejak darah di selimut.
"Ini bukan kamarku, jadi aku tidak peduli." Rusta mengangkat bahu. "Lagipula kau bisa sihir, kan? Kenapa tidak pakai itu."
"Badanku lemas." Anstia bersandar pada sandaran tempat tidur. "Bahkan untuk mengeluarkan sihir aku tidak sanggup. Apa memang begini setelah membuat kontrak?"
"Tidak juga." Rusta menatap ke arah lain. "Karena biasanya mereka semua tinggal nama."
Gerkan datang dengan tatapan langsung tertuju pada selimut dan sapu tangan penuh darah yang ada di tangan Anstia. "Apa kau mau kembali ke dunia manusia?"
"Ah, maaf soal ini." Anstia menunjuk selimut. "Ya, aku mau kembali. Tapi aku bahkan tidak bisa menggunakan sihir, dan badanku lemas."
"Kau bisa tidur disini." Rusta memberikan tatapan super kaget sedangkan Anstia langsung menolak.
"Tidak bisa. Aku seorang Putri, kalau aku tidak ada di kamarku saat makan malam bisa-bisa satu kerajaan gempar." Anstia menghela nafas. "Ngomong-ngomong kontrak ini sudah sempurna atau belum?"
"Sudah." Gerkan mejawab, naga itu berjalan mendekat pada Anstia. "Kami akan membawamu kembali, karena kami telah memiliki akses untuk ke dunia manusia, itu bukan perkara sulit."
"Kalian sekuat itu?" Anstia menatap Gerkan dan Rusta. "Oke,"
Anstia berdiri, untuk beberapa saat diam karena rasa pusing yang datang. "Ini kenapa aku benci mimisan."
Rusta berjongkok di depan Anstia, membuat gadis itu kebingungan. "Cepat."
Anstia terkekeh, namun tetap naik ke panggung Rusta. "Aku boleh pegang ini?"
"Tidak!" Rusta langsung menolak. "Terserah." Rusta membuang muka.
Anstia tertawa, gadis itu dengan perlahan menyentuh telinga Rusta. "Wow, ini lembut."
"Aku rasa Rusta cukup."
Anstia menoleh, begitu juga Rusta yang menaikkan sebelah alisnya menatap Gerkan.
"Tentang apa?" Rusta bertanya, Gerkan belum membuka suara sampai portal yang ia buat muncul dihadapan mereka.
"Kau bisa berubah kebentuk aslimu dan menjaga Anstia disana, aku akan kembali kesini."
"Hei, mana bisa begitu! Aku tidak mau!" Rusta menolak. "Aku kira perjanjian ini hanya agar kita bisa leluasa ke dunia manusia."
"Kalau dia mati kita tidak bisa ke dunia manusia." Gerkan menatap Rusta yang menatap Gerkan dengan tatapan kesal. "Aku mau saja. Tapi tidak mungkin aku yang kesana. Kau bisa bersamanya terus menerus, tapi jika kalian butuh bantuan panggil aku."
"Apa maksudmu kau ingin agar Rusta tinggal denganku di dunia manusia sedangkan kau tetap disini?" Anstia menatap Gerkan yang mengangguk. "Aku rasa itu bukan masalah, aku memelihara anjing dan kucing jika perlu menambah tidak masalah aku rasa."
"Jangan samakan aku dengan binatang." Rusta mendengkus. "Baiklah, tapi aku akan sering kemari."
Gerkan mengangguk. "Aku akan ikut untuk sekarang."
Gerkan masuk ke dalam portal diikuti Rusta dan Anstia, di seberang portal mereka sampai di pinggir danau berkilau. Untung saja tidak ada orang ataupun penjaga disana saat mereka tiba.
"Bisa kau berikan koordinat ruanganmu agar aku bisa membuka portal kesana." Gerkan melirik Anstia. "Tangan."
Anstia memberikan tangannya. "Wow, tanda ini kelihatan cantik kalau dilihat-lihat lagi." Anstia menatap pergelangan tangannya. "Ah, disini."
Anstia memberikan posisi kamarnya berada melalui pikirannya, dan tanpa portal bahkan Anstia hanya berkedip tetapi kini dia berada dikamarnya.
Menatap sekitar Anstia turun dari gendongan Rusta. Suara ketukan pintu membuat Anstia menatap Gerkan dan Rusta.
"Yang Mulia, ini saatnya mandi." Suara pelayan dari luar membuat Anstia berlari panik ke pintu, gadis itu berbalik dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sebelum membuka pintunya sedikit.
"Ah, aku akan mandi sendiri untuk sekarang. Aku lagi ingin sendiri."
"Baik, Yang Mulia."
Anstia segera mengunci pintunya kembali setelah memastikan jika para pelayan itu pergi. Bahkan meminta agar penjaga di pintunya untuk pergi karena dia ingin benar-benar sendiri.
"Jadi?" Anstia menatap Gerkan dan Rusta yang masih di posisi yang sama. "Aku benar-benar harus mandi sekarang. Kalau Rusta benar-benar ingin disini aku akan meminta izin pada Ayahku."
Gerkan melirik Rusta yang menghela nafas panjang. "Aku tinggal." Dengan berat hati Rusta mengatakan itu.
Gerkan mengangguk sedangkan Rusta melipat tangannya di depan dada dengan wajah masam. "Aku akan kembali, jika perlu sesuatu panggil namaku."
Anstia mengangguk. Gerkan menghilang begitu saja, sampai-sampai Anstia kaget. "Dia cepat sekali."
Rusta mendengkus. "Dia kuat, jadi kau beruntung."
"Ah, aku akan mandi. Kalau kau mau mandi juga tunggu aku selesai mandi, kau bebas melakukan apapun dan kalau bisa kau hilangkan aura sihirmu itu, akan sedikit mengganggu jika ada makhluk dengan sihir kuat tiba-tiba muncul dikamarku."
Rusta tersenyum. "Ya, aku memang kuat."
Anstia tersenyum masam. "Terserah." Anstia berjalan menuju kamar mandi sedangkan Rusta memilih mempehatikan kamar milik Anstia. Tuan Putri memang berbeda.
"Anastia,"
Suara ketukan pintu membuat Rusta seketika berubah menjadi rubah dan menghilangkan aura sihirnya yang kuat.
Rusta mendengar beberapa suara lain menjawab pertanyaan saat nama yang tampaknya milik Tuan Putri ini.
Ah, Rusta tersenyum. Dia anak laki-laki itu. Dia dapat merasakan hawa keberadaan si Phoenix.
. . .
Aku mulai sibuk, bahkan hampir lupa untuk update padahal udah di tagih
Aku bakal usahakan update sesuai jadwal, tapi kalau lupa ya gitu 😆
Soo, selamat menunggu
Mulutnya Rusta kalo ngomong mantep, kan?