Anstia mengajak Pangeran Haindre berkeliling Istana, serta ke beberapa tempat, seperti perpustakaan atau dapur. Atau taman belakang Istana.
"Tempat yang sangat indah."
Pangeran Haindre menatap danau yang berkilau saat terkena cahaya matahari.
"Ini tempat kesukaanku." Anstia menatap danau luas itu. "Aku sering kemari untuk memenangkan pikiran."
Anstia duduk di rerumputan, begitu juga Pangeran Haindre yang ikut duduk di samping Putri Anstia.
Tidak ada pengawal ataupun orang-orang Istana yang mengikuti mereka. Haindre seorang Pangeran yang memiliki kemampuan pedang yang sangat baik, sedangkan Anstia bukan Putri kebanyakan yang hanya tau bersolek dan tersenyum bagai boneka, dia bisa menggunakan pedang dan panah dengan baik. Orang jahat pun akan berpikir dua kali untuk mendekat pada mereka.
"Pangeran,"
Pangeran Haindre menoleh. "Ada apa?"
"Apa Pangeran juga membuat perjanjian dengan roh atau sebagainya? Aku pernah membaca buku dan sempat dijelaskan jika para Anggota Kerajaan biasanya membuat perjanjian tersebut. Aku hanya ingin tau."
Pangeran Haindre tersenyum, mengangguk pelan. "Kau mau lihat?"
Mata Anstia berbinar, Putri itu mengangguk. "Mau!"
Pangeran Haindre tersenyum, lalu bersiul pelan. Sesuatu muncul dari langit, sebuah bola? Namun bercahaya. Anstia mengerjap saat bola yang ia lihat itu hilang dari pandangannya.
"Namanya Sin."
Anstia menatap bola bercahaya, bukan. Itu bagai sebuah bola bulu berwarna putih dengan ekor dan tanduk berwarna hitam, tampak mengemaskan.
"Wow, dia apa?"
Anstia mendekat, tapi benda kecil itu malah bercahaya lebih terang dengan tatapan tajam.
"Ah, maaf dia memang tidak begitu menyukai orang asing." Pangeran Haindre mengusap bulu putih roh sihir yang membuat kontrak dengannya itu. "Dia adalah roh petir, dia cepat tapi agak tidak bersahabat."
"Aku kira karena namanya roh, dia hanya sekedar berbentuk angin atau air tanpa ada wujud." Anstia masih menatap kagum, ini kali pertama dia melihat seperti ini. Karena Ayah atau Kakak-kakaknya tidak ada yang pernah menunjukkan padanya seperti apa roh atau makhluk yang mereka buat kontrak.
Pangeran Haindre tertawa. "Tidak, mereka memiliki wujud namun tidak bisa berbicara, kalaupun bisa dia hanya bisa berbicara dengan orang yang membuat kontrak dengannya."
"Dia bisa bicara?"
Pangeran Haindre menggeleng. "Tapi, aku bisa mendengarkan suaranya karena aku membuat kontrak dengannya."
"Dia pasti mengatakan sesuatu yang aneh tengangku."
Pangeran Haindre menggeleng. "Tidak, dia bilang kau cantik."
Anstia mengembungkan pipi. "Mana mungkin dia bilang seperti itu tapi saat mau aku pegang dia tidak mau."
"Baiklah, dia bilang kau kuat."
"Kuat? Aku bahkan tidak memiliki sihir."
Pangeran Haindre mengerutkan kening. "Benarkah? Tapi Sin bilang kau istimewa."
Anstia menatap roh yang ikut menatapnya itu, sepertinya dia harus jauh-jauh dari roh dan sebagainya. Dia bisa menyembunyikan sihirnya saat bersama Kakak-kakaknya dan Sang Ayah, tapi di depan para roh tampaknya ia tidak bisa melakukan itu.
"Tapi aku memang tidak bisa." Anstia menggeleng.
"Aromanya berbeda."
Haindre menatap Sin yang masih menatap kearah Anstia. "Apa buruk?" Haindre menggunakan telepati yang hanya bisa diketahui oleh Sin dan dirinya.
"Dia istimewa, Haindre. Aku tidak mungkin salah."
Haindre mengangguk pelan, Sin bukan roh sembarangan yang dapat menilai seseorang dengan mudahnya, lagipula tidak mungkin Sin akan mengatakan suatu kebohongan jika hanya untuk bermain-main. Tapi, dia memang tidak merasakan aura atau sihir dari Putri Anstia. Kalaupun ada, dia hanya merasakan sihir lemah sedikit.
"Aku percaya."
Anstia mengangguk pelan saat Pangeran Haindre mengatakan hal tersebut.
"Kembalilah Sin." Sin melompat lalu menghilang.
"Dia pergi kemana?"
"Bermain, saat aku panggil dia akan tetap datang." Pangeran Haindre tersenyum. "Ah, aku harus kembali."
"Bukan besok pagi Pangeran baru akan kembali."
Pangeran Haindre tersenyum. "Aku yakin jika aku bilang akan pulang sore ini kau pasti tidak akan mau aku ajak bicara seperti ini, dan kau tidak akan membawaku kemari."
Jika Anstia tau dia pasti memilih untuk sekedar berada di Istana agar Pangeran Haindre tidak kelelahan. "Tentu saja, Pangeran pasti kelelahan sekarang."
Pangeran Haindre berdiri, begitu juga Anstia yang di bantu oleh Pangeran Haindre yang menarik tangannya. "Boleh aku berikan sesuatu?"
Anstia menggeleng. "Tidak perlu Pangeran."
Pangeran Haindre tersenyum. "Tapi aku mau."
Pangeran Haindre mendekat, masih dengan tangan Anstia yang ia pegang, Pangeran yang berbeda lima tahun lebih tua dibandingkan Anstia--di dunia ini--mencium puncak kepala Anstia. Membuat gadis berumur lima belas tahun itu menegang, membeku.
"Aku rasa kau pasti punya banyak benda berkilau, jadi aku berikan ini saja."
Anstia memegang puncak kepalanya yang dicium oleh Pangeran Haindre. Dia menatap Pangeran Haindre yang tersenyum.
"Maaf jika aku lancang."
Anstia menggeleng pelan, gadis itu menunduk. Tidak berani menatap Pangeran Haindre, apalagi saat menyadari tangannya beralih jadi di genggam oleh Pangeran itu.
"Aku suka."
"Apa?"
Pangeran Haindre menunduk guna mendengar suara Anstia, walau sebenarnya dia sudah mendengar ucapan gadis itu.
"Aku suka."
Anstia menggigit bibir bawahnya, dia malu sekali rasanya. Bisa-bisanya juga kata itu yang keluar dari mulutnya. Ya ampun.
"Kalau kita bertemu lagi, aku akan berikan lagi." Pangeran Haindre berbisik pelan di telinga Anstia, membuat wajah gadis itu berubah merah. "Ayo kembali, terimakasih untuk hari ini, Putri Anstia."
***
Setelah mengantar Pangeran Haindre, Anstia kembali ke danau. Kini dia tau kenapa dia tidak melihat Kasilva selama dia berkeliling bersama Pangeran Haindre, ternyata Kasilva disembunyikan. Anstia hampir lupa kalau Kasilva adalah rahasia negara.
Mata Anstia menatap bagian hutan yang pernah ia masuki, namun belum pernah sampai ujung karena bertemu dengan Pangeran Kelima saat itu.
Sesuatu membuatnya penasaran, karena bagai ada yang memanggilnya, sejujurnya sejak Pangeran Haindre menunjukkan Sin padanya, bagai ada sesuatu yang menganjal.
Hutan yang entah kenapa semakin lebat, dia kira hutan ini berada di dalam kawasan Istana, dan setahunya hutan itu tidak selebat dan seperti ini.
Langkah Anstia berhenti saat dia menemukan sebuah sungai kecil, gadis itu menatap sungai kecil itu. "Darimana asalnya?"
Hei, setahunya hanya ada danau, dan kalaupun ada sungai kenapa ujungnya tidak pernah ia lihat? Bukan harusnya berujung di danau? Tapi sekian lama dia berkeliling di pinggiran danau dia tidak pernah melihat aliran air atau sungai yang bermuara ke danau. Jadi, sungai ini apa?
Anstia membuka sepatunya, mengangkat tinggi gaunnya, gadis itu menyebrangi sungai kecil yang airnya agak terasa dingin saat mengenai kakinya.
Bagai sampai di dunia lain, Anstia menatap sekitarnya yang memiliki aura yang terasa berbeda. Terasa lebih nyaman.
Memutuskan untuk tetap berjalan tanpa alas kaki, Anstia berjalan melewati beberapa pohon dan tanaman lain.
Sejujurnya semua sama saja dengan hutan biasa, hanya saja aura di tempat ini agak berbeda. Namun terasa sejuk.
Kaki Anstia berhenti, matanya menatap sebuah gua besar yang tampak gelap. Namun mulut goa tersebut tertutup oleh sulur-sulur tanaman yang sangat lebat.
Anstia menatap ke langit. "Maaf, sepertinya aku akan pulang sore."
Gadis itu memakai sepatunya, kemudian berjalan masuk ke dalam gua.
. . .
Sebenarnya aku pecinta genre fantasi, tapi kebanyakan cerita yang aku tulis teenfiction tapi ada unsur-unsur fantasinya.
Dan ini cerita murni fantasi pertama yang aku tulis, sebenarnya kadang aku nulisnya sambil mikir apa bisa di terima apa enggak unsur fantasi yang aku masukkan, kayak kelamaan nulis cerita normal aku jadi takut kalau cerita fantasi yang lebih banyak halu nggak bisa diterima.
Tapi semoga kalian semua terima unsur fantasi yang aku masukkan, soalnya aku nulis walau udah di rencanakan alurnya tetap aja pas nulis nanti berubah. Padahal udah ada rencananya.
Selamat membaca.