KALEIDOSCOPIC

By prncch

682K 58.6K 6.7K

Vina tidak pernah menyangka perkataannya tentang laki-laki idaman semasa remaja benar-benar terjadi padanya... More

(1) BERYL
(1A) BERYL
(1B) BERYL
(2) IGNEOUS
(2A) IGNEOUS
(2B) IGNEOUS
(2C) IGNEOUS
(2D) IGNEOUS
(3) IGNORAMUS
(4) OBLIVIOUS
(5) TYRANT
(6) PLETHORA
(6A) PLETHORA
(6B) PLETHORA
(6C) PLETHORA
(6D) PLETHORA
(6E) PLETHORA
(6F) PLETHORA
(6G) PLETHORA
(7) My Big Boss
(8) INCARNATE
(8A) INCARNATE
(8B) INCARNATE
(8C) INCARNATE
(9) DAME
(9A) DAME
(9B) DAME
(9C) DAME
(9D) DAME
(10)BERYL - 2
(10A) BERYL-2
(10B) BERYL-2
(10C) BERYL-2
(11) DREAMS
(11A) DREAMS
(11B) DREAMS
(12) GADAISA
(13) RAIN
(13A) RAIN
(13B) RAIN
(13C) RAIN
ATTENTION
THANKYOU
(14) HERE,LOVE
(14A) HERE, LOVE
(15) NECESSITY
(15A) NECESSITY
(15B) NECESSITY
(15C) NECESSITY
(15D) NECESSITY
(15E) NECESSITY
(16) DAY DREAM
(16A) DAY DREAM
(16B) DAY DREAM
(16C) DAY DREAM
(16D) DAY DREAM
(16E) DAY DREAM
(16F) DAY DREAM
(16G) DAY DREAM
INFO LAPAK BARU
(17) Fool Again
(17B) Fool Again
[ASKING SESSION] FOOL AGAIN
[ANSWERING]
(18) My Boss and Me
(19) STARLIGHT
(19B) STARLIGHT
(19C) STARLIGHT
(19D) STARLIGHT
(19E) STARLIGHT
(19F) STARLIGHT
(20) Be With You
(20A) Be With You
(20B) BE WITH YOU
(20C) BE WITH YOU
(20D) BE WITH YOU
(21) IF
(21A) IF
(21B) IF
(21C) IF
(21D) IF

(17A) Fool Again

4.4K 693 109
By prncch

***

Aku tidak bisa tidur sepanjang malam. Detik demi detik terasa begitu memilukan. Kantuk juga tak jua datang. Angin malam bahkan tidak mampu membuatku mengantuk. Shit! Aku memukul pipiku sambil memeluk tubuhku dengan erat. Aku tidak berani sekedar menghubungi William ataupun Yuriska. Aku juga tidak mampu mengendalikan pikiranku mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam pertemuan mereka. Apakah mereka berciuman? Atau bahkan terburuknya adalah, apakah mereka having sex?

Aku benar-benar kacau. Keinginanku untuk menghubungi Karen pun kutunda karena kupikir sahabatku itu juga butuh istirahat. Alhasil aku harus gelisah sendirian. Oh! Betapa buruknya nasib kehidupanku.

Tepat pukul sembilan pagi keesokkan harinya, deru mobil William terdengar. Aku sontak berlari ke teras. Laki-laki itu keluar dari mobilnya. Tatapan kami sempat beradu tetapi tidak melebihi satu menit. Aku dapat melihat rahang William mengeras. Dia menarikku masuk sembari membanting pintu rumah kami.

"Sejak kapan kamu tahu dia ada di Indonesia?" tanya William dingin

Pertanyaan ini! aku sudah tahu pertanyaan ini akan keluar dari bibir William dan aku telah menyiapkan jawaban serta reaksiku sejak dulu.

"Tiga bulan lalu."

Kilat amarah tercetak di sorot mata William. Tangannya yang masih mencengkram lenganku terasa semakin kuat. Aku tidak bisa memungkiri perasaan sedihku diperlakukan William seperti ini, layaknya permen karet yang tidak manis lagi.

"Kenapa kamu baru kasih tahu aku semalam?!"

"Aku menunggu waktu yang tepat sebelum memberitahumu." dan juga keyakinanku untuk meninggalkanmu.

"Great! Kamu menipuku!"

William melepaskan tanganku dengan cukup kuat sambil memijit pelipis kepalanya. Kemarahannya membuatku takut. Bagaimanapun William tidak pernah menunjukkan kemarahannya padaku tetapi sekali lagi, aku telah mempersiapkan perasaanku jauh-jauh hari, walau rasa sakit yang menjalar di jantungku juga terasa jauh lebih besar dari yang kuduga.

"Apakah kamu sudah menemuinya?" tanyaku hati-hati

"Apakah kamu pikir aku berani menunjukkan diriku di hadapannya?!!" William menatapku dengan marah. Kali ini, suaranya benar-benar keras. Dia lebih terlihat ingin memukuliku. Aku bahkan harus menunduk karena takut. Samar-samar aku mendengar geraman William. Laki-laki itu membuang kunci mobilnya hingga terpental jauh ke belakang.

"Jadi, kemana kamu dari semalam?"

Aku bahkan belum berhasil menutup bibirku usai bertanya tetapi tangan William hampir mendarat di pipiku. Aku sangat terkejut hingga melangkah mundur sementara itu William tidak terlihat menyesal sama sekali. Dia menarik tangannya menjauh sambil menghembuskan napas kuat.

"Aku tidak mau melihatmu hari ini. Jadi tolong keluar dari rumahku. Jangan kembali untuk sementara." ujar William kemudian berjalan ke kamar. Suara bantingan pintu kamar kami membuatku terlonjak kaget sementara itu aku membutuhkan waktu satu menit untuk mengartikan perkataan William. Tunggu. Laki-laki itu mengusirku? Dia baru mengatakan rumahku bukan rumah ini. Tak sadar aku menyunggingkan senyum getir. Apa yang bisa kuharapkan dari laki-laki yang tidak mencintaiku?

Aku segera menghubungi taksi online untuk menjemputku. Tidak lupa aku mengutip kunci mobil yang William jatuhkan tadi. Taksi tiba lima belas menit kemudian. Sebenarnya, aku ingin memberitahu William jika aku akan kembali ke rumah kedua orang tuaku, tetapi mengingat kemarahannya yang sangat besar untukku, aku harus mengurungkan niatku itu. Lagipula jika dipikir-pikir kembali, aku juga tidak akan memberitahu William kemana aku akan pergi atau menghubunginya lagi setelah ini. Maksudku, kami akan berujung perpisahan. Baik William maupun aku harus membiasakan diri dengan itu.

Aku tidak bisa menahan diriku agar tidak memperhatikan penjuru ruangan rumah William (aku ingin membiasakan diri menyebutkan milik William bukan milik kami mengingat perpisahan kami yang akan berada di depan mata). Firasatku buruk. Aku merasakan perasaan yang kuat bahwa aku tidak akan kembali ke rumah ini lagi. Oh! It's gonna be hurt. Aku menyeka mataku yang berair kemudian bergegas meninggalkan rumah William dengan segudang memori kami.

***

Satu minggu. Selama itu, William tidak menghubungiku sama sekali. Aku juga tidak berani menghubunginya ataupun mencari tahu informasi melalui sekertarisnya. Tetapi aku dapat menyimpulkan dua hal yang bisa William lakukan, yaitu mengurung diri di dalam kamar atau kembali ke pelukan Yuriska.

Camilla tidak banyak menangis selama kami berada di rumah orangtuaku. Aku memiliki perasaan yang baik mengenai ini. Camilla mungkin tidak akan terus menerus bergantung dengan keberadaan William lagi. Aku akan lebih mudah membawa Camilla melarikan diri bersamaku. Tetapi aku tidak dapat membohongi perasaanku jika aku terus menerus terpikirkan dengan William. Aku menjadi bertanya-tanya akan alasan William tidak menemui Yuriska.

Pertama, Yuriska tidak mau membukakan pintu untuknya. Kedua, William ingin memberi kejutan untuk Yuriska. Ketiga, William malu berhadapan dengan Yuriska karena dia telah beristeri bahkan beranak. Aku mengigit bibirku sambil memainkan ponselku. Kupikir kemungkinan ketiga adalah kemungkinan yang paling masuk akal. William malu dan menyesal telah menikahiku.

Ponselku berdering. Cynthia, sekertaris William, menghubungiku. Aku menjadi gugup. Sebenarnya aku tidak ingin menerima panggilan itu tetapi aku harus mengangkatnya. Maksudku, mungkin saja Cynhia menyampaikan berita penting.

"Bu Kattie? Bisa ke rumah sakit sekarang? Pak William mengalami kecelakaan!"

Demi Tuhan! Berita itu adalah berita paling buruk yang paling tidak ingin kudengar. Ponselku jatuh. Jantungku berdegup kencang. Aku begitu khawatir hingga menangis tidak menentu. Apa yang harus kulakukan? Pikirku kacau. Aku tidak dapat berpikir dengan benar selain nama rumah sakit tempat William berada. Aku bergegas ke rumah sakit setelah mencoba menyakinkan diriku agar tetap tenang.

Perjalanan yang hanya memakan waktu setengah jam terasa menyiksa. Kakiku bergetar begitu menuruni taksi. Aku terlalu gelisah bahkan hanya untuk menyebut nama William beruntung Cynthia menghampiriku. Dia menuntunku menuju lantai empat, dimana William berada.

"Tunggu bu!" Cynthia menarik tanganku saat aku hendak masuk ke dalam kamar VVIP itu

"Sepertinya Ibu harus menunggu sebentar karena di dalam ada tamu." Cynthia menatapku dengan tatapan bersalah sementara aku harus menahan rasa penasaran dan khawatirku dengan mati-matian. Maksudku, sepenting apa sih tamu itu sampai-sampai aku yang notabane istri William tidak dapat masuk ke dalam?

"Siapa tamunya?" tanyaku

"E... itu ... mm, tamunya sebenarnya ...."

"Aku tidak bisa menunggu lagi!" balasku kesal kemudian bergegas membuka pintu VVIP tersebut tetapi langkahku tertahan saat menemukan Yuriska berada di sisi William. Tangan-tangan lentik wanita itu mengusap lembut wajah William. Aku berani bersumpah jika kali ini adalah kali termenyakitkan yang pernah kurasakan karena melihat William mengusap pipi Yuriska juga. Keduanya saling bertatapan seolah-olah aku tidak ada di sana.

Cynthia menarikku keluar dengan hati-hati. Tatapannya yang mengasihaniku membuatku marah tetapi aku mencoba menyembunyikan perasaanku dengan dehaman pelan.

"Kamu bilang William kecelakaan?" sindirku dengan suara bergetar sementara itu Cynthia menunduk malu. Shit! Please,kat. Control yourself!

"Ditabrak motor bu. Cedera ringan."

Air mataku jatuh saat aku tidak sengaja menunduk dan mendapati bahwa aku mengenakan sandal yang berbeda warna. Oh Tuhan! Kenapa aku harus begitu mengkhawatirkan William? Maksudku, telah ada wanita yang seharusnya berada di sisinya. Tolol! Aku mengigit bibirku sedih.

"Sorry bu. Sebenarnya, pak William melarang saya memberitahu anda tapi karena saya juga khawatir, kupikir ibu pasti jauh lebih khawatir dan harus tahu masalah ini."

Aku mengangguk mengerti

"Bisa tolong bantu saya supaya merahasiakan kedatangan saya?" pintaku dengan kedua mata berkaca-kaca. Aku bersumpah jika aku telah mencoba menahan diriku semampu mungkin agar tidak menangis tetapi itu tidak mudah sama sekali! aku merasakan pipiku yang panas serta jantungku yang berdenyut-denyut. Mom! I want to cry!

"Saya .... bisa percaya kamu 'kan?"

Aku melangkah pergi setelah mendapat anggukkan kepala Cynthia. Tubuhku ambruk sesampai di toilet. Air mata yang gagal kutahan tadi kembali membasahi pipiku. Aku tidak pernah menyangka William mampu menolerkan luka sedalam ini padaku. Tunggu. Mungkin akulah pihak yang seharusnya pantas mendapatkan ini karena menikahi sahabat yang tidak mencintaiku sama sekali. PITY ME.

Aku berhasil kembali ke rumah tanpa dibombardir mama dengan pertanyaan-pertanyaannya. Tangan-tanganku bergetar. Aku masih merasa takut dan sedih tetapi aku harus memaksakan diriku untuk bangkit mengambil ponselku dan bergegas menghubungi temanku yang bekerja di bidang tiket pesawat.

"Helen, tiket ke Norwegia, dua. Please?"

***

"Kat! William mau ketemu denganmu."

Mama masuk ke dalam kamarku sambil menatapku dengan sorot binggung sementara aku berpura-pura tidak mendengarnya dan berkutat pada ponselku. Sebenarnya aku tahu William akan datang ke rumah orang tuaku karena laki-laki itu tidak henti menghubungiku sejak tiga hari lalu (yang selalu kuhiraukan). Tetapi aku juga tidak memiliki keberanian untuk melarikan diri ke mall dan lain sebagiannya karena khawatir jika kami berpapasan.

"Bilang aja, Kat lagi ngga ada di rumah." ujarku kesal

"Kat, mama tidak mau tahu kamu harus turun ke bawah dan selesaikan masalah ini dengan baik-baik!" mama menatapku dengan kesal. Sebenarnya aku ingin membalas mama dan mengatakan bahwa rumah tangga kami telah berada di ujung tanduk tetapi rupanya aku tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memberitahu mama tentang keretakan rumah tanggaku.

"Baik. Tapi mama tolong jaga Camilla. Jangan biarkan siapapun menemui Camilla, termasuk William." ujarku sebelum meninggalkan mama yang binggung denganku

Aku menarik napas kuat-kuat sebelum menuruni anak tangga dengan tujuan agar dapat mengendalikan perasaanku tetapi kenyataannya itu menjadi kesulitan tak berarti saat kedua pasang mata kami beradu. Perasaanku sesak. Aku harus berjuang mati-matian untuk menyembunyikan perasaanku. Aku tidak bisa menahan diri agar tidak memperhatikan William yang terlihat baik-baik saja setelah kecelakaan itu.

Yuriska bisa mengobatinya dengan baik bukan, heh?

"Kamu marah?"

Pembukaan yang salah, pikirku. Tatapanku menajam. Tentu saja aku marah. Tunggu. Maksudku, kata marah tidak lagi mendeskripsikan perasaanku melainkan kekecewaan. Aku mengangkat daguku tinggi-tinggi

"Kamu sudah bertemu dengan Yuriska?" tanyaku berhasil membuat raut tenang di wajah William menghilang. Kedinginan mulai menyelimuti. Well, setidaknya aku tahu jika William berpura-pura terlihat jika dia telah memaafkanku dengan keinginan agar dapat melihat Camilla?

"Aku datang bukan untuk membahas itu,Kattie Yurisia."

"Oh? Kupikir kamu datang untuk membahas itu?"

Aku berhasil menuangkan minyak ke perapian. William terlihat marah. Dia menarik napas kuat-kuat sambil menatap sekeliling rumah orang tuaku.

"Dimana Camilla?" tanyanya dingin

"Tidur."

"Aku mau melihatnya."

"Tidak bisa."

"Apakah Camilla sakit?"

Sejenak, aku terlena akan kekhawatiran yang terpancar dari mata William. Aku merasa tergerak untuk memberi kesempatan William agar mengendong anak kami tetapi memikirkan perasaanku yang sudah cukup menyakitkan membuatku harus mengurung kenyataan itu. Kupikir, William harus merasakan kesakitan yang sama denganku. Katakan aku egois tetapi aku tidak bisa mempertemukan mereka lagi. Maksudku, bagaimana jika William merampas Camilla dariku? Hanya Camilla satu-satunya harta berhargaku!

"Sebaiknya kamu pulang. Aku sedang tidak ingin bertemu denganmu." balasku memberi jarak yang kentara di antara kami

"Apa maksudmu? Kamu tidak mau mempertemukanku dengan anakku sendiri?" William terlihat marah. Aku harus menguatkan perasaanku sambil melipat tanganku di dada. You can do it well,Kat. You can!

"Aku tidak pernah berkata seperti itu."

"Jangan main-main,Kat. Aku mau anakku."

"Kamu yang bilang tidak mau bertemu dengan Camilla."

"Aku tidak mau bertemu denganmu, bukan Camilla, anakku."

Jleb. Tamparan keras itu terasa menohok jantungku. Aku masih harus mengontrol ekspresi wajahku sambil mengangkat bahuku ketika menemukan kekesalan terpancar di mata William. Aku melangkah mundur sambil bersandar pada sofa ruang tamu sementara itu aku mencoba mencari-cari kata yang mungkin bisa membalas perkataan William.

"Jangan memaksaku melakukan hal yang jauh di luar perkiraanmu. Sekarang, aku menginginkan Camilla." William terlihat hendak menerobos ke dalam rumah orang tuaku. Aku harus melakukan sesuatu, pikirku. Aku bergegas menahan langkah William. Bisa gawat jika William menemukan tiket pesawat kami di kamarku.

"Kamu tidak tahu sopan santun? Aku bahkan tidak mengijinkanmu masuk ke dalam rumahku!" balasku

William tertawa mengejek. Posisi tubuhnya yang jauh lebih tinggi dariku mengharuskanku agar mengangkat kepalaku menatapnya. Dalam jarak sedekat ini aku mampu mencium parfum wanita yang aromanya tidak pernah kumiliki.

Apakah William baru kembali dari tempat Yuriska?

"Aku tidak tahu kamu bisa semengesalkan ini. Jangan membuatku marah,Kattie Yurisia."

Sebenarnya aku ingin berteriak padanya dan mengatakan APA PEDULIMU tetapi aku harus menahan itu karena aku mendengar isakan tangis Camilla. Kedua mataku membulat menemukan mama membawa turun Camilla bahkan kini mama menyerahkan Camilla kepada William.

Sorot amarah William menghilang begitu saja, digantikan dengan kelembutan yang membuatku hampir berdebar-debar jika saja aku lupa bahwa William adalah laki-laki yang tidak bisa kusentuh. Sebenarnya aku ingin mengambil Camilla dari gendongan William tetapi keberadaan mama benar-benar menyulitkanku. Maksudku, mama belum mengetahui asal usul masalah kami. Mama hanya menyimpulkan kami bertengkar dan aku tidak memiliki keberanian yang cukup untuk memberitahu mama. Huh.

"Apakah Camilla sakit ma?" tanya William pada mama

"Tidak. Camilla baik-baik saja. Apakah kalian berencana pulang?" tanya mama kembali

William sempat melirikku sebelum menganggukkan kepalanya. What?! Pulang kembali ke rumah William? BIG NO! Aku tidak sanggup harus menyaksikan atau bahkan menjadi patner seks William lagi. Setidaknya jika kami berada di rumah orangtuaku maka aku berani menjamin seratus persen jika segala hal yang berkaitan dengan seks tidak akan terjadi.

"Iya ma. Kami berencana pulang setelah ini. Maaf ya ma, Kat kekanak-kanakan."

"Mama mengerti. Bagaimanapun Kat anak tunggal yang terlalu dimanja-manjain sama papanya padahal seharusnya yang manjain Kat sekarang 'kan kamu suaminya."

MAMA! Oh! Aku memalingkan wajahku saat William menatapku. Sekujur tubuhku terasa meremang. Aku benar-benar ingin marah dan tidak dapat bersikap seolah-olah kami benar-benar baik-baik saja. Demi apapun, aku telah berencana kabur dari William (tentu bersama Camilla). Jika kami kembali ke rumah William maka segalanya akan menjadi lebih sulit lagi.

"Kat masih mau tinggal sama mama." ujarku datar

"Kalau gitu, Camilla aku bawa pulang dulu?" William menawarkan diri dengan senyum manis yang bahkan mampu meluluhkan perasaan mama. Pupil mataku melebar. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku tidak boleh meninggalkan Camilla berdua dengan William. Bagaimana jika William tidak mau mempertemukan kami?

"Atau kamu mau ikut pulang bersama kami?" tanya William sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Kali ini tidak ada rasanya kupu-kupu bertebrangan di perutku. Rasanya digantikan dengan pisau belati yang menancap di jantungku. Aku memalingkan wajahku sambil mengigit bibirku kesal. Shit! William brengsek!

****

Updatee lagi! sejujurnya ini baru selesai saya ketik dengan ngebut hahahaha..

thanks for showing your antusisme for this part!

Anyway, kenapa saya copy paste di watty dari laptop jadi yang sebelumnya ada italic and rapi kaya berantakan gitu ya? Any idea?

Pls, dont ask me to continue today again bcs my eyes are tired... T_T

waiting for your voment guys! now, 500 votes plus 500 comments, possible kah? hahahahah

good nighttt and happ readingg

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 204K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.8M 86.5K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
849K 36.3K 65
Elena Rosalina Smith memiliki seorang tunangan yang tiba - tiba di rebut oleh saudari tiri nya. Dan sebagai ganti nya, Elena terpaksa harus menikahi...
593K 25.4K 40
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...