KALEIDOSCOPIC

By prncch

682K 58.6K 6.7K

Vina tidak pernah menyangka perkataannya tentang laki-laki idaman semasa remaja benar-benar terjadi padanya... More

(1) BERYL
(1A) BERYL
(1B) BERYL
(2) IGNEOUS
(2A) IGNEOUS
(2B) IGNEOUS
(2C) IGNEOUS
(2D) IGNEOUS
(3) IGNORAMUS
(4) OBLIVIOUS
(5) TYRANT
(6) PLETHORA
(6A) PLETHORA
(6B) PLETHORA
(6C) PLETHORA
(6D) PLETHORA
(6E) PLETHORA
(6F) PLETHORA
(6G) PLETHORA
(7) My Big Boss
(8) INCARNATE
(8A) INCARNATE
(8B) INCARNATE
(8C) INCARNATE
(9) DAME
(9A) DAME
(9B) DAME
(9C) DAME
(9D) DAME
(10)BERYL - 2
(10A) BERYL-2
(10B) BERYL-2
(10C) BERYL-2
(11) DREAMS
(11A) DREAMS
(11B) DREAMS
(12) GADAISA
(13) RAIN
(13A) RAIN
(13B) RAIN
(13C) RAIN
ATTENTION
THANKYOU
(14) HERE,LOVE
(14A) HERE, LOVE
(15) NECESSITY
(15A) NECESSITY
(15B) NECESSITY
(15C) NECESSITY
(15D) NECESSITY
(15E) NECESSITY
(16) DAY DREAM
(16A) DAY DREAM
(16C) DAY DREAM
(16D) DAY DREAM
(16E) DAY DREAM
(16F) DAY DREAM
(16G) DAY DREAM
INFO LAPAK BARU
(17) Fool Again
(17A) Fool Again
(17B) Fool Again
[ASKING SESSION] FOOL AGAIN
[ANSWERING]
(18) My Boss and Me
(19) STARLIGHT
(19B) STARLIGHT
(19C) STARLIGHT
(19D) STARLIGHT
(19E) STARLIGHT
(19F) STARLIGHT
(20) Be With You
(20A) Be With You
(20B) BE WITH YOU
(20C) BE WITH YOU
(20D) BE WITH YOU
(21) IF
(21A) IF
(21B) IF
(21C) IF
(21D) IF

(16B) DAY DREAM

5.1K 750 128
By prncch

****

  "Jika bersamamu hanya merupakan mimpi, tolong segera bangunkan aku sebelum aku terlalu lama bermimpi bersama bayanganmu, karena itu berbahaya, baik bagimu dan bagiku." - author's quote

***         

Satu jam kemudian aku telah sampai di rumah. Langkahku tergesa-gesa. Entahlah. Tiba-tiba aku merasa takut dan tidak nyaman. Aku menyadari beberapa asisten rumah tangga yang memang hanya bekerja pagi hari melirikku dengan sorot cemas akan air mataku yang tiada berhenti tetapi aku tidak peduli. Aku bahkan tidak menyapa mereka seperti yang biasa kulakukan. Hatiku masih terlalu sakit untuk tersenyum.

Sesampainya di kamar, aku pun bergegas memasukkan barang-barangku ke dalam koper pink yang kubeli tiga bulan lalu. Tidak banyak yang kuambil dan juga tidak banyak barang yang kutinggalkan. Tak sadar aku tersenyum getir. Miris. Barang apa pula yang bisa kutinggalkan disini? Dicky tidak pernah membelikanku barang. Aku tahu laki-laki itu tidak pelit karena aku terlalu sering melihat Dicky membelikan barang-barang untuk keluarganya terutama teruntuk mama mertuaku dan adik iparku.

How it can be? Dia benci denganku dan merasa muak serta jijik bahkan hanya untuk membelikanku barang. Satu-satunya yang bisa kutinggalkan disini hanya kenangan. Aku tidak mau memikirkan Dicky lagi. Dia begitu kejam.

Dicky dan Nadia telah berada di ruang tamu ketika aku kembali dari kamar. Dengan refleks aku melirik sekelilingku yang telah kosong. Apa mereka meminta para asisten rumah tangga untuk pulang? Ah. Aku tidak seharusnya peduli. Toh aku juga akan segera keluar dari rumah ini.

"Sorry,Nad. Aku lagi ngga mau bicara denganmu untuk saat ini." ujarku saat kulihat Nadia berjalan mendekatiku. Kata-kataku berhasil membuat Nadia berhenti melangkah. Aku mendapati air mata Nadia serta sorot wajahnya yang penuh rasa bersalah. Hatiku menjadi semakin sedih. Nadia berkorban terlalu banyak untukku. Tetapi aku tidak bisa berbicara dengan Nadia dihadapan Dicky sekarang. Bisa-bisa Dicky berpikir aku akan memaafkannya jika berbicara dengan Nadia. Tidak! Tidak boleh terjadi.

"Han, kamu jangan langsung berpikir negative dong? Jangan langsung ambil keputusan seperti itu. Kamu 'kan lagi hamil." Nadia membalasku dengan nada yang gemetar. Sepertinya dia akan menangis. Aku menarik napas pelan dan memutuskan berjalan mendahuluinya.

Samar-samar kurasakan tatapan Dicky padaku. Aku merasa semakin marah. Rasanya aku ingin menampar Dicky saat ini juga tetapi aku tidak boleh menamparnya. Bukan karena aku takut padanya. Aku hanya tidak mau memperlihatkan betapa terlukanya aku. Aku tidak mau Dicky tahu bahwa aku benar-benar mencintainya sementara dirinya hanya bermain-main denganku selama ini.

"Hanna!"

CRAP! Kurasakan sentuhan Dicky pada tanganku. Dengan refleks aku menepis tangannya dan mengambil jarak yang sangat kentara diantara kami. Air mataku hampir jatuh saat kedua pasang mata kami bertemu. Mata biru itu! Oh! Tolol. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada kedua mata yang bahkan sama sekali tidak menyorotkan cinta?

"Nadia mau bicara. Jadi tolong dengarin dia." sambung Dicky

Aku tertawa cukup keras hingga membuat kakak beradik itu menatapku dengan binggung. Air mataku jatuh disela tawaku. Hatiku menjadi semakin hancur. Aku tahu Dicky sangat menyayangi keluarganya tetapi aku tidak pernah menyangka wujud dari kasih sayang Dicky pada keluarganya seperti saat ini yaitu memintaku mendengar Nadia berbicara, akan membuat hatiku sesakit ini.

"Kenapa aku harus?" balasku dingin. Aku bisa melihat kilat amarah di mata Dicky dan Dicky berjalan mendekatiku. Aku berusaha menahan diri agar tidak mundur. Aku tidak mau Dicky tahu bahwa tubuhnya, tatapannya, berhasil mengintimidasiku.

"Ini balasan kamu untuk sahabat kamu?" ujar Dicky hampir terdengar marah. Aku mendengus. Ini balasan kamu atas cintaku yang tulus?!

"Kalau iya, apa maumu? Kamu mau pukul aku? Mau tampar aku? Sini! Lakukan saja sesukamu. Aku juga bisa sesukaku!" balasku. Langkah Dicky tertahan. Laki-laki itu tertawa kemudian dalam hitungan dua detik aku telah berada dalam pelukannya. Tubuh kami begitu rapat hingga tidak ada sedikitpun celah memisahkan selain pakaian kami. Aku mulai marah dengan kedekatan yang mengingatkanku akan kebodohanku.

Aku mencoba mendorong Dicky menjauh tetapi Dicky jauh lebih bertenaga dariku. Dia dengan segala kekuatannya berhasil mendudukanku di sofa. Aku benci ini, benci bagaimana Dicky mencoba mengontrolku. Tak sadar aku bangkit kembali dan Dicky kembali mendudukanku. Beberapa kali aku melakukannya dan beberapa kali pula Dicky mendorongku agar duduk kembali. Dorongannya cukup kuat.

Brengsek. Dia tidak tahu aku hamil?! Perbuatannya bisa saja menggugurkan kandunganku.

"Nadia. Kamu juga duduk." Dicky meminta Nadia agar duduk di sampingku. Aku tidak mau! Siapa Dicky? Aku tidak mau dikontrol Dicky sesuka hatinya! Aku kembali mencoba bangkit. Dicky kembali seperti biasa, ingin mendorongku agar duduk kembali. Aku sudah tidak tahan dan langsung menampar Dicky dengan cukup keras.

Tatapan Dicky menggambarkan dengan jelas bahwa dia marah padaku. Great. It was good make him mad on me. Aku mendorong bahunya agar menyingkir dariku tetapi Dicky menahan tangan kananku.

"Duduk!"

Aku masih bertahan pada posisiku. Kucoba menepis tangannya tetapi tidak bisa. Sial. Kenapa Dicky mempergunakan kekuatannya kepada wanita? Aku tidak mau. Demi apapun. Aku tidak mau Dicky membawaku untuk duduk tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat Dicky mengendongku agar duduk. Argh. Aku benci Dicky!

"Aku tidak mau bicara." Aku memulai pembicaraan itu dan mencoba bangkit lagi. Kali ini kudengar geraman Dicky kemudian kurasakan ciuman di bibirku. Kasar. Selalu kasar. Tolol. Kenapa aku baru sadar?

Kupukul dada Dicky. Tak sadar air mataku jatuh. Aku memalingkan wajahku saat dia menghentikan ciuman itu. Wajahku memerah. Aku meremas pakaianku, mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku tidak boleh menangis. Tidak. Tidak. I can't!

"Kamu baru bisa diam kalau dicium?"

Sialan. Aku benci! Aku benar-benar benci cara Dicky mengatakan itu. Aku bahkan mendengar tawanya yang seolah menghinaku. Aku segera menarik tanganku saat kurasakan gengaman tangan Nadia.

"Don't touch me!"

Aku tahu jika Nadia mungkin akan menangis akan perkataanku tetapi aku tidak peduli. Sebenarnya, perkataanku itu ditujukan pada si brengsek Dicky tetapi aku tidak tahu bagaimana mengutarakan pada Dicky... aku bahkan tidak bisa menatap wajah Dicky lagi. Semudah ini baginya untuk menciumku? Bagus. Bagus,Dicky. Kamu berhasil membuatku semakin percaya dengan keputusanku sendiri.

"Aku mau bercerai." ucapku

"Tidak! Kamu lagi hamil!" Nadia menolak gagasanku. Aku tertawa getir membalasnya.

"Ada masalah kalau aku hamil? Ini bukan anak abang kamu juga,Nad!" balasku sembari mengingat-ingat kembali perkataan Dicky tadi. Tak sadar aku mengelus perutku sambil menarik napas pelan. Sayang, mungkin ini takdirmu tidak diinginkan ayahmu sendiri, gumamku dalam hati. Tidak. Aku harus mencari suami lagi. Tetapi begitu memikirkan wajah laki-laki lain membuatku semakin sedih. Argh. Ini semua tidak akan serumit ini jika aku tidak jatuh cinta dengan Dicky. Aku menggeram dalam hati.

"Han, please dengerin aku dulu, aku ..."

Aku menggeleng.

"Nad. Aku dengar semuanya. Semuanya... tadi. Kamu pikir ibu mana yang bisa menerima itu?" ujarku sambil melirik Dicky kemudian melanjutkan,"Bahkan janda saja ngga mampu!"

Kata-kataku berhasil memetik nyala api Dicky. Dia berjalan mendekatiku dan meraih pakaianku. Kedua mataku terpejam. Kupikir dia akan memukulku. Mungkin. Entahlah. Karena saat itu kurasakan Nadia mencoba menarik Dicky menjauh dariku.

"Tutup mulutmu!" ucap Dicky dengan napasnya yang bahkan tersapu diwajahku. Aku menahan senyumku yang penuh dengan rasa sakit. Nadia masih mencoba mendorong Dicky menjauh dariku tetapi tetap saja Nadia tidak mampu. Abangnya itu memang tidak berperasaan. Dia ingin memukuliku? Aku tersenyum getir.

"Kalau kamu mau aku menutup mulut, jangan pernah main-main denganku! Jangan pernah memainkan perasaanku! Apa aku salah dengan mengatakan janda itu? Dia memang janda dan juga seorang ibu! Kamu ngga terima dengan kenyataan itu? Pada akhirnya kamu memang cinta dengan janda yang lebih tua dari kamu sepuluh tahun! Kamu hanya bisa bikin keluarga kamu kecewa dan...." Perkataanku terhentikan saat satu tamparan panas mengenai pipiku.

"Diam kamu!"

In the end .... He will hurt me.

Air mataku jatuh. Aku melangkah mundur tetapi tetap tidak bisa mengingat cara Dicky menahan tubuhku. Kurasakan dentuman memukul jantungku. Aku mengerjap sambil menahan napas, mencoba mengontrol diriku sendiri tetapi aku tidak bisa. Aku sudah terlanjur menangis dihadapan Dicky. Dasar brengsek.

"Kamu bilang ini cinta. Seharusnya kamu memperjuangkannya kalau cinta dengannya bukannya menikah denganku seperti keinginan keluargamu." Aku membasahi bibirku dan memalingkan wajahku. Sungguh. Aku tidak bisa melihat Dicky sekarang. Hatiku begitu remuk.

"Terima kasih padamu karena tidak pernah mengatakan cinta padaku. Setidaknya aku sadar diri." Bahwa kamu ngga akan memperjuangkanku, sambungku dalam hati.

"Lepaskan aku. Aku ngga mau melihat mukamu lagi." ujarku digubris Dicky. Sialan. Kenapa dia asyik menempel padaku?! Dasar brengsek! Apa dia mengira aku masih bisa dia sentuh-sentuh seperti dulu?!

"Aku bilang lepaskan aku!!" teriakku keras. Berhasil. Dicky melepaskanku. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk 'kabur' tanpa membawa koperku. Setelah dipikir-pikir, koper pink ini menghambatku untuk pergi saja.

Nadia mengejarku. Sahabatku itu mengengam erat tanganku. Wajahnya penuh dengan penyesalan. Air matanya jatuh. Hatiku semakin sakit mengingat bahwa sahabatku ini menangis karenaku juga. Nadia pasti telah tahu jika aku mencintai abangnya sehingga memberikan permintaan pada Dicky untuk bersamaku.

"Han, tinggal di rumah orang tuaku saja, huh? Kamu lagi hamil. Besan pasti khawatir denganmu kalau kamu pulang dengan kondisi seperti ini."

Sebenarnya aku ingin menolak karena tahu jika aku menerima ini maka kemungkinan terbesar aku akan bertemu dengan Dicky lagi tetapi aku juga tidak bisa membuat papa dan mama khawatir serta sedih karenaku. Kupalingkan wajahku sambil mengigit bibirku yang tiba-tiba terasa sakit, efek dari tamparan panas Dicky.

"Please... please,Han..."

Aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Kubiarkan Nadia menuntunku ke dalam mobil kemudian meninggalkan rumah Dicky. Sepanjang perjalanan, air mataku terus menerus jatuh tetapi aku masih mencoba menahan diri agar tidak terisak hingga kami telah sampai di rumah mertuaku dan Nadia telah mematikan mesin mobil, tangisku langsung pecah.

Nadia memelukku sambil mengumamkan kata maaf berkali-kali yang tidak kubalas sama sekali selain isakan tangis yang kian lama kian mengeras. Oh. Dosa apakah aku dulu sampai-sampai merasakan sakitnya hati seperti ini.

***

Aku baru tahu seberapa berharga anak saat seperti ini. Aku memang sedang sangat patah hati dan tidak ingin makan apapun tetapi aku langsung makan begitu mengingat anakku yang mungkin juga sedang ikut bersedih di rahimku. Saat aku terus menangis, aku mengingat anakku sehingga aku menjadi semakin kuat dan perlahan mengurangi tangisku. Semuanya karena anakku dan aku berhasil mengontrol sakit hatiku.

Sudah seminggu aku berada di rumah mertuaku. Selama itu pula tidak ada satu pun orang yang berani 'mengangguku'. Entahlah. Mungkin Nadia menceritakan segalanya dengan mertuaku sehingga mertuaku memutuskan untuk tidak mengangguku dulu. Selama itu pula aku menenggelamkan diri pada tumpukan dvd di kamar Nadia. Kami memang berbagi kamar tetapi Nadia tidak sekalipun mengajakku berbicara. Dia mencoba mengertiku dan kupikir itu berhasil.

"Malam ini .... Aku mau ke mall. Kamu?" kuputuskan untuk memulai pembicaraan saat Nadia sedang berada di kamar. Kudapati raut bahagia Nadia yang langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir. Syukurlah, gumamku dalam hati.

"Mau makan apa? Aku yang traktir sampai puas hari ini!" tukas Nadia membuatku tersenyum kecil.

"Gimana kalau kita pergi sekarang aja? Aku mau nonton film. Habis itu kita makan sampai puas!" ujarku usil sambil melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul sebelas pagi. Kemudian kami saling tersenyum setelah setuju dengan ide itu.

"Sorry." ujar Nadia tulus. Aku mengangguk sambil memintanya mendekatiku. Kemudian tanpa aba-aba, aku memeluknya sambil tertawa kecil walau masih dapat kurasakan hatiku yang perih.

"Diterima. Ayo, siap-siap sekarang!"

***

Nadia benar-benar menraktirku seharian penuh. Dari menonton film, hunting makanan sampai belanja. Kupikir Nadia benar-benar menyesali perbuatannya. Mau tidak mau aku tersenyum kecil akan sikap Nadia. Satu-satunya alasan aku masih bisa bertahan berada di dekat Nadia karena Nadia adalah sosok sahabat yang sangat baik dan mengertiku, tidak seperti abangnya yang brengsek itu. Kami sedang dalam perjalanan pulang saat Nadia tiba-tiba menyinggung soal Dicky.

"Dia ngga pulang ke rumah." ujar Nadia sambil mendengus kesal. Raut wajahku berubah seketika. Nadia pun menyadarinya. Dia menjadi salah tingkah sambil berdeham pelan dan langsung mengubah topik pembicaraan kami.

Aku mencoba untuk menyimak perkataan Nadia tetapi entah mengapa pikiranku tiba-tiba stuck pada satu orang yaitu Dicky. Oh! Shit! Kenapa pula aku harus memikirkan laki-laki itu? Aku memukul ringan pipiku kemudian kembali aku teringat akan tamparan Dicky dipipiku. Aku masih ingat akan rona merah akibat tamparan itu. Tidak hanya itu, rasa sakitnya bahkan masih terasa selama dua hari. Tiba-tiba kurasakan jantungku berdenyut sakit kembali. Dasar Dicky sialan.

Kupalingkan wajahku sambil menyalakan radio. Lagu last dance – big bang mengiringi perjalanan kami. Argh. Aku menggeram dalam hati. Kenapa harus lagu ini? Aku mengusap wajahku dan memutuskan untuk tidur. Aku bahkan tidak memiliki keberanian mengganti stasiun radio lainnya karena takut jika Nadia tahu aku kebawa perasaan akan lagu ini. Sial. Benar-benar sial. Aku bisa menjadi kacau hanya karena mendengar namanya sementara dia saja tidak. Mungkin bahkan tidak pernah sekacau diriku saat mendengar namaku.

Oh God. Help me. I want to forget him in my whole life.. Please,God, gumamku dalam hati.

***

"Han, besok ada acara keluarga." Aku menghentikan aktivitasku yang sedang makan popcorn sambil menonton televisi begitu mendengar suara Nadia. Besok? Aku berpikir keras. Ada apa dengan hari besok? Apakah ada hari yang special?

"Besok 'kan nenek ulang tahun. Kalau kamu belum siap, mending ngga usah pergi dulu aja deh,Han. Aku bisa ngarang alasan untukmu kok." ujar Nadia pengertian. Aku mengerti jika Nadia sebenarnya ingin menyebut nama Dicky di tengah-tengah pembicaraan kami tetapi berhubung aku menjadi pendiam sehabis acara seharian kami itu selama dua hari, Nadia benar-benar berhenti menyebut atau menyinggung nama Dicky lagi.

"Tapi nenek kan ulang tahun sekali setahun..." gumamku bersalah. Bagaimana ini? Aku menyayangi nenek tetapi disisi lain aku masih sangat tidak siap bertemu dengan Dicky. Apalagi kini perutku mulai membesar. Seluruh anggota keluarga pasti akan sibuk menanyakan ini dan itu. Dicky pasti akan dengan sangat terpaksa berdiri disampingku sepanjang hari itu jika aku pergi.

"No problem,Han. Aku ngerti kok. I'll say kamu lagi ngga enak badan. Gimana?"

Aku berperang dengan hati nuraniku sendiri selama beberapa menit. Apa yang bisa kulakukan? Aku masih menyandang marga Dhamarwangsa. Aku akan disebut cucu yang tidak tahu diri jika tidak hadir disana. Oh My God. Tak sadar aku menghembuskan napas kuat sembari menolak gagasan Nadia.

"Aku ngga bisa ngga pergi,Nad. Itu nenek kamu, nenekku juga dong. Bisa-bisa aku dijadiin bahan gossip. You know, keluarga kamu kan ngebet pengen punya dedek bayi." ucapku

"And now you're pregnant." Nadia tersenyum bahagia saat mengatakan itu tetapi entah mengapa yang kurasakan hanya kekhawatiran. Rupanya Nadia menyadari kekhawatiranku. Dia mengusap bahuku untuk menenangkanku.

"Aku harus pergi,Nad, tapi kamu harus tolong aku." ucapku membuat Nadia menyergit. Aku tidak punya pilihan lain. Setelah kuutarakan keinginanku, Nadia pun mengangguk membalasku kemudian pergi tidak lama itu untuk mengenapi keinginanku.

Hari yang paling tidak siap kujalani pun terjadi. Beruntung Nadia berhasil menemukan dress model sabrina berwarna krem yang berukuran cukup untuk menutupi perutku yang mulai membesar. Kupandang diriku sambil tersenyum getir mengelus perutku. Selama sesaat aku tenggelam dalam duniaku sendiri bersama bayiku sampai kurasakan tepukan ringan di bahuku.

"Are you ready?" tanya Nadia yang segera kubalas dengan anggukan kepala

"Am I look like pregnant woman?" tanyaku untuk memastikan

"No! You're still like virgin woman." Kemudian pecahlah tawa kami. Nadia benar. Aku memang lebih terlihat seperti gadis. Lucky me have bestfriend like her. Nadia benar-benar sukses menutupi perutku yang sedikit membesar. Setidaknya dengan begini maka aku bisa menjaga jarak dengan Dicky.

Keinginanku tidak berjalan dengan mulus sebab Dicky telah berada di ruang tamu di rumah orang tuanya begitu aku menuruni anak tangga. Rasa amarah, kecewa, sedih dan benci yang kurasakan kembali menyeruak. Aku segera berbalik, hendak menuju ke kamar kembali, sebelum kudengar mama mertuaku memanggilku. Sial. Kenapa harus sekarang aku bertemu dengan si brengsek itu? Setidaknya jika kita bertemu di acara keluarga yang diselenggarakan di rumah nenek Dicky yang menimalis itu, aku masih bisa mempersiapkan diriku selama perjalanan.

"Kamu cantik banget,sayang." puji mama mertuaku kubalas dengan senyum tipis. Entahlah. Aku tahu bahwa aku tidak seharusnya hanya tersenyum tetapi memeluk mama mertuaku tetapi aku tidak bisa bersikap seperti itu jika ada Dicky didekatku.

"Ayo kita pergi." Mama mengandeng tanganku keluar dari rumah. Aku bahkan tidak mau repot-repot menyapa Dicky. Kulanjutkan langkahku tanpa ragu. Papa dan mama mertuaku serta Nadia masuk ke alpard hitam. Aku pun berniat untuk masuk tetapi mama lebih dahulu mengunci pintunya.

"Sorry,Han. Sisa kursi itu nanti untuk tante kamu. Kamu pergi sama Dicky aja ya?"

Double sial. Aku bahkan tidak bisa berkomentar sama sekali karena alpard hitam itu sudah melaju pergi. Oh mama! Aku menggeram kesal. Tidak. Aku tidak sudi diantar dengan laki-laki yang sudah menamparku. Dengan lekas aku mengeluarkan ponselku, berniat menghubungi taksi online, sebelum kurasakan rampasan ponselku.

"Ikut aku." ucap Dicky dingin

"Ngga mau." balasku tidak peduli dengan Dicky. Aku pun bergegas masuk kembali ke rumah tetapi rumah telah dikunci. Sial! Benar-benar sial. Bagaimana ini? Aku mulai berpikir keras saat Dicky menarik tanganku agar masuk ke mobilnya. Kutarik tanganku sekuat tenaga.

"Aku ngga mau pergi kalau sama kamu. Ngerti bahasa Indonesia ngga sih kamu?!" ucapku kesal

"Ini perintah langsung dari mama. Masuk!" Dicky mendorongku masuk dengan paksa. Aku tidak bisa melakukan apapun saat Dicky memasangkan seat belt untukku. Hatiku terasa sakit, tidak seperti dulu yang berbunga-bunga akan sikap Dicky.

Perjalanan terasa begitu lama. Dicky tidak berinisiatif menyalakan radio dan aku tidak berani menyentuh miliknya. Kupalingkan wajahku menghadap keluar jendela mobil sambil mengusap perutku. Sampai kapan kita akan seperti ini sayang?

"Udah berapa bulan?" tanya Dicky sedikit mengejutkanku tetapi aku berpura-pura tidak mendengarnya. Lagipula untuk apa aku menjawabnya? Dicky tidak ingin menganggap anakku sebagai anaknya juga bukan?

"Nenek akan tahu kalau sikap kamu begitu." ucap Dicky saat kami telah sampai di rumah nenek. Puluhan mobil telah memadati sekitar tempat tinggal nenek. Aku mendengus, masih tidak mau menyahut Dicky sama sekali.

"Udah berapa bulan?" tanyanya lagi. Oh! aku mulai kesal. Kupikir dengan predikat cumlaude Dicky merupakan salah satu yang terpintar tetapi aku salah. Dicky sama sekali tidak bisa membaca situasi. Dasar bodoh. Aku melepas seat belt ku saat melihat mobil alpard hitam yang meninggalkanku tadi telah tiba.

Kurasakan tanganku ditarik saat aku hendak membuka pintu mobil dan sesuatu yang lembut mengenai bibirku. Jantungku berdegup kencang. Dicky menciumku! Otakku bekerja keras. Aku harus mendorong Dicky tetapi ciuman ini terasa melumpuhkanku. Dicky memperdalam ciumannya, masih kasar seperti dulu, tiga bulan yang lalu. Dicky brengsek. Aku mencoba mendorong Dicky tetapi Dicky malah mengangkatku agar duduk di pangkuannya. Aku tidak tahu bagaimana Dicky semudah ini mengendongku padahal berat badanku naik tujuh kilo hanya dalam waktu tiga bulan.

"Lepa...." perkataanku tertelan akan ciuman Dicky. Aku merasakan sentuhan Dicky di tubuhku. Kurasakan keinginannya akan tubuhku tetapi aku tidak bisa. Aku tidak mau hanya dijadikan pelampiasan Dicky. Kemudian aku terpikirkan dengan Yessy, si janda itu. Apa mungkin mereka bertengkar sehingga Dicky melampiaskan keinginannya padaku?

Dicky menghentikan ciumannya saat mendengar pintu mobilnya di ketuk. Aku bisa melihat bibir Dicky yang memerah serta ada jejak merah lipstickku. Aku semakin marah ketika melihat Dicky dengan semudah itu menurunkan kaca mobilnya hingga membuat Nadia serta mama mertuaku melihat posisi kami saat ini.

"Give us 15 minutes." ujar Dicky sambil tersenyum tipis kemudian menutup kaca mobil kembali. 15 minutes? Maksudnya dia mau menciumku lagi? Tidak akan kubiarkan! Aku langsung menampar Dicky begitu kedua pasang mata kami beradu.

"Lima belas menit? Kamu kira aku ini pelacurmu? Kali ini apa alasanmu? Nadia? Atau karena kamu udah putus dengan si janda itu? Dengar, aku tidak sudi dicium ka...." Dicky menciumku lagi. Kali ini posisi kami berganti. Aku berada di bawah dengan Dicky diatas. Dicky menurunkan kursi mobilnya tanpa menghentikan ciuman itu.

Aku merasa semakin marah. Apa-apaan? Dicky kira aku bisa dipermainkan?

"People should believe us now." ucap Dicky puas melihat keadaanku yang 'berantakan'. Aku mencoba menahan amarahku saat Dicky masih sibuk membenahi dirinya kemudian laki-laki itu mencoba membenahi pakaianku. Aku menepisnya. Air mataku mulai jatuh. Aku benci Dicky. Aku benci!

Dicky berhasil keluar dari mobil. Sebelah alisnya terangkat, menungguku untuk keluar juga. Kuseka air mataku yang jatuh tadi dan keluar dari mobil tetapi aku tidak berniat masuk ke rumah itu lagi. Aku segera mengambil langkah yang berlawanan dengan Dicky dan melangkah pergi dengan hati yang terluka.

"Tolong. Tolong jangan sentuh aku!" aku memeluk diriku sendiri saat kurasakan sentuhan Dicky pada lenganku.

"Fine. Asal kamu masuk."

Aku tidak lagi tahan. Aku telah benar-benar muak dengan Dicky. Kubalikkan tubuhku menghadap Dicky. Aku bahkan tidak bisa percaya bagaimana Dicky masih bisa terlihat tampan seperti itu. Bahkan Dicky tidak terlihat baru selesai mencumbu wanita.

"Memangnya kamu siapa? Jangan pernah sekalipun mencoba mengaturku!" ucapkku marah.

"Aku ngga peduli kamu mau mengatasnamakan mama kamu, papa kamu, nenek kamu, adik kamu, keluarga kamu, siapapun itu! Aku benci kamu! Aku ngga mau lihat kamu lagi! Ngerti kamu?!" teriakku dengan air mata yang jatuh. Selamat tinggal riasanku yang cantik itu. Aku tidak lagi peduli. Aku harus memberitahu Dicky bahwa aku benci dia. Aku tidak lagi mau membiarkan Dicky mengira aku mencintainya lagi. Aku tidak mau sebodoh itu!

"Hanna, jangan cari ribut disini. Ayo kita masuk." Dicky mencoba meraihku tapi aku tidak mau. Aku berjalan mundur sambil menggeleng.

"Aku memang pernah mencintaimu tapi sekarang ... sekarang aku hanya mencintai bayiku. Jadi tolong ... pergi. Aku ngga melarang kamu dengan tunanganmu itu. Kalian boleh bersama asal jangan pernah melukai kami. Kumohon. Aku mohon.... Pergi. Pergi..." gumamku saat kurasakan pelukan Dicky. entahlah. Aku merasa menjadi lemah berada di dekat Dicky. Benci untuk kuakui. Aku benci terlihat lemah dihadapan Dicky. Aku mencoba melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Aku tidak mau Dicky menyentuh perutku dengan tidak sengaja.

Aku tidak mau!

"Hanna. Jaga sikap kamu. Ada banyak orang disini." Bisik Dicky sambil mengelus punggungku. Sial. Jadi Dicky bersikap hangat –berpura-pura hangat- karena ada orang? Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya.

Air mataku mulai memenuhi pelupuk mataku. Kepalaku mulai terasa berat. Wajahku juga kian memanas. Aku mulai lemah mendorong Dicky menjauh. Nyatanya seperti ada perekat diantara kami padahal tidak ada. Menyadari hal itu membuatku semakin sedih. Aku baru ingin meminta Dicky melepaskanku saat aku mulai kehilangan fokus kemudian segalanya menjadi hitam.

Apakah aku pingsan?

***

Semoga puas membacanya... ini udah sepuluh halaman di ms.word. 

Pls give me voments :D

Happy reading! and hv a nice day!

Continue Reading

You'll Also Like

278K 37.5K 16
Young adult contents 18+ Please be wise.
710K 69.6K 49
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
2.8M 301K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
3.3M 26K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...