KALEIDOSCOPIC

By prncch

682K 58.6K 6.7K

Vina tidak pernah menyangka perkataannya tentang laki-laki idaman semasa remaja benar-benar terjadi padanya... More

(1) BERYL
(1A) BERYL
(1B) BERYL
(2) IGNEOUS
(2A) IGNEOUS
(2B) IGNEOUS
(2C) IGNEOUS
(2D) IGNEOUS
(3) IGNORAMUS
(4) OBLIVIOUS
(5) TYRANT
(6) PLETHORA
(6A) PLETHORA
(6B) PLETHORA
(6C) PLETHORA
(6D) PLETHORA
(6E) PLETHORA
(6F) PLETHORA
(6G) PLETHORA
(7) My Big Boss
(8) INCARNATE
(8A) INCARNATE
(8B) INCARNATE
(8C) INCARNATE
(9) DAME
(9A) DAME
(9C) DAME
(9D) DAME
(10)BERYL - 2
(10A) BERYL-2
(10B) BERYL-2
(10C) BERYL-2
(11) DREAMS
(11A) DREAMS
(11B) DREAMS
(12) GADAISA
(13) RAIN
(13A) RAIN
(13B) RAIN
(13C) RAIN
ATTENTION
THANKYOU
(14) HERE,LOVE
(14A) HERE, LOVE
(15) NECESSITY
(15A) NECESSITY
(15B) NECESSITY
(15C) NECESSITY
(15D) NECESSITY
(15E) NECESSITY
(16) DAY DREAM
(16A) DAY DREAM
(16B) DAY DREAM
(16C) DAY DREAM
(16D) DAY DREAM
(16E) DAY DREAM
(16F) DAY DREAM
(16G) DAY DREAM
INFO LAPAK BARU
(17) Fool Again
(17A) Fool Again
(17B) Fool Again
[ASKING SESSION] FOOL AGAIN
[ANSWERING]
(18) My Boss and Me
(19) STARLIGHT
(19B) STARLIGHT
(19C) STARLIGHT
(19D) STARLIGHT
(19E) STARLIGHT
(19F) STARLIGHT
(20) Be With You
(20A) Be With You
(20B) BE WITH YOU
(20C) BE WITH YOU
(20D) BE WITH YOU
(21) IF
(21A) IF
(21B) IF
(21C) IF
(21D) IF

(9B) DAME

6.4K 745 140
By prncch

****

Aku tak pernah menghapus kenangan. Yang ku lakukan hanya berusaha terbiasa tanpamu dan menahan tangis." - unknown

***

"Kamu tahu apa penyesalan terbesar dalam hidupku?" tanya Tito saat itu sambil mengengam erat tangan Tika. Laki-laki tampan itu menunduk, menatap ke dalam mata Tika sambil mengusap wajah istrinya yang semakin lama semakin pucat.

Tika menggeleng. Ia memundurkan sedikit kepalanya sambil melirik pintu kamar inap rumah sakit dengan sorot khawatir sementara itu Tito menyunggingkan senyum tipis. Laki-laki itu mengerakkan kepala Tika agar kembali menatapnya. Posisi keduanya yang sedang berbaring di atas kasur yang sama memang selalu membuat Tika malu dan takut jika kepergok oleh para suster.

"Bahkan setelah sekian lama kita bersama, mengapa kamu masih malu,hm? Aku bahkan sudah mengenali dirimu, setiap jengkal tubuhmu, setiap yang ada dalam dirimu. Jangan pernah malu padaku. Okay?" ucap Tito lembut.

Senyum nan manis dan menggoda Tito tak sadar membuat Tika tersenyum. Ia mengangguk walau tak sepenuhnya mampu menyembunyikan rona merah di wajahnya sementara itu Tito yang selalu terpana akan rona merah itu pun terdiam. Disentuhnya rona merah di wajah Tika kemudian mengecupnya dengan lembut.

"Kamu sangat cantik,Tik. Kamu sangat cantik. Aku selalu mengagumimu, selalu mencintaimu. Akan selalu begitu." Bisik lembut Tito membuat dada Tika menghangat. Tika mengangguk mengiyakan. Dirinya pun menggerakkan tangan mengelus wajah tampan suaminya sambil tersenyum hangat.

"Aku juga mencintaimu,To. Selalu ... dan akan selalu begitu." Balas Tika lembut

Keduanya pun saling bertatapan dalam terang temeram cahaya. Yang satu mengelus wajah yang lainnya. Tatapan yang kian lama kian mendalam itu tak sadar merapatkan tubuh mereka. Kening mereka saling bersentuhan dan pada saat itu Tito mengecup bibir Tika kemudian memeluk Tika.

Kedua mata Tito berkaca-kaca.

"Maaf, maafkan aku tidak mampu menjagamu. Maaf karena kelalaianku mengijinkanmu jalan-jalan bersama kakak malah membawa petaka bagimu. Maaf, maafkan aku,Tik. Aku ..."

Tito tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Dada laki-laki itu naik turun, pertanda jika ia sedang meluapkan rasa dalam dada. Tika menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Ia mengelus punggung sang suami, mencoba menenangkan sang suami sambil bergumam,"Semua baik-baik saja. Jangan sedih,To. Semua akan selalu baik-baik saja."

"Tapi karenaku, kamu ... kamu ..."

"I'm okay,To. Ngga punya anak bukan berarti kita kehilangan kebahagiaan bukan? Bukankah itu kata-katamu minggu lalu? I will always be okay,To. Percayalah. Asal kamu ada di sisiku, semua rasa sakit itu, semua kepedihan itu, lenyap tidak berbekas." Ucap Tika berusaha terdengar menyakinkan dan benar saja. Tito memundurkan tubuhnya agar menatap sang istri. Wajahnya memerah. Ia meremas lembut pundak sang istri sembari mengangguk mengiyakan.

"Aku akan selalu bersamamu,Tik, bahkan hingga maut memisahkan. Aku janji. Aku akan menjagamu, aku akan selalu melindungimu, aku akan selalu mencintaimu, bersamamu dalam setiap keadaan. Aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu." Janji Tito tegas tidak terbantahkan mengukir senyum di sudut bibir Tika. Tak sadar Tika mengangguk sambil meneteskan air mata, merasa keharuan menyelimuti dada.

Jikalau seorang Tito mengatakan hal itu, apa lagi yang perlu Ia takutkan? Kehilangan? Ketidakberdayaan? Penyesalan?

Tak sadar Tika menggeleng. Tidak, tidak. Sebab ia tahu selama itu Tito akan selalu bersamanya. Laki-laki itu telah berjanji dan janji adalah suatu sumpah, suatu hal yang tidak pernah dilanggar Tito sedari dulu. Laki-lakinya adalah laki-laki yang penuh tanggung jawab dan selalu mencintainya. Seperti kata Tito, akan selalu mencintaimu. Begitulah adanya. Tika juga akan selalu mencintai Tito sepanjang umur hidupnya.

*

Dan semua itu hanyalah omong kosong belaka. Janji tak pernah digenapi. Laki-laki itu meleset dari keyakinan Tika selama ini. Tak sadar Tika yang baru sadar dari pingsan itu pun menahan napas. Ia menatap langit-langit kamar dengan kedua mata berkaca-kaca. Bersamaan dengan itu pintu ruang inapnya terbuka. Sosok mama dan bunda memasuki kamar. Buru-buru Tika menyeka air matanya dan menyunggingkan senyum hangat.

"Bunda ... mama ... apa kabar?"

Bunda dan mama memeluk Tika sambil mengumamkan ucapan syukur berkali-kali. Dua wanita paruh baya yang begitu disayangi Tika itu pun mengecup kepala Tika berkali-kali sambil meneteskan air mata.

"Syukur kamu baik-baik saja,sayang. Ayah bahkan hampir jantungan tadi. Kamu harus sehat. Keluargamu, terutama suamimu pasti akan khawatir." Tukas bunda membuat Tika dan mama tak sadar saling menatap.

Tatapan penuh rasa bersalah tercetak di wajah mama sementara itu Tika menyunggingkan senyum tipis pada mama, mencoba menguatkan diri mama. Bunda memang tidak pernah tahu perihal itu. Wanita paruh baya itu mengira jika Tito selalu menjenguk dan merawat Tika dengan baik padahal dirinya telah dimadu bahkan akan menjadi seorang ibu tiri.

"Ya bunda. Tika baik-baik saja kok. Tadi mungkin lagi kambuh. Tika 'kan sudah menjalani pengobatan. Bentar lagi juga sembuh kok bun." Ucap Tika lembut

"Ini entah sudah keberapa kalinya,Tika. Kamu ini... jangan menganggap remeh kesehatan. Kesehatan itu yang paling penting. Mengerti kamu,Tika?!" tukas bunda

Tika mengangguk mengerti sementara itu mama mengelus tangan Tika sedari tadi. Raut wajahnya masih menyiratkan kesedihan mendalam. Ia pun meminta ijin agar turut menjaga Tika. Tika menolak. Bukan karena dirinya tidak mau dijaga oleh keluarga Tito, ia hanya merasa ini tidak perlu. Ia tidak mau merepotkan mama atau pun keluarga Tito lainnya. Cepat atau lambat mereka akan bercerai bukan. Sungguh demi apapun, Tika tidak mau menyusahkan siapapun. Bahkan jikalau ia bisa mati, ia juga sangat ingin mati saat ini.

Lagipula untuk apa dirinya hidup lagi?

"Kamu harus sehat demi aku,Tik. Kamu harus sembuh. Kamu harus bangkit."

Bisikan Tito dulu saat dirinya baru mengalami kecelakaan tiba-tiba melintas, menyayat jantung Tika. Tak sadar Tika mengerjapkan kedua matanya, menahan rasa sakit itu. Ia menarik napas pelan, mencoba terlihat kuat, namun rupanya tindakan itu dimengerti oleh mama. Mama pun semakin menguatkan gengaman tangannya sambil menatap Tika dengan sorot yang masih sama, sorot kesedihan dan penyesalan yang mendalam.

"Besan, maafkan saya tadi menghubungi besan. Saya ngga tahu harus menghubungi siapa lagi. Ayahnya sedang dinas ke luar kota. Maaf jika saya merepotkan anda." Ucap bunda sopan

"Tidak apa-apa. Lagipula Tika sudah saya anggap seperti putri saya sendiri. Saya tidak merasa direpotkan sedikit pun. Saya malah merasa bahagia karena diberi ijin menjaga Tika." Balas mama hangat

Keduanya pun saling bercakap-cakap, meninggalkan Tika tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Ia pun menunduk, menatap jemari tangannya yang terlihat sangat berbeda. Tidak ada lagi cincin di sana. Hal itu pun menumbuk ulu hati Tika, menikamnya dengan keras. Tika pun menghembuskan napas pelan kemudian berbaring, bersiap untuk beristirahat kembali sebelum pintu ruang inapnya terbuka.

Sosok itu kembali muncul. Dengan wajah dingin khas laki-laki itu setelah kecelakaan yang dialami Tika, Tito pun berjalan mendekat. Berbekal buah-buahan yang Tika duga Tito beli di supermarket lantai dasar rumah sakit, Tito pun menyalami mama dan bunda.

"Maaf Tito terlambat." Ucap Tito pada bunda

Bunda mengangguk mengerti kemudian bunda menarik tangan mama agar keluar dari ruangan. Tak sadar Tika menyergit. Bibirnya terbuka, hendak memanggil keduanya. Dirinya tidak mau ditinggal berdua dengan laki-laki ini. Tapi mereka tampak tidak peduli sama sekali. Bunda dan mama pun berlalu pergi, meninggalkan Tika dan Tito berdua dalam ruangan.

Tika pun langsung memejamkan mata, berpura-pura untuk tidur sepeninggal dua wanita yang dikasihinya itu. Dengan sengaja dirinya memiringkan tubuhnya menghadap arah yang berlawanan dari tempat berdiri Tito. Tangan-tangannya saling meremas selimut sambil mengigit bibir bagian dalamnya. Mengapa laki-laki itu datang menjenguknya? Tidak biasanya... laki-laki itu tidak pernah menjenguknya selama ini. Bahkan komunikasi diantara mereka hampir dikatakan tidak ada selama setahun ini. Laki-laki itu terlalu sibuk dengan istri mudanya.

Bayangan Tito tidur di ranjang yang sama dengannya membuat Tika bergedik ngeri. Tak sadar dirinya bangkit dari pembaringannya. Diberanikan dirinya menatap Tito yang rupanya masih menatapnya itu dengan sorot datar. Seketika rasa sakit menumbuknya. Pemikiran tolol apa sih yang baru dipikirkannya? Laki-laki itu mana mungkin mau tidur seranjang lagi dengannya. Penyakitnya terutama keadaannya yang tidak bisa mengandung lagi pasti sudah begitu menjijikkan bagi Tito.

"Aku ngga butuh dokter." Tukas Tika saat Tito bergerak maju, hendak menekan tombol di dekat ranjangnya. Jantungnya berdegup kencang tatkala mencium aroma khas suaminya, aroma parfum dan sabun yang begitu kental, namun entah mengapa kini rasa sakit itu turut mengiringi.

"Aku hanya mau istirahat. Bisa kamu keluar?" tanya Tika datar

"Mereka memintaku menjagamu." Tukas Tito menolak. Tak sadar Tika tersenyum getir. Jadi hanya karena permintaan orang tua mereka? Tolol. Untung saja Tika tidak mengatakan jika dia tidak mau lagi seranjang dengan laki-laki itu. Jikalau tidak, Tika yakin dirinya pasti telah sukses mempermalukan diri sendiri.

"Tapi aku ngga butuh." Balas Tika hampir keluar dari nada datarnya. Ia pun berdeham pelan sambil memaksakan diri agar memasang wajah datar.

"Aku sudah terbiasa sendiri sejak dulu. Keberadaanmu sama sekali tidak membantu. Jadi kamu bisa keluar sekarang. Bukankah ada istri dan anakmu yang menunggu sekarang? Pergi saja. Aku tidak melarang sama sekali." Sambung Tika mencoba terdengar datar

Harga diri Tito terluka. Tak sadar langkahnya mendekat. Raut wajahnya mengeras. Ia menatap Tika dengan marah sementara itu Tika mengengam tiang besi di sekitar ranjang. Jantungnya berdenyut sakit. Ia hendak bersiap-siap melarikan diri jika saja Tito melukainya seperti siang tadi lagi, namun akal sehatnya berteriak keras. Ia harus mampu bersikap kuat di hadapan Tito. Ia harus menunjukkan pada Tito jika dirinya baik-baik saja.

"Apa maksudmu?" tanya Tito tajam. Ia meneliti sekujur tubuh Tika dengan terang-terangan. Hal itu membuat Tika mau tidak mau menahan napasnya. Rasanya Ia ingin menutup tubuhnya dengan selimut saat ini, namun mustahil. Ia tidak boleh kelihatan takut di hadapan Tito.

Laki-laki ini memang suaminya, memang telah melihat bagian terdalam dirinya sekalipun tapi tetap saja semua itu hanya masa lalu. Mereka bahkan sudah tidak pernah bersama selama hampir setahun. Andai saja laki-laki itu masih mencintainya atau mengengam erat kesetiaan mereka, maka Tika tidak akan merasa perasaan asing ini, perasaan ini melindungi tubuhnya sendiri dari tatapan yang menurutnya kurang ajar itu.

"Kamu menyembunyikan keadaanmu itu?" sambung Tito tidak suka

"Apa maksudmu? Aku tidak menyembunyikan apapun darimu. Kamu tahu semuanya. Perihal rahimku yang di angkat sampai kelumpuhan ini. Kamu tahu segalanya." Jawab Tika jujur. Ia mengangkat bahu, mencoba terlihat tenang sementara itu Tito menggeram. Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya.

"Bukan itu tapi penyakit gegar otakmu itu." tukas Tito menggeram

Tika tertegun akan kata itu. Ia sempat terdiam, mencoba berpikir keras. Dari manakah laki-laki itu tahu masalah itu?

"Aku mungkin tidak akan tahu sampai selamanya jika mama tidak memberitahu. Permainan macam apa ini? Untuk apa kamu menyembunyikan semua ini?!" tanya Tito

Kalimat penuh tuduhan negatif itu membuat Tika tak sadar tersenyum lirih. Laki-laki memang selalu melontarkan tuduhannya sebelum berpikir, suatu hal yang telah Tika sadari dengan benar jika telah banyak ada perubahan dalam diri suaminya, termasuk tidak mempercayainya.

"Apakah aku merugikanmu akan penyakitku itu?" tanya Tika lirih. Air matanya hampir jatuh tatkala kedua pasang mata mereka bertemu. Posisinya yang memang sedang duduk di atas kasur pun harus mengangkat kepalanya agar menatap kedua mata Tito. Tika menggelengkan kepalanya sembari mencoba tersenyum.

"Tidak bukan? Mau kamu tahu atau tidak, aku tidak menganggumu akan penyakitku itu bukan? Jadi ... untuk apa kuberitahu penyakit itu padamu? Toh tidak ada untungnya bagi kita berdua." Sambung Tika membuat Tito menggeram.

Tito pun menunduk. Diremasnya pundak Tika, membuat air mata Tika yang sedari tadi bersembunyi di pelupuk mata pun jatuh membasahi pipi.

"Kamu seharusnya memberitahuku sejak dulu. Aku itu suamimu. Suamimu!" ucap Tito menekankan setiap perkataannya.

"Memangnya kamu dengan keputusanmu akan berubah jika kuberitahu hal itu dari dulu?" balas Tika tersenyum getir. Ia sempat melihat raut wajah Tito menggelap. Keterkejutan akan balasan Tika tercetak jelas tadi walau hanya sesaat kemudian berganti dengan rasa amarah.

"Tapi kamu ...."

"Kamu akan tetap menikahi wanita lain demi keturunan bukan?" tanya Tika menyela. Ia menggunakan sebelah tangannya yang bebas dari jarum infus untuk menurunkan tangan Tito di bahunya dengan hati-hati.

"Aku mengerti,To. Aku mengerti akan posisiku. Aku tidak mau memberatkan siapapun dengan keadaanku. Jadi sekarang kumohon, aku butuh istirahat. Aku capek. Tubuhku lelah dan aku tidak mau bertemu denganmu. Sudah kuucapkan selamat tinggal bukan tadi? Seharusnya kita tidak bisa bertemu lagi." Tukas Tika sambil menyeka air matanya. Ia pun kembali berbaring sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga ditahannya dirinya agar tidak terisak walau nyatanya air mata mulai berderai. Tangan-tangannya mendingin tatkala mendengar geraman Tito.

"Pengecut. Pembohong. Penjilat."

Umpatan itu teruntuk Tika, membuat Tika yang sedari tadi menahan isakan tangis itu pun pecah. Dirinya menyeka air mata itu dengan kasar sementara itu dirinya masih mencoba untuk tidur.

"Kamu telat memberitahuku. Dan sekarang aku tahu kamu pasti berharap aku merasa bersalah dan kembali padamu bukan? Kamu menginginkanku berlutut dihadapanmu, memohon-mohon agar memulai hubungan lagi denganmu? Kamu kira aku segila itu?" tukas Tito tajam

Tika mencoba menulikan pendengarannya. Ia mencoba agar tidak membalas. Ia mencoba agar tenang, namun ternyata ketenangan itu mendatangkan amarah bagi Tito. Laki-laki itu menarik Tika agar menghadapnya. Tubuhnya menunduk, hampir menguasai keseluruhan ranjang sementara itu tangan-tangannya meremas bahu Tika.

"Jawab! Jawab aku! Jangan membuatku merasa bersalah seolah-olah aku tidak mengerti kondisimu dulu, seolah-olah akulah yang berkhianat, seolah-olah aku mencintaimu lagi dan lagi!" teriak tertahan Tito

Kedua mata Tika berderai air mata. Wajahnya memerah, Tika yakin itu. Bibirnya bergemetar tatkala kedua mata itu menusuk jantungnya. Kedekatan ini, napas ini, mengingatkan Tika akan romansa yang seharusnya tak boleh dikenangnya lagi.

"Apakah kamu akan melakukan itu? Memohon-mohon, berlutut dihadapanku hanya karena rasa bersalah itu?" tanya Tika dengan suara nada bergetar. Tatapan amarah yang bahkan tidak mereda sama sekali itu menghujam Tika dengan kuat, membuat Tika kesulitan bernapas. Tika mengigit bibirnya, tidak mau terlihat seterluka itu, namun gagal.

Ia menangis di hadapan suaminya sendiri dan itu seharusnya tidak boleh terjadi.

"Tidak bukan? Semua yang kamu katakan ... semua itu mustahil untuk terjadi. Jadi apa gunanya kamu mempermasalahkan masalah penyakit itu? Tenang saja. Aku tidak akan mengugatmu, memintamu membayar biaya rumah sakit ataupun biaya pengobatanku. Aku masih punya cukup uang untuk mengobati diriku sendiri. Aku ...."

Perkataan Tika tertahankan saat merasakan pelukan Tito dan entah mengapa pelukan itu terasa begitu menenangkannya. Ia merasa seolah-olah memang pada dada inilah dia mengadu di tempat yang benar, pada tempat inilah dirinya seharusnya berada. Ia merasa seolah-olah laki-laki ini ingin melindunginya, ingin mengurangi rasa sakitnya, namun nyatanya pintu ruang inap terbuka. Sosok bunda dan mama masuk untuk mengambil barang.

Jadi ini ... jadi inikah alasan Tito memeluknya? Hanya karena kewajiban semata di hadapan kedua orang tua mereka?

"Maaf menganggu. Memang dasar anak muda zaman sekarang." Gumam bunda terkikik sambil melangkah pergi

Ketika pintu telah tertutup, Tito langsung melepaskan pelukan itu. Wajahnya masih setajam tadi, masih semenyakitkan hati Tika tadi dan kini semakin terasa sakit. Oh Tuhan. Mengapa dirinya bisa sampai memikirkan jika Tito lah tempatnya berpulang, jika dirinya merasa kenyamanan?

Sadar,Tik, sadar. Laki-laki itu sudah tidak mencintaimu. Laki-laki itu memelukmu hanya demi sekedar formalitas.

"Aku sudah tidak mencintaimu." Ucap Tito mengirimkan rasa sakit ke sekujur tubuh Tika, menghancurkannya hingga berkeping-keping.

Tika mengerjapkan kedua mata, membiarkan air mata mengalir sementara itu kedua matanya fokus menatap kedua mata itu dan menemukan dirinya tidak lagi berarti di sana, menemukan kebencian yang mendalam.

"Tapi kamu mencintai istri mudamu dan anakmu." Ucap lirih Tika

"Sudah seharusnya bukan? Aku diajarkan mencintai wanita lain yang mampu memberiku anak sementara dirimu ... kemana dirimu selama itu? Menjauh hanya karena penyakit? Setipis itukah kepercayaanmu itu?" tukas Tito marah

Ingin rasanya Tika berteriak, membalas kata demi kata Tito dengan amarah yang membeludak namun Ia tidak mampu. Ia takut jika teriakan mereka terdengar oleh orang tua mereka kemudian Tito akan berpura-pura memeluknya lagi, menjalankan tugas sebagai seorang suami yang sebenarnya tidak diinginkannya lagi.

Tika membiarkan kedua matanya menatap kedua mata itu, mencurahkan isi hatinya dengan air mata mengalir. Bukan penyakit yang membuatku menjauh. Bukan ketidakpercayaan yang membuatku menjauh, namun karena waktu. Aku butuh waktu menenangkan jiwaku namun kamu membutuhkan wanita lain untuk mengisi kekosonganku di atas tempat tidur dan sekarang aku sadar ... dengan jelas sejelas-jelasnya jika memang cepat atau lambat, perpisahanlah yang akan mengakhiri jalan cerita kita.

Kemudian dengan hati yang terasa sesak, Tika membuka bibirnya, mengucapkan kata-kata itu dengan lamban nan menyiksa jantung.

"Kita bercerai saja."

Kedua mata laki-laki itu membulat, entah untuk alasan apa. Tika tidak mau tahu. Sungguh demi apapun. Tika hanya tidak mau berpikir tentang perasaan ini lagi. Ia telah cukup hancur dalam ketidakberdayaannya.

"Karena semua ini memang selalu tentang kepercayaan." Sambung Tika. Ia mencoba menyunggingkan seulas senyum yang dulu menurut Tito selalu menenangkannya. Tangannya terulur, hendak menyentuh lengan Tito, seperti kebiasaannya selama ini, namun tertahankan di udara. Tangan-tangannya bergemetar. Hal itu tidak luput dari pandangan Tika sama sekali.

Tika menelan ludah dengan susah payah sembari mencoba mengontrol tangannya sementara itu Tito mendengus. Ia bangkit berdiri tanpa memutuskan kontak mata di antara mereka sambil berucap,"Terserah. Kalau memang itu mau mu, kita bercerai."

Tika tahu seharusnya ia bersikap tenang, seharusnya ia tidak perlu menunjukkan raut wajah ketidakpercayaannya akan keputusan Tito. Mereka berdua memilih jalan yang sama dan mereka akan lebih bahagia akan jalan ini, namun entah mengapa ia masih tidak mampu untuk menerimanya walau dirinya yang lebih dahulu menawari jalan itu.

Kedua mata Tika meneteskan air mata. Wajahnya yang telah pucat kian memucat lagi sementara wajah Tito bahkan jauh dari kata baik-baik saja. Ia terlihat sangat baik. Hal itu mau tidak mau menyadarkan Tika lagi dan lagi akan posisinya.

Tika pun mengangguk mengiyakan sementara itu Tito langsung berbalik, hendak berjalan keluar dari ruang inap namun Tika menahan langkah Tito ketika itu. Entah karena didorong rasa sakit hatinya atau karena ketidakberdayaannya, Tika memanggil nama itu. Laki-laki itu bahkan tidak mau repot-repot berbalik badan untuk melihatnya.

Tapi itu cukup ... cukup untuk ukuran seorang istri mandul sepertinya. Setidaknya suaminya itu masih mau berhenti melangkah untuk mendengarkannya.

"Jika aku mati nanti, bantu keluargaku menaburkan bunga di atas makamku. Bisakah kamu?" tanya Tika dengan hati yang hancur. Pertanyaan itu melintas begitu saja dan entah mengapa terasa begitu nyata seolah kematian telah berada di depan mata.

Ia memang sudah mati sejak laki-laki itu mengkhianatinya bukan?

"Jangan tanyakan mengapa karena aku membutuhkannya. Aku tak punya alasan untuk menjelaskannya padamu. Tenang saja. Bahkan jika saat itu tiba, kenangan pun enggan 'tuk mengingat." Sambung Tika mencoba tertawa namun tawanya malah terdengar begitu nyaring, perpaduan isakan tangis dan rasa sakit dalam dada.

Beriringan dengan itu Tito melangkah pergi, menghiraukan permintaan Tika baru saja, membuat Tika terisak pelan. Bahkan kematian saja dia tidak lagi peduli. Aku hanya memintanya untuk datang menabur bunga, bukan untuk menangis dan itu saja begitu sulit baginya.

Mungkin laki-laki itu tidak memiliki perasaan lagi atau lebih tepatnya tidak lagi menaruh perasaan apapun pada Tika bahkan perasaan sebagai sekedar teman biasa.

****

updateee..

ayo berikan vomentmu lagi (yang banyaakk ya hahaha)

Oke. Author masih belum tahu atau tepatnya belum memikirkan ini masih butuh LANJUTAN/END karena ini buatnya ngebut(alias kejar waktu dan langsung dipublish haha). semuanya tergantung voment.

Mana suara yang minta ini jadi PART TERAKHIR atau yang mau BERLANJUT lagi?

Voment ya! hehehe

Selamat malam dan selamat membaca..

Continue Reading

You'll Also Like

770K 49.9K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
1.5M 135K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
1M 42.8K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
17M 753K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...