Gadis membanting handphonenya ke arah ranjang tempat tidur dengan kasar karena keluarga Pradipta semakin gencar membombardir handphone miliknya melalui telepon dan pesan-pesan di semua aplikasi sejak kemarin. Tidak peduli itu kakak ipar apalagi mertuanya, semua sama saja. Sampai saat ini ia belum berniat berkomunikasi sama sekali. Ia yakin jika Pradipta juga belum memberitahu tentang masalah rumahtangga mereka karena dari pesan-pesan yang ia baca di handphone miliknya, Papa mertuanya sudah menanyakan kapan ia akan pulang ke Surabaya. Bahkan setiap hari tidak berhenti bertanya kepadanya mengenai kabarnya. Sayangnya daripada berbohong dan berpura-pura bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja, Gadis memilih tidak membalasnya sama sekali. Ia membutuhkan waktu untuk berdamai dengan kenyataan yang ada. Rasanya ia tidak ikhlas jika dirinya harus kembali menekuni pekerjaan sebagai perawat lansia gratisan lagi. Sudah cukup dua tahunan lebih ia melakukan semua ini atas dasar cinta kepada suami dan pengabdiannya kepada keluarga suami.
Aryanti yang melihat kelakuan anak perempuannya ini hanya bisa melipat kedua tangannya di depan dada. Ia sudah tahu semuanya dari suaminya. Dan sudah menjadi keputusan mereka bersama untuk tidak mengijinkan Gadis berkomunikasi apalagi bertemu keluarga Pradipta.
"Rugi kalo hanya kamu banting di tempat tidur. Lebih baik kamu banting di lantai. Setelah itu beli baru dengan uang penjualan saham."
Gadis langsung menoleh ke arah pintu. Ia cukup terkejut melihat sang Mama ada di sana. Ia memang sudah menceritakan kepada keluarganya tentang langkah yang ia ambil untuk menjual tabungan saham yang selama ini ia koleksi bersama Pradipta. Saat uang itu sudah masuk ke rekening RDN-nya, Gadis segera menarik ke rekeningnya yang biasa dan memesan tiket keliling eropa hingga afrika. Tentu saja ia memesan paket yang paling mahal dari semua pamer yang ada. Pokoknya uang itu harus habis ia pergunakan sebelum Pradipta menggugat cerai dirinya. Jangan sampai semua ini jadi harta gono gini.
"Males gonta-ganti handphone, Ma."
"Iya, Mama tahu kamu gimana, tapi uang itu masih sisa 'kan? Lebih baik kamu pakai saja."
Gadis memilih berjalan mendekati sang Mama. Sejujurnya ia cukup bosan berada di rumah terlebih sejak Banyu kembali ke Singapura kemarin. Papanya bahkan memintanya untuk mempelajari apa saja yang akan ia kerjakan di perusahaan milik keluarganya.
"Andai kantor pusat bisnis kita di Jakarta, Ma. Aku pasti enggak bosen begini. Soalnya ada Alena yang bisa diajakin ke mana aja dan kapan aja."
"Kami punya alasan kuat kenapa tidak menaruh kantor pusat di Jakarta."
"Pasti karena UMR di sana lebih tinggi daripada di Solo. Benar 'kan, Ma?"
"Itu hanya salah satunya, Dis. Selain itu Mama dan Papa berharap para karyawan kita tidak harus jauh dari keluarga hanya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Jakarta sudah terlalu padat, sering banjir, macet lagi. Usia Papa sudah sepuh, kalo setiap hari untuk berangkat kerja saja haeus berjibaku dengan kemacetan, itu sangat tidak efisien."
Ya, ya, ya... Gadis lupa jika Mamanya sebenernya tetaplah seorang pebisnis sama seperti Papanya meskipun lebih sering berada di rumah sejak beberapa tahun belakangan ini.
"Kalo kamu mau tinggal sementara di Jakarta enggak masalah. Yang penting nanti kalo sudah mau mulai masuk kerja, kamu balik ke sini."
Seketika senyum merekah di bibir Gadis. Siapa sangka jika Mamanya akan memberikan ijin kepadanya semudah ini. Gadis peluk Mamanya sambil terus mengucapkan terimakasih.
***
Sore ini Gadis sudah berada di lobby bekas kantornya. Sengaja ia langsung menuju ke tempat ini sesuai permintaan kakaknya. Entah apa yang Banyu titipkan di dalam kotak ini untuk Gavriel dan Alena. Rasanya ingin Gadis membukanya lebih dahulu namun ia tahu jika sampai ia melakukan itu, sama saja ia menjadi orang yang tidak bisa dipercaya.
Hampir setengah jam menunggu di lobby namun Alena dan Gavriel tidak kunjung turun juga. Mau tidak mau Gadis langsung menghubungi Alena dan kenyataannya ia diabaikan. Agar tidak terlalu sepi, Gadis mencari-cari hotel yang bisa ia tempati selama berada di Jakarta karena apartemen miliknya masih disewa.
Saat sebuah pesan masuk ke handphone miliknya, Gadis segera mengakhiri sesi pemilihan hotelnya dan melihat siapa yang mengiriminya pesan. Ia menghela napas panjang kala mengetahui jika itu datang dari Alena.
Alena : lo beneran nunggu di lobby bawah?
Gadis : iya. Buruan lo sama Gavriel ke sini.
Alena : bentar, gue baru aja ke luar dari rapat.
Setelah membalas pesan Gadis ini, Alena segera berkemas. Selesai berkemas, dirinya mencoba memencet line telepon yang menyambung ke ruangan Gavriel. Sayangnya telepon darinya justru tidak diangkat. Memang sejak beberapa hari ini Gavriel sering pulang tepat waktu. Penasaran kenapa Gavriel tidak mengangkatnya, Alena memilih menghubungi nomer telepon Gavriel.
"Lo di mana?" Tanya Alena tanpa basa-basi.
"Lagi on the way ke rumah keluarganya Elang. Memangnya kenapa?"
"Si Gadis nyariin kita di kantor. Ya udah deh, gue bilang nanti ke dia kalo lo sudah pulang duluan."
"Okay."
"Gitu doang?" Pekik Alena dengan nada penuh keheranan yang sangat tersirat jelas pada suaranya.
"Maksudnya?"
"Lo enggak titip salam atau mungkin apa gitu buat dia yang udah rela nyamperin kita jauh-jauh ke Jakarta?"
"Terserah lo aja deh, Len."
Baru juga Alena akan protes dengan jawaban Gavriel, namun ternyata Gavriel sudah menutup telepon itu terlebih dahulu. Kini sambil melihat layar handphone miliknya, Alena hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia tidak paham dengan sikap Gavriel ini. Minggu lalu saja ia sudah seperti seorang laki-laki yang kesetanan setelah pacarnya dalam keadaan bahaya, tapi sekarang, cueknya minta ampun seakan apa yang mereka lakukan di Bontang untuk membantu Gadis tidak pernah terjadi.
Dengan masih menyimpan rasa penuh keheranan, akhirnya Alena mulai berjalan menuju ke arah lift. Sumpah, ia penasaran kenapa Gadis sampai datang ke Jakarta. Karena seharusnya ia berada di Bontang atau minimal berada di Solo untuk menyelesaikan masalahnya dengan Pradipta.
Saat pintu lift terbuka di lantai dasar, Alena langsung berjalan menuju ke arah sofa tempat Gadis menunggunya. Layaknya teman yang lama tidak bertemu, Alena dan Gadis saling berpelukan dan memberikan kecupan singkat di pipi kanan kiri.
"Gimana keadaan lo, Dis?" Tanya Alena begitu Gadis mengurai pekukannya.
"Alhamdulillah, jauh lebih baik daripada saat masih tinggal di Surabaya."
Seketika Alena tertawa cekikikan mendengar hal itu. Baru setelah tawanya reda, Alena mencoba bertanya tujuan Gadis datang ke kantor untuk menyambangi dirinya dan Gavriel.
"Gue ke sini karena Mas Banyu titip sesuatu buat kalian berdua?"
"Titip apa? Kalo bukan perhiasan atau uang gue skip deh."
Gadis mengangkat kedua bahunya pelan karena ia sendiri tidak tahu apa isinya. Ia ulurkan sebuah kotak untuk Alena yang diterima Alena dengan penuh keheranan.
"Isinya apaan ya, Dis?" Tanya Alena sambil mengangkat kotak itu dan menggoyang-goyangkannya.
"Enggak tahu gue. Lo buka sendiri aja. By the way si Gavriel mana?"
"Dia sudah pulang duluan. Dia enggak ikut meeting soalnya sore ini."
Meskipun ada rasa kecewa karena orang yang ia tunggu justru pergi begitu saja, tapi Gadis memilih tersenyum. Toh salahnya juga kenapa tidak menghubungi Gavriel terlebih dahulu dan memintanya bertemu di lobby. Hanya ada satu alasan yang bisa dijadikan alasan kuat ia sampai seperti ini, yaitu gengsi.
Tentu saja Gadis gengsi jika harus meminta kepada Gavriel bertemu lebih dahulu meksipun ia hanya ingin memberikan titipan Banyu.
"Oh, ya sudah kalo begitu. Besok aja gue kasih titipan Mas Banyu ke dia."
"Kenapa enggak titip ke gue aja?"
Gadis memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia tidak mungkin melakukan itu semua jika Banyu sudah mengeluarkan titahnya.
"Lo enggak tahu gimana kakak gue. Kalo gue sampai enggak amanah, bisa dipecat gue jadi adiknya."
Alena tertawa mendengar perkataan Gadis ini.
"Dia di Singapura, enggak akan tahu kali, Dis."
"Udah enggak usah dibahas. Sekarang lo balik, anterin gue ke hotel dulu," Kata Gadis sambil mulai menggeret tangan Alena untuk berjalan kembali menuju ke arah lift.
Sambil berjalan, Alena beetanya kepada Gadis tentang tujuannya datang ke Jakarta yang hanya dijawab Gadis dengan jawaban santai tapi tak berbobot sama sekali.
"Gue ke Jakarta karena kangen sama lo."
"Gue atau Gavriel?" Alena coba memastikan kembali. Ia penasaran dengan jawaban Gadis.
"Lo," Jawab Gadis pelan sambil memencet tombol lift.
"Gengsi lo tinggi amat sih jadi perempuan," Keluh Alena di dalam hati namun yang keluar dari bibir seksinya adalah, "Iyain aja deh biar lo puas."
Buugg....
Alena mengaduh kala Gadis menepuk punggungnya dengan cukup keras. Ia tahu bahwa temannya ini mungkin buta dengan perasaan Gavriel kepadanya sejak dulu, tetapi dengan rumah tangga Gadis yang sudah porak poranda dan kemungkinan besar juga tidak bisa terselamatkan lagi, keinginan untuk membuka mata Gadis selebar-lebarnya agar ia bisa melihat perasaan Gavriel begitu kuat ada di dalam diri Alena. Ia ingin Gadis bahagia bersama orang yang bisa melindungi dan memprioritaskan dirinya. Sudah cukup sekali Gadis salah memilih pasangan hingga hidupnya berantakan. Alena tidak akan merelakan Gadis melalui semua ini lagi. Dan itu semua dimulai dari menyadarkan Gadis jika masih ada laki-laki yang mencintainya dan menganggapnya begitu berharga tidak seperti Pradipta.
***