Anstia tersenyum, menatap orang yang waktu itu membuatnya salah tingkah tapi sekarang semua terasa hambar.
"Selamat Pagi, Yang Mulia." Pangeran Haindre memberikan salam pada Anstia yang tersenyum.
"Duduklah," Anstia duduk begitu juga dengan Pangeran Haindre yang tampak rapi. "Sebelumnya terima kasih karena ikut turun ke medan perang secara langsung."
Pangeran Haindre tersenyum. "Aku harus membela negaraku. Para penyihir itu sudah melakukan banyak hal pada negara kita."
"Beberapa daerah terkena dampak besar itu," ada beberapa daerah yang kehilangan sumber daya mereka, para penyihir hitam sengaja melakukan itu untuk melumpuhkan beberapa daerah. "Aku rasa Pangeran bisa menangani semua dengan baik."
"Aku merasa terhormat." Pangeran Haindre tersenyum.
Anstia tersenyum, dia memakan kuenya yang terasa manis. Ini seperti kesukaanya.
"Kalau Yang Mulia tidak keberatan," Anstia menatap Pangeran Haindre yang tampak agak cemas. "Saya.. Menyimpan perasaan untuk Tuan Putri selama ini."
Anstia tau ini akan datang, tapi dia tidak bisa memaksa perasaanya atau berpura-pura memiliki perasan yang sama.
"Dulu aku bertemu orang ini, aku kira hanya ketidaksengajaan, tapi itu karena takdir. Mungkin itu hanya cinta masa kecil, tapi.. Dia selalu disini tanpa sadar." Anstia menyentuh dadanya. "Aku mungkin tidak akan bertemu lagi dengannya. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, maaf."
Pangeran Haindre tersenyum. "Aku mengerti. Perasaan manusia adalah hal yang sulit dimengerti, namun semua ada porsinya masing-masing. Terimakasih karena mau mendengar isi hatiku."
Anstia menggeleng. "Dulu aku mungkin merasakan rasa tertarik tapi semakin lama aku sadar itu hanya kagum, bukan cinta. Rasanya aku akan jadi orang paling kejam jika mempermainkan hati seseorang."
"Bohong jika aku tidak terluka. Tapi," Anstia menatap Haindre yang tersenyum kecil. "Setidaknya walau sebatas kagum, perhatian Tuan Putri sempat tertuju padaku. Itu sudah cukup."
"Kau akan menemukan orang yang mencintaimu, sama seperti kau mencintai orang itu nantinya." Anstia mengangguk.
"Tentu. Jika aku bertemu dengannya akan aku kenalkan pada Tuan Putri."
Anstia terkekeh.
***
"Itu ide yang bagus." Astevia mengangguk.
"Aku setuju." Phil menambahi.
"Apapun yang Anstia lakukan aku akan setuju, asalkan baik." Brandon yang duduk di samping Anstia menetap adiknya yang terkekeh. "Jadi? Kau benar-benar akan melakukannya?"
"Kenapa tidak? Aku jadi Putri pertama yang turun ke medan perang, kenapa tidak sekalian aku lawan semua yang selama ini salah tapi di normalkan?" Anstia meraih selembar kertas.
"Tapi dari mana kau bisa mengenal Mermaid itu?" Sylvester menatap Anstia yang tersenyum.
Kaisar, Pangeran Kedua, Pangeran Ketiga, Pangeran kelima dan Putri Bungsu Ambertia ada di ruangan Ayah mereka. Membicarakan hal gila yang beberapa hari ini dikatakan oleh Anstia.
Anstia ingin menyatukan daratan dan lautan yang saling selisih paham. Dia ingin agar baik di laut maupun di darat Mermaid tidak akan di tindas lagi, para Mermaid pun bebas untuk datang.
"Aku pernah berpikir tentang ini, tapi aku tidak dapat merealisasikannya. Terlalu sulit." Brandon menatap beberapa berita surat kabar tentang Mermaid. "Mereka kesulitan tapi kita tidak bisa membantu banyak."
"Temanku Mermaid, itu akan membantu." Anstia tersenyum.
"Jadi kau benar berkeliaran di luar sana sejak tau memiliki sihir?" Phil melipat kedua tangannya di depan dada menatap Anstia yang mengangguk.
Anstia mengangguk. "Ya. Aku bosan, jadi aku berjalan-jalan, aku tidak sengaja bertemu mereka. Ah, aku waktu itu sempat bertemu dengan Kak Jalvier tapi karena sihir dia tidak mengenalku."
"Isi kepalamu memang gila." Brandon menepuk puncak kepala Anstia.
"Katakan jika perlu bantuan." Astevia mengatakan itu sebelum berjalan keluar dari ruangannya karena harus menghadiri rapat.
Phil menatap Ayah mereka cukup lama hingga pintu tertutup. "Ayah, agak lebih lembut sekarang."
"Lebih menunjukkan emosinya juga." Brandon menambahi. Keadaanya sudah membaik, bahkan dia sudah sangat sehat tapi masih di larang untuk melakukan pekerjaan berat. "Banyak yang berubah setelah perang."
"Aku dengar kau akan pergi." Anstia menatap Phil yang mengangkat bahu. "Kasilva juga."
"Ya, dia aka ikut sampai kota yang dia mau." Phil memutuskan untuk pergi, ia ingin lebih santai dan belajar menikmati hidupnya. "Mungkin aku akan pergi lama."
"Lalu posisi penyihir Istana akan di atur siapa?" Anstia ingat jika Phil adalah yang memegang bagian keamanan Istana dalam hal penyihir. Kalau Phil pergi siapa yang akan menjaga?
"Ada kau."
"Eh?"
Phil tersenyum. "Kau bisa melakukan hal yang bahkan tidak terduga. Lagipula aku tau kau bisa sihir dengan sangat baik. Kau bilang tidak ingin menikah bukan? Lakukanlah agar memiliki kesibukan. Penyihir tidak seburuk itu."
Anstia terdiam sebentar, dia melirik Brandon yang mengangguk sebelum menatap Phil. "Ya, akan aku lakukan." Anstia mengangguk. "Tapi aku boleh tambahkan orang tidak?"
"Kau mau tambahkan siapa?" Brandon menaikkan sebelah alisnya. "Ah, aku teringat temanmu itu."
"Kenapa tiba-tiba?" Anstia mengerutkan kening. "Ah, banar. Pergilah Kak, dia menyukaimu."
"Wow, itu terlalu banyak." Phil terkekeh.
Brandon ikut terkekeh. "Aku tau, bahkan itu sangat kentara aku hanya tidak mau memberikan harapan saja."
"Kalian berdua cocok." Anstia terkekeh. "Kalian sama-sama lembut, tapi memiliki sisi keras. Kalian akan saling melengkapi, aku yakin."
"Baiklah, aku akan percaya. Karena kau adikku sekaligus temannya." Brandon tekekeh.
"Hei, lanjutkan dulu. Siapa yang akan kau masukkan?" Phil tampak penasaran dengan siapa yang Anstia maksud.
Anstia meraih sebuah gambar, meletakkan di atas meja. "Dia adalah penyihir yang meramu ramuan yang bisa membuat para Mermaid tetap di darat. Dia berbakat hanya tidak banyak yang tau."
"Aku pernah melihatnya," Phil menatap gambar tersebut. "Dia adalah salah satu kandidat calon penyihir Istana dulu, tapi dia mengundurkan diri."
Anstia mengerutkan kening. "Mengundurkan diri?"
"Aku tidak tau alasan pastinya tapi banyak rumor mengatakan kalau dia menolong seorang Mermaid." Phil tampak berpikir. "Dia memang berbakat, dia jadi salah satu calon yang paling paling kuat, tapi dia mengundurkan diri setelah hasil pengumuman diumumkan."
"Aku yakin dia akan membantu," Anstia tersenyum. "Kali ini dia akan bersama-sama dengan temannya, dia tidak akan mengundurkan diri lagi."
Phil tersenyum. "Buatlah perubahan baik. Utamakan rakyat, itu tugas kita."
Anstia mengangguk. "Ah, aku senang karena Ayah setuju dengan ide ini."
"Ayah sudah memikirkan hal ini juga," Brandon bersuara. "Hanya ya, tidak semua mudah. Apalagi kejadian kemarin membuat banyak hal harus di atur ulang."
"Kak Hilberth bekerja sangat keras." Anstia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Setelah perang berakhir Pangeran Mahkota menjadi semakin sibuk dia membantu dalam menangani masalah internal, dan itu cukup banyak hingga membuat Pangeran itu sangat Sibuk.
Pangeran Jalvier dan Pangeran Sylvester juga ambil bagian. Pangeran Phil juga, Anstia dan Brandon juga. Mereka semua melakukan tugas mereka, namun sebagai calon Kaisar di masa yang akan datang Haindre bekerja agak lebih keras dari lainnya.
"Ini akhir yang bahagia." Anstia tersenyum. "Semua baik-baik saja."
. . .
Guysss aku kembali!
Aku sibuk pake banget, jadi baru sempat untuk update.
Karena udah mau ending juga, palingan part-part akhir isinya bahagia-bahagia aja.
Masa sedih-sedih terus kan ya?
Selamat menunggu epilog (・´з'・)