Keadaan Brandon tidak kunjung membaik, pendarahan memang berhenti tapi tampaknya luka itu seperti tidak kunjung sembuh.
Bahkan di lokasi mereka sekarang masih terkena dampak anti sihir yang semakin menyebar.
"Baiklah."
Jalvier mengangguk. Dia akan membawa Brandon kembali ke Istana untuk di obati. Mungkin akan memakan waktu cukup lama.
"Gerkan akan membantu." Anstia menatap Jalvier. "Tidak ada waktu lagi."
Mengangguk Jalvier di bantu Sylvester mengikat Brandon di panggung Pangeran keempat itu.
"Gerkan." Anstia berlari menuju Gerkan yang masih dalam keadaan naga. Dia sudah membicarakan ini dengan naga itu, dan naga itu setuju. "Katakan pada Pangeran Phil untuk datang besok."
"Baiklah."
Gerkan menurunkan kepalanya agar Pangeran Jalvier bisa naik ke atasnya. Saat pertama kali tau jika Anstia sebenarnya memiliki sihir dan bahkan memiliki dua siluman yang membuat kontrak dengan adik mereka tentu saja kaget adalah respons pertama mereka. Pantas saja rubah yang selalu bersama Anstia tidak mau dipegang orang lain.
Anstia menatap Gerkan yang membawa kedua saudaranya pergi. Dia tidak menyangka jika pihak sana akan membuat tindakan besar seperti ini.
Ada sebuah sihir, tepatnya sebuah mantra untuk membuat sebuah tempat tidak ada sihir. Mematikam semua sihir yang ada, dia membaca itu di buku ungu yang ia pinjam dari perpustakaan. Ah, dia lupa. Harusnya dia mengembalikan buku itu sejak lama, tapi dia malah membawa buku itu ke medan perang.
"Kau perlu istirahat." Sylvester menepuk bahu Anstia. "Tenanglah."
Ini membuat Anstia frustrasi, dia harus cepat mengakhiri semua ini. Kalau tidak akan lebih banyak korban, jika korbannya adalah orang yang ia sayangi, dia tidak akan memaafkan dirinya.
Mengangguk, Anstia masuk ke dalam tendanya bersama Rusta yang mengikuti gadis itu.
"Semua akan baik-baik saja." Rusta menatap Anstia yang duduk di depan meja. "Gerkan akan membawa saudaramu secepatnya, dia akan baik-baik saja."
"Rusta," Rubah itu menatap Tuannya dengan tatapan bertanya. "Kalau aku mati kau akan mati juga, kan?"
"Ya. Itu sesuai dengan perjanjian kita." Rusta duduk di hadapan Anstia. Tangan Rubah itu meletakkan pedang yang sejak tadi dia pegang di atas meja. "Kau tidak akan mati, tenang saja."
Anstia tersenyum. "Maaf."
Rusta mengerutkan kening, menatap Anstia kebingungan. "Kau tidak waras atau kenapa? Jangan karena ini di medan perang aku tidak berani memarahimu."
Anstia terkekeh. "Terimakasih."
Rusta berdecak.
***
Keadaan Pangeran kelima sekarat.
Penanganan di Istana tidak langsung bisa menyembuhkan Pangeran bungsu itu. Lukanya sudah terlalu parah.
Pangeran Mahkota menghela nafas. Rasanya menyebalkan, dia hanya bisa diam melihat tanpa bisa berbuat apa-apa, bahkan adiknya sendiri sudah menjadi korbannya.
"Aku harus pergi!" Hilberth tidak tahan lagi. "Aku akan pergi!"
"Dinginkan kepalamu, Pangeran Mahkota." Pangeran kedua yang duduk di seberang bersuara. "Jangan gegabah."
Hilberth menghela nafas kasar. "Kau lihat sendiri keadaan Brandon, apa kau akan tetap diam?"
Phil meminum tehnya, tentu saja dia memikirkan hal itu. Dia kelihatan tenang tapi pikirannya tidak. "Kau harus tetap ada di Istana."
Hilberth memukul meja. "Kalau yang lain bernasib sama bagaimana?"
Phil meletakkan gelas tehnya di atas meja, dia menatap Pangeran Phil dengan tatapan datar. "Kalau kau mati, apa jadinya nanti? Kau yang bergelar Pangeran Mahkota di sini."
"Kau yang adalah anak Ratu, aku bukan! Kau yang harusnya berada di posisi ini!" Hilberth menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Adiknya melawan di medan perang dan dia hanya diam di Istana hidup dengan santai saat saudaranya yang lain bertaruh nyawa di garis depan.
"Raja memberikan gelar itu padamu bukan sembarangan, jangan buat Raja kecewa hanya karena tindakan gegabah." Phil menumpu satu kakinya di agas kaki lain. "Aku yang akan pergi."
"Apa?"
Ruangan yang bercahaya redup itu sedikit berangin karena jendela yang terbuka. Pangeran Phil mengangguk.
"Tetap disini bersama Raja, aku yang akan pergi." Phil menatap Pangeran Hilberth yang agak tidak percaya. "Aku juga punya tanggung jawab. Tanggung jawabmu adalah tetap berada di Istana untuk mengatur semua."
"Kau pengatur sihir disini, kalau kau tidak ada Istana ini tidak akan aman." Hilberth menatap Phil yang tersenyum.
"Jangan khawatir," Phil mengeluarkan sebuah benda dari saku pakaiannya. "Ini adalah denah penjagaan sihir di Istana."
Sebuah cahaya yang membentuk seluk beluk Istana muncul dari batu mulia yang di keluarkan Phil.
"Jika terjadi sesuatu akan langsung ada tandanya, akan ada tanda merah. Itu artinya sesuatu yang tidak di izinkan masuk telah memasuki Istana." Phil mengeluarkan sebuah amplop. "Penyihir kerajaan mungkin tunduk pada Raja dan kau--pangeran Mahkota--tapi jika sesuatu terjadi dan kau harus turun untuk menanganinya gunakan ini. Ini surat yang menyatakan aku telah memberikan kuasa padamu untuk bertindak jika terjadi sesuatu."
Phil mendorong batu permata dan amplop tersebut ke Pangeran Hilberth. "Jaga Ayah."
Pangeran Hilberth menghela nafas. "Kenapa kau mau pergi?"
Phil menarik ujung bibirnya. "Aku punya janji."
Phil berdiri dia menepuk bahu Pangeran Hilberth. "Kau adalah tombak terakhir negeri ini, kau harus tetap ada." Phil berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Mata Phil melirik Gerkan yang berdiri di samping pintu. Naga itu sejak tadi berada di sana.
"Aku pergi."
Gerkan mengangguk, dia menatap Pangeran Kedua. "Besok pagi kita akan pergi."
Phil mengangguk. "Kau benar-benar patuh pada tuanmu." Phil berjalan menjauh.
Mengangkat bahu, Gerkan berjalan mengikuti Phil. "Kalian benar-benar mirip."
Pangeran kedua itu mendengkus. "Omong kosong apa yang kau bicarakan?"
"Kalian berdua suka menyembunyikan luka kalian."
Langkah Phil berhenti dipertengahan tangga, dia menatap Gerkan yang berjalan melewatinya. "Jangan samakan aku dengan anak itu."
"Kalian memiliki ibu yang sama. Kalian saudara kandung." Gerkan berhenti di lantai dasar setelah menuruni semua anak tangga. "Yang ada di dalam darahmu sama dengan dia."
Phil mendengus. "Itu lah kenapa aku membencinya."
"Karena kematian Ratu?"
Sorot mata Phil berubah tajam. "Tutup mulutmu."
"Ratu meninggal karena sakit setelah melahirkan Putri, bukan karena Putri." Gerkan menatap Phil yang tampak mengeraskan rahangnya. "Dia tidak salah apa-apa kenapa kau melimpahkan kesalahan itu?"
"DIAM!"
Sebuah belati melukai sedikit kulit leher Gerkan hingga mengeluarkan darah, Pangeran Phil memang terkenal dengan sihirnya. Bahkan dengan cepat bisa mengendalikan belati yang menyayat kulit Gerkan.
Gerkan memegang belati itu, melempar benda tajam itu kesembarang tempat. "Kau pasti sudah curiga dengan Kasilva."
Phil mengerutkan kening. "Apa yang kau katakan?"
"Kasilva adalah salah satu orang jahat itu, dia hanya ingin memperhatikan Putri dan memperdaya Raja agar mengikuti kata-katanya," Gerkan mengusap darah yang mengalir dari luka akibat belati itu. "Kau kira kenapa seorang Putri bisa turun ke medan perang?"
"Maksudmu Raja di manipulasi?" Gerkan mengangguk. "Tapi Raja memiliki penjaga yang kuat bagaimana bisa?"
"Cinta itu seperti kartu, memiliki dua sisi. Disatu sisi bisa membawa hal baik tapi disisi laim bisa membawa petaka." Gerkan menatap Phil. "Raja terlalu menyayangi Putri itu sebabnya dengan sedikit sihir Raja bisa dimanipulasi."
Phil menatap ke tempat lain. "Apa yang kau coba katakan sebenarnya."
"Aku mungkin jarang berada di sisi Putri, tapi aku tau apa yang dia pikirkan." Gerkan menghela nafas pelan. "Aku tau apa yang dia katakan padamu saat itu."
Phil diam.
"Tidurlah yang nyenyak, besok kita harus pergi cepat." Gerkan berbalik, berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.
. . .
Mungkin mulai sekarang nggak bakal update sesuai jadwal, kenapa? Aku sibuk. Tapi bakal aku sempatkan kalau memang bisa.
Aku minta pengertiannya aja, soalnya aku sibuk pake banget. Tapi kalau sempat bakal update.
Itu aja, selamat menunggu.