Hanya diam, Anstia memakan sarapannya dengan tenang. Suasana meja makan pagi itu tampak hening.
Raja Astevia tampak seperti tidak napsu makan, bahkan beberapa kali seperti terdiam.
Rusta yang melanjutkan semua pertanyaan, dan dari pertanyaan-pertanyaan itu semua yang terjadi semakin jelas.
Satu hal yang Anstia lupa tanyakan, yaitu bagaimana bisa semua orang percaya jika Kasilva palsu.
Dengan sihir, itu kata Rusta. Sejak awal Kasilva memanipulasi dengan sihir pemikat tapi sesungguhnya Kasilva tidak begitu bisa bertahan di Istana. Oleh karena itu dia mengambil daya hidup Raja. Itulah alasan mengapa Raja selalu terlihat lemas dan seperti mayat hidup.
Anstia ingin sekali mendekat dan memeluk Ayahnya, tapi Ayahnya bahkan tidak pernah mau melihatnya sekarang.
Sarapan itu selesai dengan Kasilva yang mengikuti Anstia menuju danau, cuaca mulai terik namun air danau tetap dingin dan tenang.
"Danau ini selalu saja indah." Kasilva tersenyum, gadis itu memainkan air danau sedangkan Anstia hanya diam menatap danau yang berkilau karena cahaya matahari. "Tuan Putri kenapa? Sejak pagi terus diam."
Anstia tersenyum. "Tidak. Aku hanya merasa rindu saja."
Kasilva yang berjongkok di tepi danau berdiri mendekat pada Anstia yang berdiri tidak jauh. "Rindu? Pada siapa?"
"Ayah."
Kasilva tampak terdiam. "Yang Mulia tampak seperti sedang sakit akhir-akhir ini, bahkan Pangeran Hilberth yang mengambil alih beberapa pekerjaan Yang Mulia."
Pangeran Mahkota, Hilberth, akhir-akhir ini memang jarang terlihat. Raja yang tampak tidak sehat membuat Pangeran itu akhirnya mengambil alih semua pekerjaan Raja, tentu di bantu oleh Pangeran-pangeran lain.
Jika Anstia masih Anstia yang tidak tau apa-apa mungkin dia akan sedikit percaya atau mengiyakan kata-kata Kasilva dengan mudah. Tapi dia tau semua, kata-kata Kasilva lebih mirip sebuah suara yang berulang kali dia dengar sampai rasanya ia muak.
Tersenyum, Anstia mengangguk. Dia akan mengikuti alur saja. "Mungkin aku akan mengunjungi Ayah nanti."
Kasilva mengangguk. "Aku akan menemani, Tuan Putri."
"Maaf, tapi aku ingin bicara berdua dengan Ayah." Anstia menunduk. Dia sedikit merindukan Ayahnya yang dulu meskipun dia mungkin tidak kelihatan begitu dekat dengan Ayahnya apalagi setelah kejadian itu tapi dia masih ingin Ayahnya peduli padanya. Dulu walaupun diantara mereka seperti ada jarak, Ayahnya masih peduli padanya. Kadang memberikan perhiasan, pakaian atau buku-buku yang sedang Anstia sukai. Tapi setelah kedatangan Kasilva dia diabaiakan dan seakan menjadi orang asing. Tempatnya di rebut.
"Baiklah. Aku mengerti." Kasilva tersenyum. "Aku akan selalu mendukung Tuan Putri."
Anstia mengangguk. "Terimakasih."
Ramuan itu benar-benar yang terbaik, bahkan Kasilva tidak mengingat apapun saat gadis itu bangun. Seakan benar-benar tidur.
Suatu keuntungan juga. Anstia tidak perlu repot-repot menambah musuh.
***
Kamar itu masih sama seperti terakhir dia datangi, bahkan perabotan dan letak barang-barang yang ada masih saja sama.
Entah sudah berapa lama dia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini.
Rusta mengikuti Anstia masuk, rubah kecil itu berhenti di samping Anstia yang berhenti melangkah saat matanya melihat sosok Ayahnya yang sudah lama tidak dia lihat sedekat ini dan hanya berdua. Tidak seperti biasanya yang selalu ada orang lain.
"Ayah."
Laki-laki bermata ungu permata itu melirik, dia sudah tau jika Anstia lah yang datang tapi hanya diam.
Berjalan mendekat, Anstia berdiri di samping ranjang Astevia. Ayahnya kelihatan seperti tidak tidur dalam waktu yang lama, bahkan baru dia sadari jika Ayahnya kelihatan lebih kurus dari sebelumnya. Mata yang biasa datar itu kelihatan tidak ada daya hidup.
"Ayah."
Astevia menatap mata yang sama persis dengan miliknya itu. Gadis dengan rambut emas yang belakangan ini jarang terlihat di matanya. Paling hanya sekilas dan tidak ada kata yang keluar jikalaupun bertemu.
"Ada apa?"
"Ayah, baik-baik saja?" Anstia tidak tau mau memulai darimana, tapi itu kata yang keluar dari mulutnya. Melihat keadaan Ayahnya yang seperti sekarat. Dadanya terasa berdenyut.
Astevia mengangguk, dia menepuk ruang kosong di tepi ranjang membuat Anstia duduk disana.
"Kau perlu sesuatu?" Astevia melirik, matanya lalu jatuh pada seekor rubah yang ikut naik ke atas kasur. "Aku seperti mengenalmu." Astevia yang bersandar pada kepala ranjang menyentuh bulu rubah emas itu.
"Ayah, lihat aku." Astevia menatap Anstia yang tersenyum, tapi mata gadis itu kelihatan sedih. "Aku janji, aku akan membuat Ayah sehat."
Astevia tersenyum. "Ayah baik-baik saja, hanya kelekahan."
Tidak. Itu buka kelelahan. Air mata Anstia yang sejak tadi ia tahan jatuh. Keadaan Raja benar-benar mirip manusia tanpa daya hidup. Membuat Anstia terasa di cabik-cabik karena sadar jika dia adalah alasan kenapa Ayahnya sampai seperti ini.
"Kenapa menangis?" Astevia mengusap pipi Anstia. Gadis itu memegang tangan Ayahnya erat. "Kau dijahili oleh saudaramu lagi?"
Anstia menggeleng. "Aku, aku hanya rindu Ayah."
Astevia tersenyum. "Kenapa kau tidak datang? Ayah disini."
"Ayah seakan tidak menginginkan aku. Aku takut untuk datang." Anstia menunduk.
Asteria tersenyum. "Kemari."
Anstia memeluk erat, membiarkan air matanya mengalir. Biarkan saja Rusta melihat dan nanti akan mengejeknya kalau dia menangis seperti anak berumur lima tahun. Dia hanya sangat merindukan Ayahnya.
Usapan di kepalanya membuat Anstia membuat Anstia semakin mengeluarkan semuanya.
Astevia tersenyum kecil saat Anstia melepaskan pelukan mereka dan gadis itu sibuk menghapus bekas air mata di pipi gadis itu.
"Kau sudah sangat besar. Rasanya sudah sangat lama Ayah tidak melihatmu."
Anstia mengangguk. "Aku sudah hampir enam belas tahun."
Astevia tersenyum, dia mengusap rambut Anstia. "Kau tidak perlu turun ke medan perang."
"Tidak. Aku akan pergi."
Astevia tampak kaget, tidak menyangka jawaban itu yang akan diberikan. Dia sudah membicarakan ini sejak lama dengan Pangeran Mahkota dan Pangeran Phil, tapi tidak menyangka Anstia malah akan setuju. Sebenarnya dia juga tidak mengerti bagaimana caranya dia bisa sampai mengatakan jika akan mengirim Anstia ke medan perang. Jelas-jelas itu hal yang sangat salah.
"Aku akan pergi." Anstia mengangguk. "Ayah tunggulah disini, aku akan kembali."
Astevia menggeleng. "Ayah juga akan ikut."
"Jangan." Anstia menggeleng. "Ayah tetaplah di Istana bersama Pangeran Hilberth. Percayakan pada kami."
"Tidak bisa--"
"Aku bisa sihir."
Pupil mata Astevia membesar. "Apa?
"Aku berbohong, aku bisa sihir. Aku bahkan punya perjanjian dengan roh, tidak mereka adalah siluman. Mereka adalah teman dari Phoenix yang Ayah miliki."
Astevia menatap Anstia. "Kau? Bagaimana bisa?"
"Tentu bisa."
Rusta melompat turun dari ranjang, perlahan berubah, rubah emas itu menjadi menjadi manusia dengan telinga dan ekor.
"Kau!"
Rusta tertawa. "Kau baru menyadarinya?"
Sebuah cahaya berwarna biru muncul, seorang laki-laki dengan rambut semerah api tersenyum.
"Ternyata memang benar."
. . .
Gimana ya, Astevia jahat kelihatan jahat karena Putri Kasilva, jadi gitu.
Masih ada yang jengkel sama Astevia?
Ketahuan deh akhirnya, Anstia akhirnya ngaku juga.
Jangan lupa komen yeaaaaaaaaaa