[3] Said, "I'm Fine", But It Wasn't True

11.2K 2.5K 317
                                    

"Kamu udah dewasa, udah delapan belas tahun, loh. Masa nggak ngerti sama peraturan umum kayak gitu?"

Tiba-tiba suasana sekitar mendadak senyap dan mencekam. Bahkan hawa dingin menyerang seolah membekukan seisi rumah. Tidak ada jawaban dari pihak yang ditanya.

"Abang sama Ibu nggak pernah larang-larang kamu main mau jam berapa pun itu. Abang sama Ibu cuma pengen kamu kabarin keadaan kamu, posisi kamu, dan kamu mau pulang jam berapa. Sekalipun kamu mau nginep, seenggaknya kabarin. Sesusah itu kamu kabarin keluarga kamu?"

Jenaro Helga. Abang laki-laki Zahera yang tahun ini berusia dua puluh dua tahun adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas negri Jakarta. Abang yang terkenal sangat baik, perhatian, dan royal itu sedang memarahi atau bisa dibilang menasehati adik perempuannya yang kemaren malam tidak ada kabar, lalu baru pulang ke rumah hari ini di pagi hari pukul sepuluh.

"Ditelepon juga nggak diangkat-angkat. Kamu emang semalem di hutan sampe angkat telepon aja nggak bisa?" tegur Jenaro.

Zahera yang duduk di sofa ruang tamu hanya bisa tertunduk dan merapatkan kedua kaki. Ia sadar bahwa abangnya itu sedang bertanya kepadanya. Namun, bibirnya ini sama sekali tidak ingin bergerak. Jangankan untuk bersuara, untuk bergerak menggaruk kepalanya yang gatal pun Zahera tidak bisa. Mendadak seluruh tubuhnya tidak berfungsi dengan baik.

Tidak hanya berdua dengan Jenaro saja, di ruang tamu ada ibunya juga. Jika Jenaro duduk di sofa depan Zahera, berhadapan dan bahkan menatap tajam Zahera. Maka ibu mereka duduk di sofa tunggal yang terpisah dari kedua anaknya tersebut. Dan wanita berusia lewat setengah abad yang memiliki dua anak beranjak dewasa itu hanya diam memperhatikan kedua anaknya. Duduk dengan anggun, kaki yang menyilang, kedua tangan yang terlipat, dan wajah jutek yang terkesan tidak acuh.

"Ra, kamu cuma mau diem aja? Nggak ada yang mau kamu omongin?" tanya laki-laki yang kerap dipanggil Bang Jena oleh Zahera.

Ra merupakan panggilan Zahera di rumah. Sedangkan di luar ia lebih akrab dipanggil Nala.

"Aku salah, Bang. Aku nggak kabarin. Alesan apapun yang aku sampaikan nggak bisa menghapus kesalahan aku. Dan aku janji bakal lebih baik lagi, akan kabarin Ibu dan Bang Jena kalau kemana-mana," respons Zahera dengan kepala tertunduk.

"Sadar kalau kamu salah?" tanya wanita lewat setengah abad itu, yang padahal sejak tadi diam menyimak.

"Iya, aku sadar, Bu. Maafin aku, Bu, Bang Jena," suara Zahera semakin pelan.

Jenaro yang dilanda emosi menghela napas, sekadar membuang aura negatif yang muncul karena ulah adik perempuannya. "Itu kaus yang kamu pake punya siapa? Perasaan pas keluar rumah kamu pake dress?" tanya Jenaro, mengangkat dagu untuk menunjuk kaus ketat yang Zahera kenakan.

Zahera menarik napas dalam-dalam, lalu menceritakan semuanya yang terjadi padanya.

Anelia, ibu dari dua anak remaja itu menghela napas lelah. Pandangannya ke arah Zahera penuh kasih. "Ra, kamu tau gimana konsekuensi sama apa yang kamu lakuin?"

"Aku tau, Bu. Apa yang aku lakuin salah dan tindakan aku membahayakan diri aku sendiri. Aku ngaku salah makanya aku ceritain semuanya. Aku bener-bener minta maaf," tutur Zahera, memainkan ujung kausnya dengan kepala tertunduk.

Zahera tidak tinggal di dalam keluarga yang bebas atau menganut parenting seperti orang barat. Namun, keluarga Zahera juga bukan tipe keluarga yang menyudutkan dirinya ketika salah. Keluarganya akan mendengarkan kesalahannya tanpa emosi, menerima permintaan maafnya, dan menasehatinya supaya menjadi lebih baik serta tidak mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Bahkan keluarganya tidak asal menyalahkan atau berpikiran negatif atas tindak kenakalannya. Mereka selalu mengajak Zahera berbicara terbuka, menanyakan alasan tindakan Zahera. Sebab, bagi mereka segala tindakan yang dilakukan Zahera selalu memiliki alasan.

First Girlfriend To BrondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang