14. ILUSI YANG KUKIRA NYATA

Start from the beginning
                                    

"Mahesa, pihak sekolah akan memberikan kamu surat panggilan orang tua, dan hukuman scorsing" pinta Bu Renata tegas. Menurutnya Mahesa sudah berkali-kali melakukan pelanggaran di sekolah dan hukuman biasa selalu tidak menjadi efek jerah baginya.

"Dan kamu Angkasa, bersihkan lapangan utama sekolah," kata Bu Renata.

Aurora menghela nafas lega, setidaknya dengan penjelasannya tadi. Bisa sedikit membantu Angkasa agar tidak ikut di scorsing.

"Silahkan keluar dari ruangan saya, dan Aurora, terima kasih atas penjelasannya," ujar Bu Renata tersenyum ke arah Aurora.

"Iya Bu," balas Aurora.

Mereka bertiga berjalan keluar, Mahesa lalu menatap Aurora sekilas saat dia tidak sengaja melangkah sejajar dengan perempuan itu. Manis batin Mahesa lalu mengukir senyum tipis.

Angkasa menarik tangan Aurora ketika melihat Mahesa menatap Aurora tanpa mengerjapkan matanya, "Jalan di samping gue."

"Kenapa?"

"Gue lebih ganteng di bandingkan Mahesa," ucap Angkasa asal. Laki-laki itu hanya tidak ingin Mahesa menatap Aurora lebih dalam lagi, ia tidak suka. Aneh memang, tetapi perasaan itu begitu adanya.

Mereka berdua lalu berjalan sejajar, sama-sama terdiam dan menatap lurus kedepan. Suasana hening koridor membuat Aurora bersyukur setidaknya tidak ada yang menatap sinis kearahnya kali ini.

"Lain kali kalau gue dapat masalah, lo nggak perlu datang ke BK," sahut Angkasa. "gue bisa nyelesain masalah gue tanpa lo terlibat di dalamnya," lanjut Angkasa. Bagimanapun cowok itu tidak suka jika ada yang mencampuri masalah dan urusannya, karena sejak dulu Angkasa tidak butuh orang untuk melindunginya karena dia bisa melindungi dirinya sendiri.

Aurora menelan salivanya, kaget dengan yang baru saja Angkasa katakan. Tetapi perempuan itu dengan cepat mengatur ekspresinya. "Iya, lain kali gue nggak akan ngusik urusan lo. Makasih untuk hari ini."

Angkasa menghentikan langkahnya, "Ra?"

"Apa?"

"Tugas laki-laki adalah melindungi, bukan minta perlindungan. Gue nggak marah lo kalau ngebelai gue tadi, tapi lo perlu nempatin sesuatu sesuai porsinya."

Aurora kaget. Tidak menyangka Angkasa akan mengatakan hal ini, padahal niatnya tadi bukan seperti itu, Aurora hanya ingin membalas perlakuan baik Angkasa karena telah membelahnya tadi di lapangan, itu saja.

"Iya," balas Aurora. Siapapun perempuan pasti akan merasa tidak enak di posisi ini. Bayangkan saja kalian sudah memberanikan diri berbicara di depan Guru BK tetapi toh usaha itu tidak juga di hargai oleh seseorang yang kita belah.

Angkasa menatap Aurora, "Bukan lo, tapi emang tugas gue untuk ngelindungin lo, Ra."

Ucapan Dwipa Matra berkali-kali berulang di telinga Angkasa. Memang, ia harus selalu memastikan kalau perempuan yang ada di depannya ini aman, apapun yang terjadi.

"Sa? Gue boleh ngulang pertanyaan gue kemarin?" tanya Aurora.

"Apa?"

"Kenapa lo rela ngeluangin waktu lo buat lakuin semua ini ke gue?" tanya Aurora. Sampai pertanyaan ini ia ulang, perempuan itu sama sekali belum menemukan jawaban dalam sikap Angkasa. Sikap peduli dari seorang ketua Satrova.

Gue nggak rela, tapi ini janji gue.

"Lo cuman butuh beberapa hari lagi buat dapat jawabannya," balas Angkasa. Lalu cowok itu berjalan pergi meninggalkan Aurora yang menatapnya nanar.

Tolong kasih tau gue Sa, agar gue nggak perlu melibatkan hati gue untuk orang yang gue kira tepat, tapi ternyata salah.

Aurora melanjutkan langkahnya kearah kelas, dengan pikiran yang terus menerka-nerka tentang Angkasa, laki-laki dengan dasi yang diikat di kepalanya. Laki-laki yang sejauh ini Aurora tidak bisa pahami.

DIA ANGKASA Where stories live. Discover now