25. PERUBAHAN AURORA

239K 21.4K 2.6K
                                    

25. PERUBAHAN AURORA

Yang menyedihkan, menyakitkan, simpan. Orang lain tidak perlu tahu bagaimana hancurnya kamu hari ini.
-Aurelani Aurora

Setelah bell pulang sekolah berbunyi, Aurora tidak langsung pulang, perempuan itu juga terlihat tidak beranjak dari tempat duduknya, ia memilih tetap diam di bangkunya membiarkan teman-temannya pulang lebih dulu.

"Ra? Pulang yuk, gue anter lo," kata Vana, dengan sangat sabar ia menanti Aurora berbicara, walaupun sejak tadi perempuan itu terlihat irit bicara dan tidak mood.

"Lo duluan aja, gue mau latihan sekaligus kerja proposal," jawab Aurora.

"Sama Sekala?" tanya Vana.

Aurora mengangguk, "Iya."

"Kalau gitu, gue pulang duluan yah, Ra? Lo hati-hati, kalau ada apa-apa kabari gue," jelas Vana lalu beranjak pergi dari samping perempuan berbanda biru itu.

"Ok, lo juga hati-hati, Va."

Selepas kepergian Vana dari ruangan kelas XI MIPA 4, kini, hanya Aurora yang berada disana, termenung dengan pikiran yang sejak tadi kosong, perempuan itu tidak lagi ingin memikirkan tentang kejadian di rooftop tadi, hari ini ia merasa sangat lelah, seperti kedua pundaknya sedang memikul beban yang cukup kuat karena kenyataan.

Aurora memegang dadanya, sakit, perempuan itu juga merasakan sesak yang tiba-tiba menyerangnya. Dengan sedikit tenaga yang ia miliki, tangannya merogoh tasnya untuk mencari inhaler yang memang sering ia bawa kemana-mana. Alat bantu yang selalu ia gunakan untuk mengantarkan obat melalui saluran pernafasannya.

"Plis, jangan di sini dong," kata Aurora pada dirinya sendiri seraya memukul dadanya agar rasa sesak itu hilang. Disaat seperti ini perempuan itu sangat ingin mengumpati penyakit asma yang menggerogotinya selama bertahun-tahun.

Dari jendela, Angkasa melihat bagaimana Aurora memukul dadanya dengan keras, bagaimana perempuan itu melakukan pertolongan pertama pada dirinya sendiri, bagaimana perempuan itu berusaha tegar saat sama sekali tidak ada harapan pada dirinya sendiri, rasa kasihan semakin bersarang pada dirinya, lalu ia harus apa?

Saat Aurora akan beranjak keluar kelasnya, ia langsung berhadapan dengan laki-laki berbadan tegap, dengan jaket Satrova yang selalu jadi ciri khasnya, tidak lupa dengan dasi abu-abu yang terikat di kepalanya.

Semua terdiam dengan posisi berhadapan, Aurora lalu membuang pandangannya, berusaha mencari celah untuk pergi dari depan Angkasa.

"Lo pulang sama gue," kata Angkasa tanpa basa-basi. Seperti biasa, laki-laki tidak ingin di bantah, tanpa aba-aba lalu menarik tangan Aurora.

Aurora melepaskan tangannya, tidak bicara, hanya diam, perempuan itu menatap Angkasa dengan pandangan yang tidak bisa di baca.

"Jangan keras kepala, Ra!" ujar Angkasa, dan entah mengapa, ucapan Angkasa tiba-tiba terdengar menyakitkan di telinga Aurora.

"Gue mau latihan," sahut Aurora, dingin. Ia enggan menatap Angkasa.

"Lo mau sakit hah?! Lo mau kenapa-napa?! Cewek kayak lo harusnya tahu diri, lo bukan orang sehat kayak orang-orang yang ada di sekeliling lo, lo nggak bisa, Ra!!" bentak Angkasa. Aurora benar-benar memancing emosinya.

Benar kata Sekala, Angkasa itu posesif kan?

Mata Aurora yang tadinya menyiratkan ketidapedulian lalu berubah seperti menahan air matanya, "Ucapan gue di rooftop tadi kurang jelas buat lo?"

"Gue nggak bahas itu, Ra," tekan Angkasa. Cowok itu benar-benar tidak ingin membahas kejadian itu, toh juga tidak penting untuknya.

"Minggir, gue mau latihan," ucap Aurora berusaha mendorong tubuh Angkasa yang sejak tadi menghalangi jalannya. Tetapi tidak bisa, Angkasa berkali-kali lebih kuat darinya.

DIA ANGKASA Where stories live. Discover now