[Season 2] 5: I'm yours

40 10 4
                                    

Jaebeom, bangun.. kau tidak pergi kerja?"


Ini aneh, biasanya di hari kerja, tanpa ku bangunkan, ia akan terbangun lebih dulu. Itu karna saat aku bangun, aku langsung sibuk berkutat dengan peralatan dapur, sembari ia bersiap.

Dan kini, aku sudah selesai menyiapkan sarapan, tapi ia masih berbaring.

Dan kini, aku sudah selesai menyiapkan sarapan, tapi ia masih berbaring

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Sayang.. matikan AC-nya..."

"Semalam bahkan kita tidak menyalakan AC sama sekali, apa kau lupa?"

Ia meringkuk diatas kasur dengan selimut yang rapih menutup tubuhnya.

"Hey.. kau kenapa.. katakan padaku." Aku mendekatinya, namun ia tetap membisu.

Saat aku menyentuh kulit pipinya, aku langsung melonjak. Tubuhnya sangat panas, ia demam tinggi.

"Jaebeom... kau demam.. apa kau merasakan sesuatu yang sakit??" Ucapku panik.

"Dingin...... pusing....."

Aku segera meraih beberapa selimut didalam lemari dan membalut tubuhnya beberapa lapis.

"T-tunggu sebentar, aku akan memberitahu bibi Oh, agar ia memanggil dokter." Saat aku hendak meninggalkannya, telapak tangannya yang panas menahan pergelanganku.

"Aku baik-baik saja, tetaplah disini. Jangan panggil dokter."

"Kau demam tinggi Jaebeom!"

Ia menggeleng pelan. "Jangan tinggalkan aku."

Aku berbalik kembali menghampirinya, dan duduk disisi ranjang. Ia langsung menaruh kepalanya diatas pahaku, aku bisa merasakan tubuhnya bergetar.

"Kau ini sakit, aku ambilkan sarapan dan obat penurun demam ya," Aku memijat kepalanya. Ia menatapku dari bawah dengan memajukan bibir. "Aku tak akan memanggil dokter."

"Aku tak lagi membutuhkan obat, jika sudah ada dirimu."

Aku menyentil dahinya. "Sedang sakit, tapi masih saja sempat-sempatnya menggoda."

"Appo Seira..."

"Iya, maaf." Aku mengusap dahinya. Tanganku kelepasan menyentilnya. Meskipun tak terlalu keras, jika sedang sakit semua tubuh pasti terasa sakit, dan bahkan tertekan sedikit saja, terasa ngilu.

"Aku ambilkan sarapan dan obat ya, jika kau membantah, aku akan memanggil dokter."

Seketika ia menurunkan kepalanya dan meringkuk membelakangiku.

Cih, seperti membujuk anak kecil. Benarkah umurnya 26 tahun?

Aku berjalan ke dapur, mendadak memasak bubur dan sayur untuknya.

Jaebeom itu keras kepala sekali, kenapa juga ia tak mau dipanggilkan dokter. Aku takut kondisinya menjadi lebih buruk. Suhu tubuhnya saja tinggi sekali. Tapi jika aku tetap memaksa memanggil dokter tanpa sepengetahuan dia, ia pasti akan marah dan tetap saja tak mau diperiksa. Dokter pun sudah tidak berani lagi jika Jaebeom sudah berkata. Apa ia baru akan mau diperiksa jika benar-benar sudah tidak bisa bergerak seperti waktu itu.

Tears & HurtsWhere stories live. Discover now