21: Don't leave me

47 12 5
                                    

Langit-langit kamar dengan polesan cat abu adalah objek yang sudah berjam-jam tertangkap oleh netraku.

Tidak,

Sebenarnya netraku yang tak berhenti menatapnya.

Pikiranku sedang berkelana entah kemana sejak tadi. Tak ada hal yang menarik disini, didalam kamar. Mungkin hanya dengkuran hewan berbulu yang berbaring diatas dadaku, yang membuat otakku tenang dan berjalan lancar.

Tanganku terangkat dan mulai mengelus tubuh makhluk berbulu yang berbaring didadaku lembut. Ia hanya memejam terlarut dalam sentuhanku.

Bola mataku terputar menatap sisa ruang kosong disampingku. Kasur dengan balutan sprei putih yang kini menjadi tempat singgahku. Lalu terkekeh saat teringat kejadian tempo hari. Tentu saja saat gadis itu terbaring disana.

–Ah, aku merindukannya.

Padahal baru beberapa jam, tapi rasanya sudah seperti tidak bertemu selama setahun. Saat aku jauh darinya, aku benar-benar takut kehilangannya.

Tapi—

Ia benar akan baik-baik saja kan (?)

Aku menghela nafas panjang.

Jangan khawatir, Seira. Aku akan membawamu kesini. Kita akan hidup bersama.

Disini, tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Tidak akan ada yang memukulimu lagi, tidak akan ada yang menyakitimu lagi, dan disini kau akan mendapatkan banyak cinta, dariku, Ibu, Ayah, bibi Oh, nora, kunda, dan odd.

"Nora, kau sangat menyukai Seira kan?" Aku mengelus pipinya yang terlihat gemuk.

"Aku akan membawanya kesini. Setelah itu kau bisa terus bersamanya, berbaiklah padanya," Kini tanganku teralih mengelus dahinya.

"Jaebeom..." Seseorang membuka pintu kamarku perlahan.

"Ya, ah –eomma?"

"Aku harus kembali ke Goyang sekarang,"

"Sekarang? Kenapa cepat sekali?"

"Ya. Kau tahu kan, aku tidak bisa meninggalkan ayahmu terlalu lama,"

Aku memutar bola mataku dan menghela nafas. "Laki-laki itu merepotkan sekali,"

"Jangan bicara seperti itu! Ia juga ayahmu!" Ibu menghampiriku dan menepuk keras bokongku.

Meskipun kesakitan, aku tetap terkekeh. Ya, kami memang sering bercanda seperti ini.

Ah, ralat.

Tidak sering, karena sekarang kami sudah tinggal berjauhan. Tapi, ya inilah yang terjadi jika kami bertemu.

Dulu, saat tinggal bersama. Hal seperti itu adalah sebuah keseharianku. Tinggal ber-empat, dengan Ayah, Ibu, dan bibi Oh. Ibu suka sekali memarahiku atau memukul bokongku hanya untuk kesalahan kecil.

Tidak, bahkan semua hal yang ku lakukan selalu terlihat salah dimatanya. Yang berakhir bokongku menjadi sasarannya. Ayah dan bibi Oh hanya tertawa melihatku yang disiksa seperti itu.

Dulu, aku sempat berfikir, sepertinya menyenangkan tinggal seorang diri tanpa gangguan dan celotehan Ibu. Tapi kini, aku menyangkalnya. Jauh dari ibu itu sangat sulit. Dan duniaku seakan berubah 360° sejak tinggal terpisah. Sepertinya telingaku sudah sangat terbiasa dengan celotehan nyaringnya, hingga kini justru merindukannya.

"Aku akan pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik,"

"Eoh? Eomma pergi dengan apa dan siapa?"

"Paman Kang. Kemarin aku pergi kemari dengannya naik mobil,"

Ah, aku hampir melupakannya. Paman Kang adalah supir pribadi ibuku. Ia juga sudah bekerja cukup lama sama seperti bibi Oh. Dia juga tinggal bersama kami dulu disini. Namun, karna ibu dan ayahku yang pindah ke Goyang, ibu memutuskan jika paman Kang akan ikut dengannya, dan bibi Oh tetap disini bersamaku.

Tears & HurtsWhere stories live. Discover now