24: Apeujima

37 13 23
                                    

Mataku terbuka perlahan sembari merasakan seluruh tubuh lemahku yang kini tak ada lagi daya untuk bergerak sedikitpun. Bahkan sekedar mengangkat ujung tangan pun tidak bisa.

Ku tatap seseorang dengan surai panjangnya yang kini duduk disamping, menatapku dengan mata sembabnya dan cairan yang mengalir dari sudut mata indahnya.

"S-seira, kenapa kau menangis?" Ucapku terbata-bata.

Ia langsung memelukku erat dan menangis dengan cukup keras disampingku.

"Kenapa kau tidak bilang kalau kau sedang sakit? Aku sangat takut sesuatu terjadi padamu kemarin, kau tiba-tiba terjatuh seperti itu,"

Aku berusaha sekuat tenaga mengangkat tanganku hendak mengelusnya, namun aku sungguh tidak dapat bergerak. Rasanya seluruh tubuhku melumpuh.

"Aku hanya sakit sedikit. Maafkan aku sudah membuatmu takut,"

"Maafkan aku. Kau pasti seperti ini karnaku. Aku selalu merepotkanmu. Aku minta maaf," Ia menangis didadaku.

"Tidak, ini bukan salahmu. Aku senang melakukan itu bersamamu, untukmu,"

Kini ia mendongakkan kepala dan menghapus cairan disudut matanya, menatapku sebentar lalu bangkit meninggalkanku begitu saja.

Tidak lama kemudian, ia kembali dengan nampan berisi mangkuk dengan makanan didalamnya, dan juga dilengkapi dengan gelas berisi air putih dan beberapa macam buah-buahan sebagai pelengkap.

"Kau harus makan, agar cepat sembuh,"

Ia menyodorkan sendok berisi bubur didepan bibirku. Ia memperlakukanku persis seperti saat aku melakukannya kepadanya.

Aku berusaha membangkitkan diriku untuk bersandar di kepala ranjang, yang dibantu olehnya. Ia menyusun beberapa bantal dipunggungku agar aku merasa nyaman.

Kemudian ia mulai menyuapkanku. Mataku tak henti menatap wajahnya dengan menyungging senyum. Ia sudah kembali. Ia benar-benar kembali.

Haruskah aku bersyukur dengan sakitku ini?

Uhuk

Aku terbatuk karena sedikit tersedak makanan. Pikiranku terlalu melayang hingga membuatku sulit fokus meskipun hanya untuk sekedar mengunyah dan menelan.

Ia segera menegukkanku air yang berada digelas bening putih. Lalu mengusap tengkuk dan dadaku secara bergantian.

"Berhati-hatilah," Kini jarinya mengelus sudut bibirku yang masih bersisa sedikit air yang menempel.

Ia sangat lembut. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasakan sisinya yang satu ini. Sebelumnya, memang ia baik dan lembut, tapi kali ini sungguh pertama kalinya untukku.

Setiap harinya, ia selalu membuatku jatuh semakin dalam.

"Seira,"

"Hm?"

"Aku mencintaimu,"

Kini manik kami saling beradu satu sama lain. Aku menatap manik hitamnya yang menyiratkan ragu dan penuh kekhawatiran.

"Seira.. aku.. men–"

"Aku tidak ingin mendengar kalimat itu," Ia memejam.

"Maaf,"

Ia mengangguk dan kini meraih sebuah apel dan sebuah pisau kecil. Ia menatap pisau itu lekat sambil terdiam. Menatapnya bergantian dengan jahitan luka berwarna kecoklatan yang hampir mengering dipergelangan tangannya.

"Lupakan semua itu. Semua akan baik-baik saja. Ada aku disini," Aku menggenggam tangannya dan tersenyum.

Ia balik mengangkat sudut bibirnya dan mulai mengupas apel tersebut dengan telaten. Memotongnya menjadi beberapa bagian.

Tears & HurtsWhere stories live. Discover now