15: Disclosed

40 15 7
                                    

Aku menurunkan gagang pintu dengan pelan, mengecek sebelumnya apakah akan terbuka atau terkunci. Setelah bisa merasakan pintu tersebut sedikit terdorong terbuka, aku menarik napas dalam sebelum memasuki rumah. Kejadian terakhir dirumah ini sebelum aku pergi dengan Jaebeom kembali teringat.

Tidak. Aku harus bersikap biasa saja.

Ku dorong pintu tersebut dengan hati-hati, dan berusaha menangkap sekitar ruangan, sebelum benar-benar memasukinya.

"Darimana saja kau?" Sosok ibu muncul dari balik kamarnya, sontak membuatku terkejut.

Aku membeku, tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.

"Kau tidak punya mulut untuk berbicara!?"

"Apa urusannya dengan ibu? Apa ibu mengkhawatirkanku? Tidak kan? Ini diriku. Aku pergi kemanapun, terserah padaku. Jadi, ibu jangan ikut campur lagi," Aku menunduk dan berjalan melewati ibu.

"Anak ini sudah berani membantah!" Ibu mencengkeram keras pergelangan tanganku.

"Lepas!"

Plak

Ibu menamparku keras. Matanya menatapku nyalang. Tangannya mengepal erat bersiap melayangkan pukulan.

"Pukul saja. Aku tidak takut. Lagipula sakit dihatiku lebih menyakitkan daripada pukulan ibu,"

"Apasih yang kau bicarakan," Ibu mulai memukulku. Memukul tubuhku dan wajahku.

Yang bisa ku lakukan hanyalah menangis dan sebisa mungkin menahan pukulan yang ibu layangkan menggunakan kedua tanganku.

Ibu benar-benar memukulku.

Kenapa? Kenapa ibu berubah? Ibu bukan seperti yang ku kenal dulu. Yang selalu tersenyum kepadaku dengan ramah, kepada Minhyun juga. Kami tertawa bersama. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku melakukan kesalahan? Atau selama ini ibu hanya benar-benar menutupi dirinya?

"Dasar anak tidak tahu diri! Masih untung aku mau merawat mu! Seharusnya kau merasa berhutang budi kepadaku! Memang ya buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, kau sama saja seperti ayahmu!" Ibu mulai mengambil sapu, gagangnya mulai beradu dengan tulang hasta kedua tanganku yang berusaha menutupi area kepala.

"Akh!"

Toktoktok

Suara ketukan pintu sukses membuat ibu menghentikan aktifitasnya. Ia kembali menaruh sapu tersebut dan mendorong tubuhku untuk membuka pintu. Wajahnya terlihat cukup panik, lalu bersembunyi dibalik tembok.

Aku segera menghapus air mataku dan membuka pintu.

Jaebeom.

Kenapa ia kembali lagi?

"Ah, Seira. Ponselmu tertinggal didalam kamarku," Ia menyodorkan sebuah ponsel dengan case pink bermotif kucing kepadaku. Itu milikku.

"Aku tidak sadar meninggalkannya. Terimakasih, maaf aku benar-benar merepotkanmu," Aku meraih ponsel tersebut.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya,"

"Wajah, tangan, dan matamu merah. Sesuatu terjadi?" Ia menggenggam tanganku.

"Tidak. Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit tertiban barang saat membersihkan gudang. Itu cukup sakit," Ucapku bergetar. Aku berusaha menahan diriku. Tapi rasanya getaran ketakutan tubuhku tidak mengikuti kemauanku.

"Katakan kepadaku,"

"Kau pergilah. Banyak pekerjaan yang harus ku kerjakan, terimakasih sudah mengantar ponselku," Aku mendorong tubuhnya pelan dan segera menutup pintu. Tidak memperdulikan sosoknya yang masih berdiri didepan sana.

Tears & HurtsWhere stories live. Discover now