14: Friend

52 15 11
                                    

"Hey, apa kau mati didalam sana!?" Aku membuka pintu kamar Jaebeom dengan kasar. Tentu saja karna kesal ia lama sekali menunjukkan batang hidungnya.

Padahal ia laki-laki, tapi mandinya seperti putri solo.

Aku menatap sosok didalam sana. Menatap sosok yang berdiri lurus dihadapanku. Ia yang sedang berdiri di depan lemari yang terbuka dan matanya yang fokus melongok kedalam sana. Aku membisu menatapnya dari atas hingga bawah.

Rambut hitam yang basah, dada bidang, dan...

"Aaaaaaaa....." Jeritku dan segera berjongkok menutup mata.

Apa yang baru saja aku lihat. Apa yang ada dihadapanku ini.

"Seira, ada apa?" Ia menghampiriku.

"Apa yang kau lakukan!? Cepat kenakan bajumu!" Aku menjauh darinya berlari keluar kamar. Dan menutup pintu dengan spontan.

Apa-apaan itu. Ia mendekat padaku dan bertanya kepadaku dengan tubuh polosnya yang terpampang jelas di depan mataku. Bahkan handuk yang terbalut ditubuhnya hanya bisa menutupi bagian bawahnya saja. Sisa bagian tubuhnya terlihat begitu saja.

Aku bersandar dibalik pintu tersebut sambil menarik napas dalam. Astaga, jantungku berdegup di luar kontrol. Apa yang ada didalam pikiranku sekarang. Itu hanya sebuah kecelakaan tak disengaja. Tak perlu dipikirkan. Anggap saja kau tidak melihat apapun tadi. Matamu masih bersih dan suci, Seira.

Ceklek

Pintu yang kusandari terdorong kebelakang membuat tubuhku ikut terbawa bersamanya. Aku yang terkejut tidak dapat menahan tubuhku.

"Eh.."

Brugh

Aku menengadah, saat menabrak sesuatu dibelakangku. Wajah Jaebeom yang sedang menatapku bingung. Aku menabrak tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan?" Ia menunduk membuat wajahnya semakin dekat. Setetes air terjatuh dari rambutnya membasahi wajahku, membuatku tersadar.

Seketika aku membalik tubuhku dan berdiri menjauh. "Tidak, m-makanannya sudah siap dimeja"

Aku menatap tubuhnya yang kini sudah rapi terbalut kaos putih polos dan celana pendek selutut. Ah, sial. Kenapa otakku terus memikirkan kejadian sebelumnya, hingga membuat mataku seperti menerawang.

"Apa yang sedang kau lihat?"

"T-tttidak, cepatlah ke meja makan, makanannya akan dingin," Aku berjalan mendahuluinya, menutup wajahku yang sepertinya memerah malu.

Sial. Memalukan sekali. Kau sudah mempermalukan dirimu sendiri, Seira.

...

Jaebeom sangat lahap memakan masakanku. Itu membuatku sangat senang. Apa memang tingkat nafsu makannya setinggi itu? Aku tersenyum memperhatikannya. Kenapa wajahnya terlihat menggemaskan. Pipinya yang menggembung penuh dengan makanan. Ia terlihat seperti anak kecil.

"Ini sangat enak, sudah lama aku tidak merasakan masakan rumah seperti ini," Ucapnya membuatku tersipu malu. Dia memujiku.

Aku pun mulai melahap makananku. Memang tidak sia-sia Minhyun mengajariku memasak. Ia sangat ahli. Lain kali aku akan memintanya untuk mengajarkanku lebih banyak. Itu sangat menyenangkan.

Ah, aku merindukannya.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Tanyanya padaku. Membuat pikiranku yang hampir saja melayang tersadar kembali.

"Setelah ini?" Mataku melirik kearahnya.

"Ya, kau akan tetap disini? Atau pulang?"

Tetap disini? Atau pulang? Aku rasa, aku tidak bisa berlama-lama disini. Ini rumah Jaebeom. Aku tidak bisa seenaknya berada disini, dan merepotkannya. Apalagi kami tidak ada hubungan apapun. Tapi pulang... dan bertemu ibu...

Tears & Hurtsحيث تعيش القصص. اكتشف الآن