22

2.5K 243 28
                                    

Kelas 11 IPA 6 sedang melakukan pelajar olahraga. Cuaca bisa dibilang lumayan panas, sehingga membuat para murid mengeluh untuk tidak melakukan pelajaran melelahkan ini.

Keluhan demi keluhan sudah mereka lontarkan kepada Pak Dadang, namun guru itu sama sekali tidak luluh. Malah, semakin semangat. Biar sehat, katanya.

Para murid hanya pasrah, terpaksa mereka harus berolahraga meskipun dengan cara yang malas-malasan. Pak Dadang tidak perduli kepala murid yang mengeluh panas, juga tidak peduli kepada murid yang pemanasan tidak benar. Kalau nanti dia cidera, itu salahnya sendiri.

Dan, pemanasan telah selesai. Hari ini, kebetulan mereka akan praktek bermain sepak bola. Bagi Reval dan para teman-temannya, ini adalah hal yang sangat mudah. Mendapatkan nilai plus itu tidak sulit.

Satu persatu nama telah dipanggil oleh Pak Dadang untuk mempraktekkan gerakan menendang bola ke gawang. Murid demi murid pun dengan malas mempraktekkannya. Pak Dadang hanya geleng-geleng kepala.

"Kalau praktek, jangan males-malesan. Bapak kasih nilai d, mau?"

"Jangan lah, Pak. Bapak nggak panas apa? Kayanya Bapak bukan manusia, deh," celetuk Reval malas.

"Sembrono kalo ngomong. Pagi-pagi panas begini itu sehat. Vitamin D, gitu aja nggak tau. Sekolah sebelas tahun dapatnya apa? Cih." Pak Dadang berdecih sinis. Ia memang terkenal guru paling sinis diantara guru-guru yang lain.

Reval dan yang lain hanya menghela napas. Jika diladeni, Pak Dadang akan semakin menjadi mengeluarkan kata-kata pedas untuk mereka. Daripada makan hati, mendingan biarin aja ngoceh sampai mulut berbusa.

Tidak terasa, pelajaran olahraga telah selesai. Kini, Reval bersama ketiga temannya duduk di tepi lapangan. Bersandar di pohon yang rindang dan sejuk. Mereka berempat mengibaskan tangannya untuk mengipasi leher mereka yang sudah berkeringat.

"Gila, panas banget. Tuh guru nggak ada akhlak emang," desah Iden yang mengerutuki Pak Dadang sedari tadi.

Zrey mendecak. "Semuanya aja lo bilang nggak ada akhlak, Den! Lo aja yang dasarnya malesan," desis Zrey menanggapi malas.

Iden hanya cengar-cengir. Memang benar, ia malas semua pelajaran. Tujuannya sekolah, hanya untuk mendapatkan uang jajan dan melihat cewek cantik nan bohay disekolahnya. Peduli setan jika dirinya dicap manusia bodoh oleh para guru. Yang penting, masih ada yang bisa diandalkan. Reval contohnya.

"Lo bertiga nggak ada niatan mau beli minum gitu? Haus nih, nggak pekaan banget lo pada!" Reval kesal, sedari tadi ia berdehem-dehem untuk memberi kode tiga makhluk itu. Namun, tidak ada yang memperdulikannya.

"Ada barang ada uang dong. Mana dulu duitnya, baru kita berangkat," ucap Kelvin nyengir. Biasanya, Kelvin suka korupsi. Menyisihkan uang kembaliannya dan berbohong jika uang itu habis dipakai. Memang laknat.

Reval mengambil uang di saku celana olahraganya. Untung saja semalam, ia maling uang di celana Papinya. Lumayan dapat seratus ribu.

"Nih." Reval melempar uang seratus ribuan itu.

"Berangkat, bos!"

Baru saja Kelvin ingin berdiri dan pergi ke kantin, seorang cewek menghampiri keempat cowok yang sedang tepar itu.

"Val, gue bawain minum." Dia menyodorkan minum itu ke arah Reval.

Reval menanggapi agak malas. "Nggak usah, Kelvin udah mau beli. Buat lo aja," ucapnya sambil menggeleng.

Dia, Allesta Vyoncia. Cewek yang selalu membuat pikiran Reval kacau.

Allesta nampak heran dengan sikap Reval. Beribu pertanyaan telah mengisi otak gadis itu. Ia merasa ... Reval aneh.

REVALESTA (END)Where stories live. Discover now