20

2.6K 259 30
                                    

Happy 3ribu readers, Yey!🎉

----

Beberapa hari terakhir ini, Reval selalu berada di kamarnya jika sedang di rumah. Hanya sedekar ikut makan malam, sarapan dan hanya kebutuhan mendesak saja ia keluar dari singgasana kamarnya.

Bahkan, ia juga bersikap dingin kepada Papinya. Jika diajak bicara, Reval tidak acuh dan menganggap Revan itu tidak ada.

Bukan, bukan karena tidak menghormati. Hanya saja Reval masih tidak menyangka, seorang ayah menampar anaknya sendiri. Hanya kesalahan sepele, mungkin?

Revan sudah berusaha mencoba untuk berbicara pada Reval, namun selalu saja cowok itu tidak memperdulikannya. Menulikan pendengaran.

Hal itu membuat Revan terlarut dalam rasa bersalah dan terus terbayang-bayang momen  ia menampar anak sulungnya. Sadar jika dirinya salah, ia sangat menyesal. Hal itu telah membuat Reval bersikap bertolak belakang padanya.

Kali ini ia kembali memberanikan diri untuk mengatakan permintaan maafnya lagi. Ia berharap usahanya akan berhasil setelah sekian kali nihil. Revan rasa, ia tidak bisa terusan seperti ini. Harus benar-benar diluruskan.

Revan mengetuk pintu kamar Reval, kebetulan tidak dikunci. Pria paruh baya itu langsung saja masuk kedalam dan mendapati Reval sedang menatap buku-bukunya sembari mencatat. Puteranya sedang belajar.

Sadar akan kedatangan seseorang, Reval menghentikan aktivitasnya. Hanya sekilas menoleh, lalu ia kembali membuang mukanya.

Revan menghela napas, putranya memang belum memaafkannya. Ia mendekati Reval, lalu menepuk pundaknya.

"Reval, Papi mau bicara," pinta Revan.

"Hm." Hanya deheman singkat yang merespon.

"Harusnya kamu udah tau Papi mau ngomong apa, Val. Kata maaf dari Papi akan terus terlontar sampai kamu bener-bener maafin Papi." Revan mengelus pundak puteranya.

"Harus beberapa kali lagi kata maaf yang harus Papi ucapkan, Val? Haruskah Papi sampai sujud di kakimu, rasanya itu haram terjadi," ucapnya.

Reval masih setia mendengarkan unek-unek dari sang Ayah. Ia ingin mendengarnya sampai selesai. Sepertinya, ini memang waktu yang tepat.

Revan menarik napas. "Papi kelepasan, Papi khilaf. Papi cuma nggak suka cara kamu bicara nggak sopan sama orang tua. Terlebih itu Ayah dan Ibumu sendiri," tuturnya menasihati anaknya. Dalam hatinya berharap, Reval paham.

Kali ini, Reval menoleh ke arah Papinya. Lalu ia bangkit dari duduknya, berjalan dan kemudian kembali mendudukkan bokongnya di atas ranjang.

Reval pikir, tidak seharusnya ia marah berkepanjangan kepada Papinya. Jika terus dihindari, masalah tidak akan selesai. Karena masalah itu harus dihadapi, bukan dihindari.

"Maaf, Pi."

Revan tersenyum, sepertinya lampu hijau telah menyala untuknya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Nggak papa, Papi harap ini nggak keulang." Ucapan Revan diangguki oleh Reval.

"Reval cuma pengen, Papi nggak egois. Berasumsi sendiri tanpa tau kejadian yang sebenernya," ujar Reval dengan nadanya yang lembut.

REVALESTA (END)Where stories live. Discover now